Manusia di era hiper-realitas ini kian sombong. Merasa jumawa dengan teknologi yang berhasil diciptakan. Pertimbangan moral dan spiritualitas semakin hilang diganti dengan hitungan-hitungan kalkulasi sebab-akibat dan untung-rugi. Relasi antar manusia digantikan dengan kalkulasi untung-rugi (cost and benefit), bukan karena kemanusiaan atau persaudaraan atau persahabatan.
Dunia di masa yang akan datang memang akan berubah. Dunia tidak akan menjadi seperti dulu lagi. Kita akan hidup di dunia yang berbeda. Tantangan kehidupan akan semakin kompleks, termasuk menjadi orang tua. Benar kata sayyidina Ali kw, “didiklah anakmu untuk zaman yang sama sekali lain dari zamanmu”. Internet mengubah cara kita berpikir, merasa, berinteraksi, bersekolah, bertempur, bercinta, berpolitik, berekonomi, bekerja, beriklan, sampai berbudaya. Di masa yang akan datang, manusia tidak perlu lagi keluar rumah untuk bekerja atau berbelanja. Ia tinggal membuka aplikasi tertentu dan mengerjakannya di mana pun. Hidup menjadi lebih praktis dan mudah. Namun itu akan menimbulkan konsekuensi serius bagi nilai-nilai kemanusiaan di masa depan.
Kita di Indonesia mungkin belum terlalu merasakannya. Namun di dunia maju, perubahan kemanusiaan telah terjadi. Orang-orang yang tinggal di negara-negara maju hidup di cyber city (kota siber) atau cyber society (masyarakat siber). Ruang publik (public sphere) ada di jaringan internet dan telepon seluler generasi terbaru. Diskusi isu-isu sosial, politik, budaya dan keagamaan amat sering terjadi di internet ketimbang di dunia nyata. Namun diskusi itu berubah menjadi ajang caci-maki. Bukan dialog yang mencerahkan. Ini karena di internet orang boleh bicara apa saja dan siapa saja boleh ikut tanpa mengetahui latar-belakang orang tersebut.
Pertanyaan yang paling mendasar, seperti apakah manusia di masa depan? Ada sekelumit yang bisa kita gambarkan, manusia akan sangat tergantung teknologi. Tanpa teknologi, kemanusiaan di abad tidak eksis. Manusia menjadi seperti bukan manusia, tanpa ponsel, internet, dan komputer. Kita berada di sebuah dunia yang dilipat. Sedangkan menurut Thomas L. Friedman, kolumnis New York Times itu, sebuah dunia yang datar. Kita tidak lagi melihat dunia seperti halnya Columbus melihat dunia. Era ini akan ditandai dengan menciutnya negara bangsa. Ekonomi menjadi lebih penting dari hal-hal lainnya. Kita akan memasuki era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Bisa saja di masa depan, peranan robot akan lebih penting. Manusia membutuhkan robot untuk hal-hal yang sederhana. Peranan tenaga kerja manusia akan segera tergantikan oleh robot.
Apakah ini suatu sikap skeptis dari penulis? Memang ini kegelisahan penulis. Kita akan segera meninggalkan era Guttenberg menuju galaksi dunia cyber. Hal ini sebenarnya sedikit demi sedikit mulai mengjangkiti dunia di sekeliling kita, tanpa kita sadari. Istilah Internet of Everything semakin menggambarkan eratnya ketergantungan manusia terhadap teknologi.
Sebenarnya ramalan-ramalan ini bukan hal baru. Alvin Toffler, penulis The Third Wave dan Future Shock sudah lama meramalkan hal ini. Begitu juga dengan penulis-penulis filsafat teknologi, seperti Jacques Ellul dan Jurgen Habermas. Sebaiknya kita mulai merenungkan apa makna kehadiran internet terhadap kita. Kita benar-benar harus memikirkan hal ini karena ini berkaitan dengan masa depan kita atau anak-anak kita. Agar kita tidak lagi terjerembab pada lubang yang sama yang dialami negara-negara maju.
Depok, 12 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H