Hal yang sama juga terjadi pada konsultan media. Bagaimana metode sampling survei media? Bagaimana mengambil kesimpulan? Berapa lama waktunya? Apa saja metode lainnya selain metode kuantitatif?
Hal-hal demikian harus dikritisi. Sayangnya, para pengelola media kita banyak yang tidak paham ilmu statistik sehingga mereka patuh saja kepada konsultan media yang dianggap terkenal dan bertaraf internasional.Â
Bahkan tak jarang para pengelola media berkiblat ke negara-negara lain untuk mengelola media. Ketika bisnis surat kabar di Amerika turun akibat media online, mereka pun turut meniru kebijakan-kebijakan media luar untuk diterapkan di Indonesia. Padahal mereka tidak mengetahui bahwa di India, koran dan majalah masih eksis dan terus bertumbuh karena minat baca masyarakatnya yang tinggi.
Para pengelola media kita memang tidak sempat berpikir mendalam karena mereka harus berpikir strategis dalam waktu cepat. Situasi dunia media massa yang dinamis menyebabkan mereka harus berpikir keras. Sayangnya, mereka tidak diberi input yang lebih berimbang mengenai kondisi di lapangan.
Sudah saat pengelola media di Indonesia menantang atau mempercayakan kembali asumsi-asumsi lama yang cenderung dianggap benar. Maraknya berita seks, kekerasan, dan kriminalitas pun didasari asumsi bahwa orang Indonesia tidak suka menambah wawasan dan pengetahuannya. Para pengelola media perlu berpikir "di luar kotak" dan tidak mudah percaya pada konsultan media yang menggunakan metode yang tidak relevan untuk Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H