It took a vilage. Pernyataan tersebut diutarakan mantan menlu AS Hillary Rodham Clinton dalam salah-satu bukunya. Menurutnya, untuk mendidik seorang anak tidak hanya tanggung---jawab orang tua saja, tapi meliputi seluruh kampung atau desa. Hal ini diambil dari tradisi orang-orang Afrika di masa lampau.
Seorang anak seyogyanya tidak hanya dididik di lingkungan keluarganya tetapi di lingkungan sosialnya. Â Di masa lalu, Â semua orang peduli dengan kondisi kampungnya. Mereka menganggap anak-anak orang lain entah itu tetangga, saudara, ataau teman sekampung sebagai anak-anak mereka juga. Apalagi adat-istiadat yang sama menjadikan adanya ikatan di antara mereka. Ikatan budaya ini tidak bisa diremehkan begitu saja. Ikatan budaya lebih kuat dari ikatan politik.
Manusia mempunyai sisi primordialitasnya. Primordialisme berasal dari kata "primordium" yang berarti sesuatu yang melekat pada diri seseorang dari kecil, baik itu berupa agama, budaya, afiliasi, keluarga, kampung halaman, bangsa, almamater maupun suku bangsa. Primordialitas ini mendorong seseorang untuk dekat dengan mereka yang berasal dari satu akar yang sama. Hal ini tampak merupakan sesuatu yang sudah given dari Tuhan. Di dalam kitab suci pun Tuhan mengakui keragaman aspek pada diri manusia.
Di masyarakat non-Barat, pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah atau di rumah, tetapi juga di masyarakat. Masyarakat mendidik generasi muda untuk beretika dan bertindak. Ada semacam norma sosial yang mendasari perilaku generasi tua kepada yang lebih muda. Begitu juga generasi muda kepada yang lebih senior. Hal ini dimungkinkan karena di masa lalu, masyarakat belum seindividualistis sekarang. Setiap warga masyarakat merasa berkewajiban mendidik generasi muda.
Tradisi ini masih ada pada masyarakat-masyarakat lain di dunia. Baik di Afrika maupun di Asia. Pada hakikatnya, masyarakat mewariskan tradisi dan nilainya kepada generasi yang lebih muda. Masyarakat bagaikan keluarga. Sedangkan di masyarakat Barat yang kohesivitasnya sangat lemah hal itu tidak pernah terjadi. Setiap orang hanya peduli pada masalahnya sendiri. Masyarakat mengalami atomisasi. Seorang individu walaupua ia tinggal dan bergaul dengan orang-orang banyak merasa dirinya sendiri dan terasing. Masyarakat Barat mengalami alienasi (keterasingan) dari masyarakatnya. Tidak ada tanggung-jawab sosial seorang individu kepada masyarakatnya, apalagi generasi muda.
Masyarakat Barat menjunjung tinggi hak-hak individu, namun tidak diiringi dengan kewajiban individu kepada masyarakatnya. Atas nama HAM, seorang individu dijamin kebebasannya dalam melakukan sesuatu asalkan tidak mengganggu orang lain. Sedangkan nilai-nilai yang luhur dan moralitas menjadi sesuatu yang asing. Moralitas masyarakat ditentukan oleh rasio, bukan dari agama atau budaya.
Mereka hanya diwajibkan membayar pajak kepada negara dan sebagai balasannya mereka mendapat jaminan keamanan dari negara. Manusia dinilai dari produktivitasnya sebagai makhluk ekonomi (homo economicus). Manusia dalam filsafat Barat dianggap sebagai makhluk yang selfish yang selalu mengutamakan kepentingannya sendiri.
Nilai-nilai kekeluargaan mengalami degradasi. Generasi muda Barat banyak yang tidak menikah. Mereka lebih suka hidup bersama dengan pasangannya masing-masing tanpa ikatan pernikahan. Keluarga dalam pandangan mereka hanya menyusahkan saja apalagi kalau sudah punya anak. Mengurus anak menyebabkan kebebasan mereka terhalangi.
Barat mengalami krisis demografi yang parah di mana jumlah lanjut usia lebih besar daripada manusia produktif. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena secara ekonomi produktivitas masyarakat Barat semakin berkurang.
Pandangan masyarakat Barat mengenai seks telah mengalami pergeseran dalam beberapa dekade. Seks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang suci dan sakral. Seks direduksi hanya sebagai hubungan biologis saja. Seks tidak harus dilakukan atas nama Tuhan dalam institusi pernikahan melainkan boleh dilakukan siapa saja asalkan suka sama suka dan tidak mengganggu orang lain. Tak heran, kekerasan seksual meningkat dalam masyarakat Barat.
Masyarakat Barat telah meninggalkan agama. Mereka lebih mengedepankan syahwat dibandingkan nilai-nilai moral agama. Agama dianggap sebagai sesuatu yang kuno, penuh mitos dan bertentangan dengan sains. Agama kian terpinggirkan dalam kehidupan publik masyarakat Barat. Agama adalah urusan pribadi seorang manusia dengan Tuhan dan tidak berkaitan sama sekali dengan urusan kemasyarakatan.
Pandangan dan model masyarakat Barat ini yang kemudian dicoba dipaksakan kepada masyarakat non-Barat. Globalisasi tidak hanya terjadi pada ranah ekonomi saja, tetapi melebar dalam masalah budaya. Globalisasi budaya ini sangat gencar dilancarkan kepada negara-negara dunia ketiga. Globalisasi budaya ini tidak lain dari upaya westernisasi kepada masyarakat non-Barat. Selain itu, Barat juga coba mengekspor demokrasi dan kapitalisme liberal kepada seluruh dunia. Negara yang tidak demokratis dianggap aneh dan ketinggalan zaman. Dalih mereka adalah demokrasi mensyarakat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan publik.
Indonesia, sebagai salah-satu contoh, adalah laboratorium percobaan modernisasi dalam arti luas. Indonesia mengadopsi demokrasi liberal dan kapitalisme. Di bidang kemasyarakatan, Â rakyat Indonesia banyak yang mengadopsi model masyarakat Barat. Akibatnya, masyarakat Indonesia mengalami perubahan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Masyarakat Indonesia kian individualistis, materialistis, dan hedonistik. Perubahan sosial ini berlangsung begitu cepat dan kurang disadari oleh pemuka-pemuka masyarakat. Perubahan tata nilai ini menjungkir---balikkan nilai-nilai agama, budaya dan moral.
Kota-kota di Indonesia penuh dengan mal dan pusat perbelanjaan. Mal adalah kuil manusia modern. Mal adalah perwujudan kapitalisme global. Di mal, keinginan direkayasa dengan iklan menjadi kebutuhan. Nilai-nilai hedonistik mengjangkiti masyarakat dari kelas bawah sampai kelas atas.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi di seluruh dunia. Bangsa-bangsa Afrika adalah yang terparah terkena dampak dari globalisasi budaya. Â Pendidikan Indonesia tertinggal 5-10 tahun dari negara-negara maju. Begitu dengan negara-negara dunia ketiga di seluruh dunia.
Di era kapitalisme turbo ini, pendidikan menjadi komoditas. Pendidikan seolah-olah hanya menjadi tanggung-jawab pemerintah saja. Masyarakat kurang dilibatkan dalam pendidikan. Masyarakat Indonesia tidak memikirkan nilai-nilai dan moral lagi. Mereka disibukkan dalam pertarungan ekonomi. Â Namun di beberapa daerah yang kurang tersentuh pembangunan, keterlibatan masyarakat dalam pendidikan masih dipertahankan.
Pendidikan adalah hak warga negara dan kewajiban warga negara yang terjangkau bagi warga negara. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan merupakan satu keharusan. Di era demokrasi partisipatif seperti sekarang. Demokrasi harus mendasarkan pada budaya setempat. Begitu juga dengan pendidikan. Wallahu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H