Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa dan Ketidakadilan Global

14 Juni 2016   02:56 Diperbarui: 14 Juni 2016   03:16 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga. Lebih daripada itu, puasa melatih seorang muslim untuk berempati kepada kaum miskin agar ia merasakan apa yang dirasakan oleh kaum miskin. Dengan berpuasa, konsumsi rumah tangga dapat disisihkan untuk membantu kaum miskin. Begitu juga dengan zakat. Zakat merupakan bentuk pemerataan pendapatan. Selain itu, berbagai inovasi untuk membantu kaum miskin diperkenankan dalam Islam.

Permasalahan di dunia kita saat ini adalah konsumsi berlebihan yang dilakukan sebagian umat manusia. Ada masyarakat yang hidup berkelimpahan dan ada juga warga masyarakat dilanda kemiskinan yang akut. Betapa banyak makanan terbuang setiap hari yang tidak habis dikonsumsi oleh masyarakat kaya. Anggaran global untuk hewan peliharaan pun lebih besar dari subsidi yang diterima kaum miskin.

Ketidakadilan global ini seharusnya yang menjadi concern umat manusia dewasa ini. Kapitalisme ternyata tidak mampu menyejahterakan masyarakat dunia. Ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin pun semakin menganga. Hanya 8,4% dari total 5 milyar orang dewasa di dunia memiliki 83.4% dari keseluruhan kekayaan rumah tangga (yakni aset properti dan finasial, seperti saham dan uang tunai di bank). Sekitar 393 juta orang yang punya kekayaan bersih (yakni kekayaan setelah semua utang dihitung) lebih dari 100.000 USD, yang berarti 10% orang memiliki 86% dari keseluruhan kekayaan rumah tangga [i].

Islam bukan sebuah agama yang melulu mengurusi masalah spiritual amat peduli dengan masalah ini. Sebagian kecil negara-negara Islam hidup dalam kekayaan yang melimpah seperti terlihat pada negara-negara kaya minyak dan sumber daya alam lainnya. Namun sebagian besar umat Islam di seluruh di dunia hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan. Merekalah yang disebut al-Qur’an sebagai al-mustadh’afin (mereka yang lemah atau dilemahkan).  Kepada mereka kasih Tuhan tercurah. Ekonomi Islam sebagai ekonomi yang berkeadilan harus digalakkan lagi. Tugas kita sebagai kaum intelektual di dunia adalah menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Adalah jamak diketahui kapitalisme tidak menciptakan keadilan. Kapitalisme global menciptakan ketimpangan yang mencolok. Bahkan di Amerika Serikat, sekitar 10 persen masyarakatnya hidup dalam kemiskinan, sedangkan kekayaan dikuasai oleh 5 persen orang terkaya di AS.

Apakah cukup kalau mereka yang miskin itu disuntikkan virus kewirausahaan? Tidak. Mereka walaupun miskin adalah kaum yang mandiri. Yang dibutuhkan adalah pemihakan secara politik, ekonomi, dan terhadap mereka. Dibutuhkan pemihakan negara yang jelas terhadap mereka. Kemiskinan dan keterbelakangan harus dientaskan. Mereka harus diberi insentif untuk berusaha.  Negara harus bersikap adil dalam menciptakan perekonomian. Subsidi memang harus tetap diberikan. Negara jangan hanya berpihak terhadap para konglomerat semata. Pembangunan hendaknya bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat kecil seperti petani dan nelayan dan menciptakan distribusi pendapatan yang merata. Korupsi harus diberantas karena aparatur negara yang korup akan memiskinkan negara dan masyarakat.   

Kebijakan rezim Jokowi-JK untuk membangun infrastruktur di seantero negeri sudah benar. Namun jangan hanya dipusatkan di pulau Jawa semata. Kita perlu membangun demokrasi ekonomi, bukan demokrasi politik semata. Demokrasi politik kita ditunggangi oleh oligarki dan kolaborasi antara penguasa dan pengusaha. Jokowi-JK jangan bergantung kepada hutang luar negeri, bahkan kepada China sekalipun. Momentum puasa ini adalah sarana introspeksi kita dalam membangun bangsa ini. Jangan sampai Indonesia terjatuh ke dalam negara paria lagi. Jangan. Insya Allah. Wa Allahu a’lam bisshowab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun