Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa dan Ketidakadilan Global

14 Juni 2016   02:56 Diperbarui: 14 Juni 2016   03:16 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada banyak cara memaknai puasa. Sebagian dengan melakukan ibadah habis-habisan terutama di bulan Ramadhan. Mereka menganggap Islam adalah agama ritual yang harus dikerjakan, mulai dari sholat, puasa, zakat, sampai haji. Semua ritual mengandung makna tersendiri. Islam tidak bisa dilepaskan dari ritualitas.

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku,” petikan ayat Al-Qur’an. Dengan mengacu kepada ayat suci diatas. Mereka beranggapan ibadah merupakan inti ajaran Islam.  Sholat misalnya merupakan tiang agama sehingga tidak boleh dilupakan begitu saja. Islam ritual ini biasanya melakukan ritual yang lebih dari biasanya. Mereka melakukan tahlilan, maulidan, dan sebagainyaa. Di Indonesia, kelompok-kelompok Islam ritual ini cenderung sangat berlebihan. 

Sebagian menganggap Islam bukan sekedar agama ritual, Islam adalah agama sosial. Dalam banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis, Tuhan  memerintahkan umat manusia untuk saling menolong orang lain, bederma, berempai, berbuat baik, dan tidak menyakiti hati orang lain.  Kelompok kedua ini disebut kelompok substansialistik. Mereka memaknai Islam secara substansi bukan secara ritual belaka. Pemaknaan Islam secara ritual belaka suatu saat akan mengakibatkan hilangnya makna sejati dari agama itu sendiri.

Ada lagi yang menganggap Islam sebagai agama intelektual. Bagi mereka, akal amat penting untuk memahami ayat-ayat suci Al-Qur’an, Hadis, dan ajaran-ajaran Islam lainnya. Mereka berpendapat tidak ada Islam tanpa ilmu. Dan ilmu adalah buah dari akal.  Ayat-ayat Al-Qur’an mengandung isyarat-isyarat sains yang sangat maju dibanding pada saat diturunkannya kitab suci tersebut. Al-Qur’an diperuntukkan untuk mereka yang berpikir. Dalam bahasa al-Qur’an mereka yang memikirkan ayat-ayat suci al-Qur’an dan ayat-ayat alam semesta ini disebut sebagai ulu al-albab. (kaum yang berpikir). Ayat-ayat Al-Qur’an banyak mengandung ajaran mengenai sains. Bahkan al-Qur’an menantang umat manusia untuk memikirkan al-Qur’an dan membuktikan kebenarannya. Al-Qur’an bicara mengenai alam semesta, hewan, dan tetumbuhan. Di al-Qur’an ada ayat tentang sapi, semut, lebah, laba-laba, guruh, angin, dan lain sebagainya.

Memang al-Qur’an dapat diperuntukkan untuk orang yang berpikir maupun orang awam. Al-Qur’an dapat disesuaikan untuk siapa saja, tergantung siapa yang membacanya. Islam menganjurkan umatnya untuk menggunakan akal untuk menguak rahasia alam dan memahami ajaran agamanya. Sayangnya, anjuran ini sudah lama ditinggalkan oleh umatnya sendiri. Mereka memahami Islam secara tekstual bukan substansial.

Di bulan Ramadhan ini, anjuran yang biasa diserukan para ustadz dan penceramah adalah anjuran untuk beribadah secara habis-habisan. Para ustadz yang biasanya berasal dari kelompok-kelompok tertentu menekankan amalan-amalan yang biasanya bersifat sunnah. Mereka mengacu pada hadis bahwa amalan-amalan sunnah diganjar pahala ibadah wajib di bulan Ramadhan ini. Ceramah-ceramah di masjid-masjid lebih banyak menyerukan umat Islam untuk memburu pahala ketimbang memahami esensi Islam.

Memaknai Islam secara substansialistik adalah sesuatu yang perlu kita lakukan utamanya di bulan Ramadhan. Bahwa Islam mengandung sisi-sisi ritual adalah benar. Begitu pula dengan pemaknaan secara sosial. Sebenarnya banyak sekali ajaran Islam mengandung makna sosial. Islam bukan sekedar agama ritual. Memang benar Allah memerintahkan shalat, puasa, zakat dan haji. Namun itu mengandung sisi sosial yang mendalam. Al-Qur’an, kitab suci Islam, mengandung ajaran etika dan moral yang mendalam.

Di dalam surat Al-Maun jelas sekali Allah berfirman bahwa orang-orang yang shalat itu celaka kecuali mereka yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Iman saja tidak cukup. Iman harus diikuti oleh amal shalih. Amal shalih adalah amal yang bermanfaat bagi umat manusia. Iman tidak cukup diartikan dengan “percaya”. Lebih daripada itu, iman harus dibuktikan dengan perbuatan yang bermanfaat bagi manusia.

Kalau kita cermati, shalat mengandung nilai disiplin, demokrasi, dan persamaan hak dan martabat kemanusiaan. Tidak yang kaya dan miskin di hadapan Tuhan. Yang diukur adalah iman dan amal shalihnya. Allah tidak melihat wajah dan pakaian kita, melainkan hati dan amal perbuatan kita. Sehingga salah kalau kita menganggap yang disebut amalan dalam Islam hanya berupa wirid-wirid dan zikir yang diucapkan keras-keras dan panjang. Lebih dari itu, amal shalih dalam Islam merupakan perbuatan yang konkrit untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis, adil, dan demokratis. Shalat juga mengajarkan demokrasi. Untuk menjadi imam harus orang yang disepakati oleh para makmumnya. Tidak boleh imam orang yang dibenci oleh para makmumnya. Imam harus memperhatikan kondisi makmumnya. Jika ada makmum yang sakit dan sudah tua, maka imam tidak boleh memperpanjang bacaan dan gerakannya.

Segala sesuatu yang bermanfaat akan hidup lebih lama daripada perbuatan-perbuatan yang salah. Islam menganjurkan umatnya untuk memperhatikan nasib kaum miskin dan sebisa mungkin turut mengubahnya. Salah-satu prinsip penting dalam Islam adalah keadilan. Islam adalah agama keadilan. Islam mendukung struktur ekonomi-politik yang menciptakan keadilan bagi seluruh umat manusia. Salah-satu persoalan di dunia ini adalah redistribusi pendapatan yang tidak adil. Ada negara-negara kaya yang bertambah kaya dengan meminjamkan uangnya kepada negara-negara miskin dengan bunga yang besar sehingga menciptakan ketergantungan yang besar pula.

Di tengah dunia yang dilanda ketidakadilan ini, di manakah peran umat Islam? Kemiskinan struktural saat ini dialami oleh masyarakat miskin. Kemiskinan dan keterbelakangan bukan hanya disebabkan masyarakat tersebut bodoh dan kurang kreatif, tetapi karena mereka dimiskinan dan terpinggirkan secara struktural. Negara ternyata tidak mampu menyejahterakan mereka karena aparatur pemerintahan yang korup. Jika kita memahami Al-Qur’an, mereka yang zhalim adalah mereka berbuat tidak adil dalam masyarakat. Kezaliman struktural inilah yang tidak disukai oleh Tuhan. Allah menolak keganasan sebagian kaum terhadap kaum yang lain.

Puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga. Lebih daripada itu, puasa melatih seorang muslim untuk berempati kepada kaum miskin agar ia merasakan apa yang dirasakan oleh kaum miskin. Dengan berpuasa, konsumsi rumah tangga dapat disisihkan untuk membantu kaum miskin. Begitu juga dengan zakat. Zakat merupakan bentuk pemerataan pendapatan. Selain itu, berbagai inovasi untuk membantu kaum miskin diperkenankan dalam Islam.

Permasalahan di dunia kita saat ini adalah konsumsi berlebihan yang dilakukan sebagian umat manusia. Ada masyarakat yang hidup berkelimpahan dan ada juga warga masyarakat dilanda kemiskinan yang akut. Betapa banyak makanan terbuang setiap hari yang tidak habis dikonsumsi oleh masyarakat kaya. Anggaran global untuk hewan peliharaan pun lebih besar dari subsidi yang diterima kaum miskin.

Ketidakadilan global ini seharusnya yang menjadi concern umat manusia dewasa ini. Kapitalisme ternyata tidak mampu menyejahterakan masyarakat dunia. Ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin pun semakin menganga. Hanya 8,4% dari total 5 milyar orang dewasa di dunia memiliki 83.4% dari keseluruhan kekayaan rumah tangga (yakni aset properti dan finasial, seperti saham dan uang tunai di bank). Sekitar 393 juta orang yang punya kekayaan bersih (yakni kekayaan setelah semua utang dihitung) lebih dari 100.000 USD, yang berarti 10% orang memiliki 86% dari keseluruhan kekayaan rumah tangga [i].

Islam bukan sebuah agama yang melulu mengurusi masalah spiritual amat peduli dengan masalah ini. Sebagian kecil negara-negara Islam hidup dalam kekayaan yang melimpah seperti terlihat pada negara-negara kaya minyak dan sumber daya alam lainnya. Namun sebagian besar umat Islam di seluruh di dunia hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan. Merekalah yang disebut al-Qur’an sebagai al-mustadh’afin (mereka yang lemah atau dilemahkan).  Kepada mereka kasih Tuhan tercurah. Ekonomi Islam sebagai ekonomi yang berkeadilan harus digalakkan lagi. Tugas kita sebagai kaum intelektual di dunia adalah menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Adalah jamak diketahui kapitalisme tidak menciptakan keadilan. Kapitalisme global menciptakan ketimpangan yang mencolok. Bahkan di Amerika Serikat, sekitar 10 persen masyarakatnya hidup dalam kemiskinan, sedangkan kekayaan dikuasai oleh 5 persen orang terkaya di AS.

Apakah cukup kalau mereka yang miskin itu disuntikkan virus kewirausahaan? Tidak. Mereka walaupun miskin adalah kaum yang mandiri. Yang dibutuhkan adalah pemihakan secara politik, ekonomi, dan terhadap mereka. Dibutuhkan pemihakan negara yang jelas terhadap mereka. Kemiskinan dan keterbelakangan harus dientaskan. Mereka harus diberi insentif untuk berusaha.  Negara harus bersikap adil dalam menciptakan perekonomian. Subsidi memang harus tetap diberikan. Negara jangan hanya berpihak terhadap para konglomerat semata. Pembangunan hendaknya bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat kecil seperti petani dan nelayan dan menciptakan distribusi pendapatan yang merata. Korupsi harus diberantas karena aparatur negara yang korup akan memiskinkan negara dan masyarakat.   

Kebijakan rezim Jokowi-JK untuk membangun infrastruktur di seantero negeri sudah benar. Namun jangan hanya dipusatkan di pulau Jawa semata. Kita perlu membangun demokrasi ekonomi, bukan demokrasi politik semata. Demokrasi politik kita ditunggangi oleh oligarki dan kolaborasi antara penguasa dan pengusaha. Jokowi-JK jangan bergantung kepada hutang luar negeri, bahkan kepada China sekalipun. Momentum puasa ini adalah sarana introspeksi kita dalam membangun bangsa ini. Jangan sampai Indonesia terjatuh ke dalam negara paria lagi. Jangan. Insya Allah. Wa Allahu a’lam bisshowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun