Siapa yang tidak kenal Samsung, LG, Hyundai, Daewoo, dan KIA? Pasti dari kita semua ada yang pernah memakai produk-produk tersebut. Made in Korea. Negara ginseng itu kini tengah menggilas kita dengan produk-produk elektronik dan budaya popnya. Â Bintang-bintang pop Korea digilai generasi muda Indonesia. Korean wave melanda dunia. Indonesia? Mungkin sibuk dengan sinetron politik tanpa henti dan tak gunanya itu.
Itulah Korea. Namun untuk menjadi Korea (Selatan) yang seperti ini bukan perkara mudah untuk bangsa Korea. Mereka harus melalui pahit getir perang dan penjajahan. Jatuh-bangunnya perekonomian. Perjalanan gerakan buruh yang panjang. Jaya dan bangkrutnya perusahaan-perusahaan sampai inovasi yang gemilang.
Korea yang sebenarnya bukan hanya seperti yang dibayangkan orang dengan bintang-bintang filmnya yang gagah dan cantik-cantik. Untuk mencapai kejayaan, bangsa Korea (Selatan) harus menempuh jalan yang panjang.
Korea adalah nama untuk sebuah bangsa yang tinggal di Semenanjung Korea di dekat perairan Jepang dan berbatasan dengan China di bagian utara. Korea kini terbelah menjadi dua buah negara: Korea Selatan yang demokratik-liberal dan Korea Utara yang komunis. Kedua negara Korea ini dipisahkan oleh ideologi politik dan ambisi yang berbeda. Terpisah akibat oleh Perang Korea. Korsel didukung AS dan negara-negara Barat sedangkan Korut didukung (bekas) Uni Soviet dan China.
Kini Korsel digolongkan sebagai negara maju di dunia. Korsel bukan lagi bangsa paria. Korsel pernah dijajah Jepang dan perempuan-perempuannya dijadikan jugun ianfu, budak seks tentara Jepang pada Perang Dunia II. Perbudakan ini menimbulkan trauma sendiri bagi bangsa Korea dalam berhubungan dengan Jepang. Namun di sisi lain, Jepang mewariskan disiplin dan teknologi kepada bangsa Korea.
Korsel pasca Perang Korea dilanda kehancuran luar biasa. PD II dan Perang Korea mewariskan trauma besar bagi bangsa Korea.  PBB menyatakan perang terhadap Korut dan menyerukan agar negara-negara Barat melibatkan diri dalam perang tersebut. Keterlibatan negara-negara asing turut menambah beban perang tersebut, termasuk AS. Tidak bisa dipungkiri, AS telah berperan besar mengusir  tentara komunis Korut kembali ke utara. Namun banyak keluarga yang terpisah akibat perang. Perang memang tidak mewariskan kebaikan.
Pada dekade berikutnya, Korsel mulai bangkit. Berbagai macam infrastruktur dibangun seperti jalan raya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perusahaan-perusahaan besar Korsel (Chaebol)) jatuh bangun seperti LG, Hyundai, Samsung, dan Daewoo. Dari Korea kita bisa belajar bagaimana keuletan bangsa itu dalam membangun dirinya sendiri. Bagaimana mereka bisa melangkah di tengah terpaan zaman. Bangsa Korea cenderung homogen. Mereka mempunyai etika sendiri yang digali dari budaya, nilai-nilai Konfusianisme dan agama Budha. Konfusianisme sendiri masuk dari China.
Negara-negara yang menganut Konfusianisme mempunyai etika hidup sendiri seperti penghormatan kepada orang yang lebih tua, menghargai pendidikan, kemandirian, kewiraswastaan, kerja keras, rajin menabung, hemat, dan lain sebagainya. Bangsa Korea cenderung ulet dan pekerja keras karena mereka memiliki keterbatasan sumber daya alam. Secara tradisional, bangsa Korea adalah petani padi. Hamparan sawah terbentang luas di pedesaan. Mereka juga pemakan ikan seperti halnya bangsa Jepang.
Semangat Korea untuk bangkit patut kita teladani. Tidak hanya mengagumi bintang-bintang K-Pop saja. Bangsa Korea telah melalui pahit-getirnya kehidupan. Â Perjalananan bangsa Korea melampaui jelas tidak mudah. Mereka harus berani menghadapi ancaman dan tantangan. Korsel pernah dipimpin oleh diktator militer. Namun rakyat kemudian menggulingkannya. Demokrasi berjaya di Korsel hingga kini.
Di Korsel, bukannya tidak konflik politik. Perbedaan ideologi dan pendapat  sudah menjadi makan sehari-hari rakyat Korsel. Sering kali di parlemen terjadi adu mulut dan baku hantam. Naik-turunnya presiden dan menteri karena korupsi dan penyalahgunaan wewenang menjadi biasa. Namun demokrasi mereka bekerja. Check and balance berjalan dengan baik
Memang dibandingkan dengan kita, Indonesia jelas lebih besar, lebih majemuk, dan lebih kaya sumber daya alam. Â Namun produktivitas kita rendah. Daya saing kita meningkat tetapi masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga. Bangsa kita terkena kutukan sumber daya alam.