Indonesia dalam bahaya, bukan karena ancaman militer atau terorisme. Indonesia terancam oleh warga negaranya sendiri. Mereka yang disebut kaum intelektual dan memiliki gelar-gelar akademis yang tinggi.Â
Para intelektual dan akademisi tersebut dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya berbicara dengan lantang soal demokrasi, globalisasi, dan liberalisme.
Dengan kata-kata yang indah dan mengesankan, mereka mendakwahkan nilai-nilai Barat kepada bangsa Indonesia. Mereka menolak nasionalisme dan menganggapnya usang. Indonesia secara ekonomi harus berkiblat ke Amerika dan Eropa. Bahkan nilai-nilai Pancasila hendak didekonstruksi.
Bisa jadi mereka adalah agen-agen perang neokorteks. Perang neokorteks adalah perang untuk mengubah persepsi suatu kelompok/bangsa sehingga mereka dengan ditaklukkan walaupun bukan dengan kekuatan senjata.Â
Neokorteks adalah otak bahasa yang hanya dimiliki oleh manusia. Dengan menguasai pemikiran suatu bangsa, dengan mudah negara-negara asing menguasai negara-negara tersebut dan mengeksploitasi SDA-nya.
Dengan kata lain, para intelektual tersebut adalah korban cuci otak yang dilakukan negara-negara penjajah tersebut. Dengan sejumlah beasiswa untuk melanjutkan studi S2 dan S3 di Amerika dan Eropa, para calon pemimpin bangsa Indonesia "dicuci otak" agar mengikuti pemikiran dan ideologi negara-negara Barat.Â
Mereka kemudian menjadi penghamba dan pemuja-muja pemikiran Barat Mereka pun pulang dengan gelar Master atau Doktor dan "mengamalkan" ilmunya di negeri ini.
Mereka menjadi penyokong penuh ideologi-ideologi Barat seperti demokrasi, liberalisme ekonomi, pasar bebas dan kompetisi.Â
Mereka mendukung keberadaan perusahaan-perusahaan multinasional yang bertujuan untuk menjadikan rakyat negara-negara dunia ketiga sebagai konsumenn dan mengeruk kekayaan alamnya.
Mereka menjadi intelektual Indonesia yang terbaratkan. Dengan mengontrol kekuatan intelektual, negara-negara dunia ketiga dengan mudah dikuasai.Â
Antonio Gramsci menyebutnya sebagai hegemoni, suatu upaya untuk menguasai pemikiran seseorang atau kelompok dengan ideologi tertentu. Dalam konteks ini, elit intelektual menjadi obyek yang dihegemoni.
Hal ini tidak hanya dilakukan secara intelektual, tapi juga secara budaya. Negara-negara Barat melakukan imperialisme kebudayaan. Militer AS bertugas untuk mengamankan "Amerikanisasi" negara-negara dunia ketiga dengan budaya pop Barat.Â
Invasi kebudayaan ini dilakukan dengan halus. Dimulai sejak masuknya musik-musik Barat dari tahun 1960-an seperti The Beatles, The Doors, Led Zeppelin dan lain sebagainya. Sampai kemudian kemunculan MTV dan kini melalui internet.
Dengan menggunakan budaya pop (pop culture) negara-negara Barat hendak menguasai gaya hidup dan pola pikir generasi muda di negara-negara dunia ketiga. Bahkan bukan hanya negara-negara Barat, kini Korea dan Jepang mengekspor budaya pop-nya ke negara-negara dunia ketiga.
Namun dibalik demam K-Pop dan J-Pop bukannya tidak ada kepentingan. Negara-negara tersebut ingin menanamkan imej dalam benak generasi muda tentang kehebatan mereka. Dengan kemudian, kelak di kemudian hari, mereka menjadi konsumen yang loyal terhadap produk-produk Korea dan Jepang. Korea Selatan saat ini tengah berusaha melakukan penetrasi pasar terhadap konsumen Indonesia.
Intelektual atau calon intelektual Indonesia semestinya tidak menghamba kepada Barat. Mereka bisa mengambil ilmu dari Barat sebagai alat analisis, namun bukan ideologi.Â
Ilmu-ilmu yang didapatkan dari Barat tersebut harus bisa "diindonesiakan" dalam arti bermanfaat bagi bangsa. Jangan menelan mentah-mentah teori-teori Barat, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kita harus mengadaptasinya dalam konteks keindonesiaan.
Coba lihat Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka jelas mempelajari ilmu-ilmu dari Barat, namun mereka mengkontekstualisasikannya dalam kondisi bangsa Indonesia.Â
Mereka tidak memamah teori Barat mentah-mentah namun mengadaptasinya dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Mereka menganalisis kondisi obyektif bangsa Indonesia dan melakukan serangkaian perenungan dan penalaran.
Hal ini terasa penting bagi bangsa Indonesia. Kita merindukan intelektual berdedikasi yang di dalam Al-Qur'an disebut sebagai "Ar-Rosikhuna fil 'imi" yaitu mereka yang berpengetahuan luas dan mendalam. Mereka yang menyumbangkan ilmunya untuk bangsa Indonesia.
Perang Neokorteks dilakukan setelah perang secara fisik gagal dilaksanakan. Petualangan militer AS gagal di Vietnam dan menyusul di Irak dan Afghanistan. Mereka hendak membuka front baru namun dengan cara yang halus.Â
Mereka berusaha merusak moral generasi muda dengan musik, film, makanan dan minuman, fashion, dan gaya hidup keamerikaan. Sebagian generasi muda lebih suka berbahasa Inggris campur Indonesia dan bahkan bahasa Indonesia mereka tidak bagus.
Media menjadi alat yang penting untuk menguasai generasi muda dan pola pikir suatu bangsa. Maka media perlu dikuasai. Media berperan penting dalam upaya pembaratan suatu bangsa. Koran, radio, televisi dan internet  adalah media mutakhir yang dapat mengubah pandangan sebuah bangsa. Melalui media, negara-negara imperialis berusaha memperdaya lawannya yang tengah lengah.
Sebagai sebuah bangsa kita tidak boleh lengah terhadap ancaman ini. Pendidikan adalah salah-satu cara untuk menangkal perang Neokorteks ini. Indonesia harus menjadikan budaya-budaya menjadi tuan di negerinya sendiri.
Penetrasi budaya pop Barat mungkin sudah terbendung lagi. Namun bukannya mereka tidak bisa dikalahkan. Dalam melancarkan Perang Neokorteks mereka menggunakan ilmu psikologi dan komunikasi. Dan mereka menggunakannya untuk iklan dengan harapan untuk meracuni generasi muda. Sudah saatnya kita melawan. Wallahu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H