Mohon tunggu...
Hanung Prabowo
Hanung Prabowo Mohon Tunggu... Administrasi - Mencoba menjadi penulis

Planner. Father. Public Administration

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Angkringan, Kuliner yang Berbudaya

21 Desember 2015   10:54 Diperbarui: 22 Desember 2015   01:09 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasti terheran – heran ya.... Asal angkringan itu dari Klaten....

Klaten? Mana itu? Klaten itu kota diantara hatimu dan hatiku.... Maaf maksudnya kota diantara Kota Solo dan Kota Jogja. Tepatnya angkringan berasal dari Cawas dan Bayat, Klaten. Menurut cerita, sekitar tahun 1950 sesosok wajah bersahaja dari Cawas – Klaten bernama Mbah Pairo mengadu nasib merantau ke kota di sebelah barat kampungnya, Yogyakarta. Kedatangan Mbah Pairo yang juga merupakan pelopor angkringan tersebut memiliki tujuan berjuang demi menaklukan kemiskinan yang dialami keluarga akibat ketiadaan lahan subur untuk bercocok-tanam.  

Seperti menemukan keberuntungan, perjuangan Mbah Pairo di kota Jogja menuai keberhasilan, hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa generasi keturunannya juga meneruskan perjuangannya di Jogjakarta, ialah ‘angkringan Lik Man’ yang berada di sebelah utara stasiun Tugu.

Pada awalnya Mbah Pairo berjualan makanan kecil dan juga minuman dengan cara dipikul dan ngider berkeliling keluar masuk gang kampung serta perkotaan. Sambil membawa beban pikulan tersebut Mbah Pairo juga berteriak menawarkan dagangannya; ‘Hiiik…iyeek,‘   dan selain berteriak Mbah Pairo juga memukulkan piring, mangkok ataupun gelas dengan menggunakan sendoknya, sehingga  mulai saat itu orang menyebutnya dengan julukan  ting-ting hik.   Lebih gampangnya disebutlah sebagai HIK, yang oleh sebagian orang diartikan sebagai singkatan dari “Hidangan Istimewa Kampung atau dikenal juga Hidangan Istimewa Kampung Klaten” karena berasal dari Klaten . Walaupun di Jogja lebih dikenal dengan nama angkringan.

[caption caption="Angkringan Lik Man Jogja (sumber: agendajogja.com)"]

[/caption]

Selain Mba Pairo ada juga yang rela meninggalkan kampung halaman untuk berjualan angkringan. Kebanyakan berasal dari Bayat, yaitu kawasan di sebelah barat Cawas, masih termasuk Klaten.Mereka tidak hanya ke kota Yogyakarta saja, tetapi juga menuju arah timur, yaitu di kota Solo atau dikenal juga sebagai kota Surakarta. Polanya hampir serupa dengan yang dilakukan oleh Mbah Pairo, yaitu ngider dan memikul makanan pun minuman yang dijajakan, juga sambil berteriak serta menabuh gelasnya. Maka orang Solo generasi dulu juga mengenalnya dengan sebutan HIK.  

Selain makanannya yang unik dan sederhana, interkasi sosial yang tercipta di antara penikmat angkringan pun juga unik.Semua orang baik dari kalangan buruh hingga pejabat (yang sederhana) sama – sama menikmati angringan tersebut. Semua yang tersaji di angkringan adalah makanan “wong cilik”  yang apa adanya. Sehingga kadang disebut juga warung wong cilik. Dari apa adanya ini, ada budaya wong cilik yang blaka-suta alias blak-blakan apa adanya tanpa ada motif tersembunyi dan penuh konspirasi. Sehingga angkringan juga dapat menjadi wadah diskusi oleh siapapun, tak peduli dari aroma, warna kulit dan agama apa saja, termasuk orang yang baru dikenal saat itu juga. 

Suasana kehangatan dan keramahtamahan angkringan akan tetap terjaga meskipun diskusi terkadang semakin memanas. Antara pembeli dan penjualpun tak terdapat sekat, jarak ataupun batas untuk membedakan. Keduanya menyatu selaras. Ada keterhubungan, dimana hubungan itu nyata adanya tatkala pembeli bisa secara langsung ‘request’ hidangan sesuai keinginan. Sebaliknya, penjualpun juga tanpa sungkan bisa meminta pendapat dari pembeli. Keramahan dan kehangatan yang terciptapun menjadi hal lumrah dan memiliki nilai keunikan tersendiri, bahwa rakyat jelata yang kadang pendidikannya juga tak tinggi ini tetap menyediakan semangat saling menghargai tradisi dan kesederhanaan.

[caption caption="Suasana kehangatan di angkringan (sumber : tripdomestik.com)"]

[/caption]

Angkringan pun sudah merambah ke ibukota walaupun jumlahnya tidak menjamur seperti di kampung halamannya. Menunya pun hampir sama dengan angringan yang ada di Jogja dan Solo walaupun harganya sedikit berbeda karena sudah masuk ibukota. Namun cukup untuk mengobati para perantau yang rindu akan nasi kucing.

Obrolan hangat ditemani dengan sajian enak, unik dan murah yang diterangi dengan lampu remang dan arang yang menyala. Itulah angkringan, kuliner berbudaya.......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun