Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Siswa Menilai Sekolah Rasanya seperti "Penjara"

13 Februari 2019   07:00 Diperbarui: 13 Februari 2019   21:38 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak heran, Bimbingan Belajar tumbuh subur di negara-negara Asia. Bahkan bimbel lebih efektif dalam memberikan pengajaran kepada murid-murid daripada sekolah.

Coba bandingkan sistem pendidikan di Finlandia dan Asia. Di Finlandia, guru-guru mendidik para siswa untuk menemukan passion-nya dan agar mereka bahagia.

Murid-murid di Finlandia tidak dibebani dengan PR dan soal-soal latihan. Durasi belajar merekapun pendek tidak seperti di Indonesia yang panjang. Metode pengajaran mereka pun sangat menekankan partisipasi para siswa dalam kelas. Guru-guru dilatih secara profesional, digaji tinggi, dan minimal harus berpendidikan pascasarjana.

Sedangkan murid-murid di Asia dikenal sebagai juara-juara dunia di bidang matematika dan sains. Namun semua itu mereka peroleh dengan menghapal rumus-rumus, bukan dengan memahaminya.

Sistem pendidikan yang murid-murid alami di era kini berakar dari zaman revolusi Industri. Dalam zaman itu, seorang murid akan dilatih menjadi buruh pabrik yang harus melakukan apa yang dikehendaki para pengusaha. Sedangkan kini kita memasuki era Industri 4.0. Reformasi atau bahkan revolusi pendidikan amat dibutuhkan.

Mari kita perbaharui sekolah-sekolah kita agar tidak menjadi penjara. Kekacauan yang terjadi pada masyarakat kita saat ini bukan disebabkan pendidikan agama yang kurang. 

Tidak ada yang kurang dari pendidikan agama kita. Agama diajarkan di sekolah-sekolah. Dakwah agama ada di mana-mana. Lebih dari itu, sekolah tidak menjadi tempat mencerahkan dan membebaskan. Sistem sekolah dengan kurikulum yang padat ini seolah ingin mencetak robot yang patuh pada keinginan industri. 

Bukan mengembangkan kepribadian, kemandirian, dan kreativitas. Murid-murid dijejali dengan berbagai macam pelajaran yang harus dihapal. 

Akibatnya mereka menjadi tertekan dan stres sehingga mereka mencari pelampiasan di luar sekolah. Narkoba, miras, seks bebas, dan konsumerisme menjadi pelarian mereka. Semoga hal ini menjadi perhatian semua. Salam.

Hanvitra, produk kurikulum 1984 dan 1994

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun