Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

"Bad News Is Not Good News"

5 Januari 2018   11:41 Diperbarui: 5 Januari 2018   11:44 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selama ini dunia pers ada sebuah prinsip yang diyakini kebenarannya, "Bad news is good news (Berita buruk berarti berita baik). Media massa tertentu selama ini suka menjadikan berita-berita negatif untuk dipampangkan dalam koran, televisi, situs online, majalah dan sebagainya.

Para pengelola media beranggapan berita-berita berkonotasi negatif yang berkaitan dengan seks, kekerasan, dan kriminalitas adalah berita baik karena dapat menaikkan jumlah oplah atau pembacanya. Mereka berpendapat mayoritas rakyat Indonesia berpendidikan rendah sehingga tidak perlu diberikan berita-berita bermutu. Seks, kekerasan, dan kriminalitas lebih akrab pada mereka daripada berita-berita positif.

Para pengelola media menggeneralisasi bahwa mayoritas pemirsa, pembaca, dan pendengar media mereka suka pada berita-berita itu. Mereka mendasarkan pada survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga pemberi rating yang mereka anggap terbukti kebenarannya. Sayangnya, mereka tidak mengkritisi metode pengumpulan data yang dilakukan lembaga pemberi rating tersebut.

Memang faktanya media-media kuning (yellow paper) seperti itu lebih cepat laku daripada media-media berkualitas. Bahkan beberapa media telah melampaui beberapa generasi. Sebenarnya terlihat jelas media-media tersebut tidak menjalankan fungsi edukasinya kepada masyarakat. Media-media tersebut hanya berusaha memberi hiburan, ketakutan, dan pembodohan kepada pembacanya. Media-media seperti ini hanya berorientasi pada profit.

Media memang bukan sekedar institusi komunikasi massa. Media massa di era modern adalah institusi bisnis. Mereka membutuhkan laba yang besar untuk membiayai penerbitan medianya. Mereka harus menggaji wartawan dengan upah yang layak, membenahi teknologi dengan biaya yang tidak murah, dan memberikan laba kepada pemilik modal. Sayangnya, mereka sudah kehilangan idealisme. Di tengah masyarakat yang tidak suka membaca dan arus informasi dari internet yang mengalir deras, mereka harus berkompetisi atau mati.

Namun asumsi-asumsi yang sering diungkapkan para pengelola media patut ditantang. Sejumlah konsultan media di Indonesia selalu mengatakan bahwa orang Indonesia tidak suka membaca. 

Media seharusnya menyediakan berita-berita pendek dan dangkal saja. Orang Indonesia suka pada berita-berita sensasional. Mayoritas orang Indonesia berpendidikan rendah. 

Seks, kekerasan, dan kriminalitas lebih mudah dijual daripada artikel-artikel bermutu. Semua asumsi yang belum tentu terbukti kebenarannya harus ditantang atau dipertanyakan kembali. Dengan metode apa lembaga-lembaga pemberi rating itu mengumpulkan data? Secepat dan semudah itukah memberi kesimpulan? Orang Indonesia yang mana?

Karena terdesak waktu, banyak survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei baik konsultan media maupun konsultan politik dilakukan dalam tempo waktu yang cepat dan kadang tanpa kedalaman demi tujuan untuk mempengaruhi opini publik. Sebenarnya kita dengan mudah dapat menemukan beberapa kelemahan dalam survei tersebut. 

Sebagai contoh dalam penentuan sampel atas populasi. Dari beberapa survei orientasi pemilih yang dilakukan oleh beberapa lembaga, mereka hanya mengambil sampel yang tidak representatif untuk sekitar 35 juta penduduk Jawa Barat. Ada yang mengambil sampel seribu orang  dari seluruh pemilih terdaftar.

 Terus terang, sepanjang sepengetahuan saya, ini tidak representatif secara statistik. Bagaimana mungkin sampel 1.000 orang bisa merepresentasikan kecenderungan pemilih dari 35 juta penduduk? Menggelikan, bukan?

Hal yang sama juga terjadi pada konsultan media. Bagaimana metode sampling survei media? Bagaimana mengambil kesimpulan? Berapa lama waktunya? Apa saja metode lainnya selain metode kuantitatif?

Hal-hal demikian harus dikritisi. Sayangnya, para pengelola media kita banyak yang tidak paham ilmu statistik sehingga mereka patuh saja kepada konsultan media yang dianggap terkenal dan bertaraf internasional. 

Bahkan tak jarang para pengelola media berkiblat ke negara-negara lain untuk mengelola media. Ketika bisnis surat kabar di Amerika turun akibat media online, mereka pun turut meniru kebijakan-kebijakan media luar untuk diterapkan di Indonesia. Padahal mereka tidak mengetahui bahwa di India, koran dan majalah masih eksis dan terus bertumbuh karena minat baca masyarakatnya yang tinggi.

Para pengelola media kita memang tidak sempat berpikir mendalam karena mereka harus berpikir strategis dalam waktu cepat. Situasi dunia media massa yang dinamis menyebabkan mereka harus berpikir keras. Sayangnya, mereka tidak diberi input yang lebih berimbang mengenai kondisi di lapangan.

Sudah saat pengelola media di Indonesia menantang atau mempercayakan kembali asumsi-asumsi lama yang cenderung dianggap benar. Maraknya berita seks, kekerasan, dan kriminalitas pun didasari asumsi bahwa orang Indonesia tidak suka menambah wawasan dan pengetahuannya. Para pengelola media perlu berpikir "di luar kotak" dan tidak mudah percaya pada konsultan media yang menggunakan metode yang tidak relevan untuk Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun