Internet terbukti telah menjadi salah-satu unsur perubah paling cepat dalam sejarah peradaban manusia. Sebelum internet, transfer pengetahuan ke seluruh dunia berjalan lamban. Kini dengan adanya internet, proses penyebaran pengetahuan berjalan amat cepat. Berbagai macam jurnal, artikel, esai, sampai laporan penelitian dapat diunduh hanya dengan ukuran menit dan detik. Hal ini semacam ini hampir tidak dapat dibayangkan di masa lalu.
Namun internet bukan hanya menyajikan kecepatan, tapi juga masalah. Sebagai sebuah saluran yang bebas, internet dapat digunakan untuk apa saja. Penipu menggunakannya sebagai sarana untuk menipu pengguna internet. Teroris menggunakannya untuk menyiarkan kekejamannya dan menteror masyarakat dan negara-negara tertentu. Para pekerja seks komersial (PSK) juga menggunakan internet untuk mengiklankan dirinya.
Internet adalah saluran penuh kejutan, sekaligus ironi. Ironi karena banyak orang mendapat manfaat dari internet, tetapi banyak orang juga yang bisa kecewa dan dirugikan lewat saluran ini. Internet bukan saluran orang-orang suci. Siapapun bisa menggunakannya baik orang baik maupun orang jahat. Internet membawa nilai-nilai tertentu yakni kebebasan mengakses informasi.
Google yang dianggap sebagai “gereja dunia maya” telah menyebabkan pengaksesan informasi menjadi sangat mudah. Hal ini mengubah semuanya. Namun tak dapat dipungkiri kemanusiaan kita pun berubah dengan adanya internet. Manusia pasca-modernitas bukan lagi manusia modern atau tradisional seperti dulu. Kita hidup di dunia hiper-realitas. Kita hidup di dalam realitas maya di mana simbol dan status ditentukan dengan keaktifan menggunakannya.
Hal ini berakibat hidup di internet adalah hidup yang artifisial atau semu. Dunia internet adalah dunia kesemuan. Tak ada yang nyata di internet. Orang bisa mengakses banyak informasi di internet, tapi tak akan mendapat seorang guru atau ulama yang benar-benar mumpuni. Kita hidup di dunia mekanistik, robotik, dan nyaris hilang ditelan kecepatan bytes per second.
Manusia pun kehilangan kemanusiaannya. Interaksi antar manusia terjadi di jaringan internet dan digital. Manusia kehilangan kehangatan kehidupan kemanusiaan. Kehidupan tanpa teknologi menjadi sesuatu yang mahal sekaligus dirindukan. Di masa depan, hidup manusia akan berjalan monoton, tanpa rasa dan jiwa. Semua terpusat pada ponsel dan komputer. Manusia akan kehilangan sentuhan manusiawinya.
Semua itu bukan isapan jempol. Benih-benih demikian telah terjadi terutama di kota-kota besar. Hampir selama 24 jam hidup manusia dikuasai teknologi. Teknologi telah menjajah manusia. Dan manusia tak diberi kesempatan melawan. Melawan berarti tersisih dan akhirnya terasing sendiri di tengah kemajuan zaman.
Internet yang kita gunakan sekarang, yang kecepatannya bertambah setiap waktu, adalah produk kapitalisme turbo. Ini jenis kapitalisme baru yang memuja kecepatan. Dunia ekonomi dan keuangan ditentukan oleh teknologi digital untuk mengatur pergerakan mata uang, saham, dan harga-harga di dunia. Di dunia ini terjadi kesenjangan teknologi antara negara kaya dan negara miskin. Kesenjangan ini sengaja dilanggengkan agar peta ekonomi-politik internasional tetap menguntungkan negara-negara maju.
Anak-anak di Jerman belajar dengan menggunakan komputer tablet sedangkan di Kenya dan Ghana, anak-anak bersekolah di alam bebas dengan menggunakan papan tulis dan buku catatan. Namun bukan berarti kehidupan tanpa teknologi itu sesuatu yang tidak mengenakkan. Teknologi dapat menjadi penguasa kehidupan manusia. Dan sayangnya, kita tak bisa mengelak.
Di masa depan, manusia hidup layaknya “cyberborg”(cybernetics organism). Manusia hanyalah perpanjangan dari mesin. Manusia hidup seperti mesin biologis. Melakukan sesuatu tanpa dorongan nafsu dan rasa. Kita sering mengejek nafsu. Tapi sesungguhnya tanpa nafsu kita bukan manusia. Akal budi akan mati. Digantikan pemrosesan informasi di otak seperti halnya komputer. Para petinggai Google mengganggap otak manusia bagaikan sebuah super-komputer. Padahal otak manusia di mana rasionalitas dan perasaaan berada jauh lebih kompleks dari komputer tercanggih sekalipun.
Apakah di masa depan manusia akan menemukan komputer super-canggih yang sama atau lebih hebat dari otak manusia? Saya meragukannya. Otak adalah karunia Tuhan yang cara bekerjanya baru sedikit diketahui para pakar ilmu otak. Sedangkan komputer adalah ciptaan manusia. Secanggih-canggihnya ciptaan manusia tidak akan mampu menandingi ciptaan Tuhan.
Manusia di era hiper-realitas ini kian sombong. Merasa jumawa dengan teknologi yang berhasil diciptakan. Pertimbangan moral dan spiritualitas semakin hilang diganti dengan hitungan-hitungan kalkulasi sebab-akibat dan untung-rugi. Relasi antar manusia digantikan dengan kalkulasi untung-rugi (cost and benefit), bukan karena kemanusiaan atau persaudaraan atau persahabatan.
Dunia di masa yang akan datang memang akan berubah. Dunia tidak akan menjadi seperti dulu lagi. Kita akan hidup di dunia yang berbeda. Tantangan kehidupan akan semakin kompleks, termasuk menjadi orang tua. Benar kata sayyidina Ali kw, “didiklah anakmu untuk zaman yang sama sekali lain dari zamanmu”. Internet mengubah cara kita berpikir, merasa, berinteraksi, bersekolah, bertempur, bercinta, berpolitik, berekonomi, bekerja, beriklan, sampai berbudaya. Di masa yang akan datang, manusia tidak perlu lagi keluar rumah untuk bekerja atau berbelanja. Ia tinggal membuka aplikasi tertentu dan mengerjakannya di mana pun. Hidup menjadi lebih praktis dan mudah. Namun itu akan menimbulkan konsekuensi serius bagi nilai-nilai kemanusiaan di masa depan.
Kita di Indonesia mungkin belum terlalu merasakannya. Namun di dunia maju, perubahan kemanusiaan telah terjadi. Orang-orang yang tinggal di negara-negara maju hidup di cyber city (kota siber) atau cyber society (masyarakat siber). Ruang publik (public sphere) ada di jaringan internet dan telepon seluler generasi terbaru. Diskusi isu-isu sosial, politik, budaya dan keagamaan amat sering terjadi di internet ketimbang di dunia nyata. Namun diskusi itu berubah menjadi ajang caci-maki. Bukan dialog yang mencerahkan. Ini karena di internet orang boleh bicara apa saja dan siapa saja boleh ikut tanpa mengetahui latar-belakang orang tersebut.
Pertanyaan yang paling mendasar, seperti apakah manusia di masa depan? Ada sekelumit yang bisa kita gambarkan, manusia akan sangat tergantung teknologi. Tanpa teknologi, kemanusiaan di abad tidak eksis. Manusia menjadi seperti bukan manusia, tanpa ponsel, internet, dan komputer. Kita berada di sebuah dunia yang dilipat. Sedangkan menurut Thomas L. Friedman, kolumnis New York Times itu, sebuah dunia yang datar. Kita tidak lagi melihat dunia seperti halnya Columbus melihat dunia. Era ini akan ditandai dengan menciutnya negara bangsa. Ekonomi menjadi lebih penting dari hal-hal lainnya. Kita akan memasuki era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Bisa saja di masa depan, peranan robot akan lebih penting. Manusia membutuhkan robot untuk hal-hal yang sederhana. Peranan tenaga kerja manusia akan segera tergantikan oleh robot.
Apakah ini suatu sikap skeptis dari penulis? Memang ini kegelisahan penulis. Kita akan segera meninggalkan era Guttenberg menuju galaksi dunia cyber. Hal ini sebenarnya sedikit demi sedikit mulai mengjangkiti dunia di sekeliling kita, tanpa kita sadari. Istilah Internet of Everything semakin menggambarkan eratnya ketergantungan manusia terhadap teknologi.
Sebenarnya ramalan-ramalan ini bukan hal baru. Alvin Toffler, penulis The Third Wave dan Future Shock sudah lama meramalkan hal ini. Begitu juga dengan penulis-penulis filsafat teknologi, seperti Jacques Ellul dan Jurgen Habermas. Sebaiknya kita mulai merenungkan apa makna kehadiran internet terhadap kita. Kita benar-benar harus memikirkan hal ini karena ini berkaitan dengan masa depan kita atau anak-anak kita. Agar kita tidak lagi terjerembab pada lubang yang sama yang dialami negara-negara maju.
Depok, 12 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H