Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lebih Baik, Membaca atau Menonton?

15 Maret 2019   18:05 Diperbarui: 15 Maret 2019   18:19 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca buku atau media cetak lainnya agaknya telah ditinggalkan saat ini. Banyak orang yang beralih ke media digital. Mereka menganggap membaca secara digital lebih ekonomis dan praktis dibandingkan media cetak. 

Selain itu, membaca di gawai terasa lebih mudah tanpa harus membolak-balik kertas yang berhalaman banyak.  Dengan adanya saluran internet, maka berita bahkan datang sendiri tanpa kita mencarinya. Teknologi informasi dan komunikasi menyebarkan berita dengan cepat ke seluruh dunia.

Sementara itu menonton menjadi kebiasaan masyarakat modern, baik menonton film di bioskop, laptop, dan gawai maupun menonton televisi. Internet memungkinkan kita untuk mengunduh dan menonton film di internet. Dengan hanya membayar beberapa ribu rupiah, kita dapat menjadikan laptop dan gawai kita sebagai bioskop mini yang dapat ditonton kapan saja.

Fenomena demikian sudah lumrah kita saksikan saat ini. Banyak orang membaca di media digital dan menonton film di gawai sambil menunggu kereta dan bis transjakarta di ibukota. Namun sebenarnya ada perbedaan mendasar antara membaca dan menonton baik di media digital dan di media cetak.

Sejarah dan Tujuan Membaca
Pertama, soal membaca. Membaca terutama membaca di dalam hati merupakan kebiasaan yang sebenarnya telah berkembang selama berabad-abad. Dulu manusia belajar membaca dengan membacanya keras-keras. 

Di dalam bagian buku yang terkenal Confessions, kira-kira pada 280 M,  Santo Augustine mengemukakan keterkejutannya melihat Ambrose, uskup dari Milan, membaca tanpa bersuara. Ia menulis "saat membaca, matanya memindai dan hatinya menjelajahi makna, namun suaranya tidak terdengar dan lidahnya tidak bergerak".

Membaca dalam hati kemudian menjadi kegiatan yang populer hingga kini. Saat ini kita jarang menemukan orang yang membaca keras-keras, kecuali siswa-siswi SD. Hampir semua jenjang pendidikan dari menengah hingga tinggi mengharuskan peserta didiknya membaca dalam hati.

Kedua, membaca adalah kegiatan aktif bukan pasif. Ketika kita membaca seluruh intelek kita terlibat untuk memahami apa yang kita baca, terutama media cetak. Di dalam kegiatan membaca, di otak terjadi aktivitas kognitif yang kompleks. Di dalam bahasa Arab, membaca disebut "qa-ra-a" yang berarti "menghimpun". 

Ini disebabkan ketika kita membaca, mata kita menghimpun huruf-huruf dan kemudian otak mengartikannya. Tidak hanya itu, membaca menyebabkan kita berpikir untuk memahami teks-teks yang kita baca. Kita mengaktifkan intelek kita untuk kemudian menerima informasi, mengolah, dan menghasilkan output dari bacaan kita itu. Kita bisa mengkritisi, mengunyah, mengolah, dan menghasilkan sintesis dari apa yang kita baca.

Menurut Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows (2015) , membaca (buku) adalah sebuah tindakan perenungan, namun tidak melibatkan pengosongan pikiran. Membaca adalah pemenuhan, atau penambahan, pikiran. Membaca dan menulis bukan bakat alami manusia. Keduanya bisa dilakukan karena perkembangan terarah alfabet dan teknologi lainnya. Untuk bisa membaca dan menulis, diperlukan pembentukan otak secara sengaja melalui belajar dan latihan.

Otak orang yang bisa membaca dan menulis berbeda dengan mereka yang buta huruf, bukan hanya dalam hal bagaimana mereka berbahasa, namun juga dalam hal bagaimana mereka memproses lambang visual, bagaimana mereka bernalar, dan bagaimana mereka membentuk memori. Kata-kata tertulis membebaskan pengetahuan dari batasan ingatan individu dan membebaskan bahasa dari struktur ritmis dan berpola yang diperlukan untuk mendukung ingatan dan penceritaan. 

Budaya tulis membuka tapal batas pikiran dan ekspresi baru yang luas pada pikiran. "Belajar membaca", tulis psikolog Meksiko, Feggy Ostrosky-Solis, terbukti "berperan besar dalam membentuk sistem psikologi orang dewasa. (Carr, 2015).

Kalau kita membaca sebuah cerpen atau novel, maka otak kita memproses cerita tersebut dan menciptakan simulasi di otak. Ini berbeda dengan menonton. Menonton adalah sebuah kegiatan pasif. Ketika menonton, seluruh indra kita pasif. Kita hanya bisa menerima input tapi tidak menghasilkan output. Otak kita ketika menonton tidak dirangsang untuk berpikir. Otak kita hanya bersikap konsumtif. Maka imajinasi kita tidak berkembang.

Menonton
Film atau sinetron tidak dibuat sekedar sebagai hiburan saja. Film dan sinetron sesungguhnya mengandung pesan dari pembuat film tersebut. Lebih dari itu, film merupakan salah-satu bentuk indoktrinasi. Setiap film sesungguhnya mengandung ideologi tertentu. Lihat saja film "G30S/PKI bertujuan mengindoktrinasi penontonnya agar membenci PKI.

Film-film Holywood  sering menggambarkan kehebatan militer dan budaya Amerika Serikat. Tujuan pembuatan film-film tersebut tidak murni namun mengandung ideologi tertentu. Dengan menguasai mental generasi muda lewat kebudayaan, bangsa tersebut akan mudah ditaklukkan tanpa harus menggunakan kekuatan militer.

Begitu juga dengan film-film lainnnya. Ada nilai yang dibawanya. Di era kapitalisme mutakhir, sebuah film dibuat untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Maka dari itu, film tidak dibuat karena idealisme tertentu. Kalaupun ada, hanya sedikit film yang seperti itu. Film-film idealis biasanya hanya diputar di bioskop-bioskop tertentu.

Penutup
Membaca dan menonton adalah dua hal yang berbeda. Membaca berarti menambah pikiraan kita. Kebalikkannya menonton adalah tindakan pasif. Ketika kita membaca seluruh intelek kita bekerja. Sedangkan kalau kita menonton, tidak ada penambahan pikiran. Agaknya masyarakat lebih suka menonton film. Memang zaman sudah berubah dan semoga ada hal-hal lain yang bisa dipertahankan dari masa lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun