Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Siswa Menilai Sekolah Rasanya seperti "Penjara"

13 Februari 2019   07:00 Diperbarui: 13 Februari 2019   21:38 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Seorang guru mengajar di salah satu SD di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara beberapa waktu lalu.(Kompas.com/Kontributor Nunukan, Sukoco)

Ekosistem sekolah di era Industri 4.0 kini perlu dipertanyakan kembali. Apakah sekolah menjadi tempat yang ideal bagi tumbuh kembang anak sampai mencapai usia remaja? 

Ataukah sekolah merupakan penjara yang memasung kreativitas generasi muda hingga kemudian mereka mencari cara lain di luar sekolah? Mengapa dunia pendidikan Indonesia kian lama kian terpuruk hingga akhirnya kalah dengan Vietnam?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus kita jawab sekarang ini. Seorang penulis Inggris, George Bernard Shaw, pernah menulis bahwa sekolah itu lebih buruk daripada penjara. 

Di penjara tidak ada paksaan untuk menghapal apapun. Sedangkan di sekolah seorang siswa akan dihukum guru jika tidak mampu menjawab pertanyaan guru. 

Di penjara, tidak ada paksaan untuk membaca dan menghitung sedangkan di sekolah, murid-murid akan dipaksa membaca sebuah buku yang ditulis oleh orang yang tidak pandai menulis. Di penjara, tidak ada ujian dan tes.

Sekolah menjadi tempat yang menjemukan. Tidak ada saluran rekreasi kecuali apa yang diperbolehkan oleh para guru. Sekolah menjadi penjara terselubung untuk mendidik seorang murid menjadi murid yang patuh tanpa reserve kepada penguasa. 

Margaret Mead, seorang antropolog terkemuka, pernah berkata, "Nenek menghendaki pendidikan untukku. Ia melarangku sekolah."

Sekolah menjadi ekosistem yang buruk bagi generasi muda. Sekolah-sekolah pada umumnya menjadi tempat pengajaran bukan pendidikan. Sekolah menjadi tempat transfer of knowledge, bukan tempat di mana murid-murid bisa mengembangkan keautentikan dirinya. 

Di sekolah, seorang murid tidak menjadi dirinya sendiri, melainkan sekadar nama dan nomor absen yang harus dia tulis setiap hari. Guru-guru tidak sempat memperhatikan nama murid-muridnya satu per satu karena sibuk mengejar tuntutan kurikulum yang semakin padat.

Sistem sekolah pada mulanya dimulai pada taman Akademis di Yunani kuno. Sekolah adalah tempat untuk melatih bakat dan kemampuan para siswa. Namun pada era modern, sekolah menjadi tempat yang mengerikan di mana seorang individu mengalami alienasi (keterasingan) dari lingkungan sosial. 

Belajar di kelas menjadi sesuatu yang membosankan, di mana seorang guru berceramah dan murid-murid mendengarkan. Sistem pendidikan macam ini bagaikan menuangkan air ke dalam cangkir. Murid-murid dianggap sebagai sebuah cangkir sedangkan air adalah ilmu pengetahuan yang dituangkan guru.

Di era digital kini, memang telah terjadi perubahan paradigma pendidikan. Guru kini bukanlah seseorang yang Maha Tahu. 

Tugas guru kini adalah menjadi fasilitator bagi perkembangan murid-murid. 

Kini informasi dapat diakses setiap saat melalui internet. Seorang murid dapat memperoleh beragam informasi dari beragam sumber. 

Di tengah kemajuan teknologi informasi, seorang guru harus mendidik murid-muridnya dengan literasi digital dan literasi media. Tugas guru adalah membimbing murid-murid agar dapat menyaring informasi yang benar, akurat, dan terpercaya.

Perubahan sosial yang dahsyat akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini, menyebabkan banyak hal bergeser. Pergeseran moral tidak dapat dielakkan. 

Seorang guru harus menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didiknya. Moralitas merupakan tiang negara. Apalagi moral suatu bangsa rusak, kehancuran bangsa itu tinggal di depan mata. Namun sayangnya kini media menayangkan berita-berita kekerasan dan kriminalitas secara gamblang. 

Sekolah hendaknya tidak menjadi pembatas antara murid-murid dengan lingkungan sosialnya. Sekolah hendak memberi kebebasan kepada para muridnya untuk mengembangkan minat dan bakat mereka.

Ng Aik Kwang, seorang doktor psikologi pendidikan Singapura dalam bukunya "Asia vs Barat: Benarkah orang Barat lebih kreatif daripada orang Asia?" (Kaifa: 2016) menyatakan betapa jauhnya pendidikan di Barat dan di Asia. Di Barat, kepribadian seorang siswa akan dikembangkan sesuai dengan minat dan bakatnya. 

Sedangkan di Asia, para guru melatih para siswa dengan latihan-latihan soal agar mereka lulus ujian. Tujuan pendidikan di Barat adalah mengembangkan kemandirian dan kreativitas seorang individu, sedangkan di Asia seorang siswa diharuskan menghapal, menghitung, dan membaca agar lulus ujian dan memasuki perguruan tinggi. 

Setelah mereka diharapkan bekerja lembaga-lembaga yang mapan, seperti perusahaan-perusahaan multinasional. Akibatnya murid-murid Asia amat jago dalam matematika dan ilmu alam. Namun dalam hal kreativitas mereka amat kurang.

Nilai menjadi suatu hal yang penting di Asia. Seorang murid di Asia akan belajar mati-matian agar lulus dalam ujian. Tujuan pendidikan bukan lagi untuk mengembangkan kreativitas dan kemandirian siswa, melainkan agar siswa memperoleh nilai yang tinggi dalam ujian. 

Tidak heran, Bimbingan Belajar tumbuh subur di negara-negara Asia. Bahkan bimbel lebih efektif dalam memberikan pengajaran kepada murid-murid daripada sekolah.

Coba bandingkan sistem pendidikan di Finlandia dan Asia. Di Finlandia, guru-guru mendidik para siswa untuk menemukan passion-nya dan agar mereka bahagia.

Murid-murid di Finlandia tidak dibebani dengan PR dan soal-soal latihan. Durasi belajar merekapun pendek tidak seperti di Indonesia yang panjang. Metode pengajaran mereka pun sangat menekankan partisipasi para siswa dalam kelas. Guru-guru dilatih secara profesional, digaji tinggi, dan minimal harus berpendidikan pascasarjana.

Sedangkan murid-murid di Asia dikenal sebagai juara-juara dunia di bidang matematika dan sains. Namun semua itu mereka peroleh dengan menghapal rumus-rumus, bukan dengan memahaminya.

Sistem pendidikan yang murid-murid alami di era kini berakar dari zaman revolusi Industri. Dalam zaman itu, seorang murid akan dilatih menjadi buruh pabrik yang harus melakukan apa yang dikehendaki para pengusaha. Sedangkan kini kita memasuki era Industri 4.0. Reformasi atau bahkan revolusi pendidikan amat dibutuhkan.

Mari kita perbaharui sekolah-sekolah kita agar tidak menjadi penjara. Kekacauan yang terjadi pada masyarakat kita saat ini bukan disebabkan pendidikan agama yang kurang. 

Tidak ada yang kurang dari pendidikan agama kita. Agama diajarkan di sekolah-sekolah. Dakwah agama ada di mana-mana. Lebih dari itu, sekolah tidak menjadi tempat mencerahkan dan membebaskan. Sistem sekolah dengan kurikulum yang padat ini seolah ingin mencetak robot yang patuh pada keinginan industri. 

Bukan mengembangkan kepribadian, kemandirian, dan kreativitas. Murid-murid dijejali dengan berbagai macam pelajaran yang harus dihapal. 

Akibatnya mereka menjadi tertekan dan stres sehingga mereka mencari pelampiasan di luar sekolah. Narkoba, miras, seks bebas, dan konsumerisme menjadi pelarian mereka. Semoga hal ini menjadi perhatian semua. Salam.

Hanvitra, produk kurikulum 1984 dan 1994

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun