Mohon tunggu...
Hanung Prabowo
Hanung Prabowo Mohon Tunggu... Administrasi - Mencoba menjadi penulis

Planner. Father. Public Administration

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Angkringan, Kuliner yang Berbudaya

21 Desember 2015   10:54 Diperbarui: 22 Desember 2015   01:09 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Angkringan (sumber: pribadi)"][/caption]Ketika melewati jalan – jalan di Jogja atau di Solo pada malam hari banyak orang berkumpul, tertawa, dan bersendau gurau dengan asyiknya. Mereka bercanda sambil menikmati hidangan di suatu tenda yang remang – remang dan tungku api yang menyala. Seperti biasa, mereka sebagian besar adalah mahasiswa yang sedang menikmati makan malam di tempat istimewa bagi mereka yaitu angkringan.

Angkringan? Apa itu? Bagi wong Jowo apalagi daerah Solo - Jogja pasti sudah sangat kenal dengan yang namanya angkringan. Orang luar daerah tersebut kalau sudah pernah mampir di Jogja atau Solo pasti juga sudah tau kecuali yang belum tau.,. he.,.

Kata Angkringan berasal dari bahasa Jawa 'Angkring' yang berarti duduk santai di atas kursi dengan melipat atau mengangkat satu kaki di atas kursi atau bahasa jawanya metangkling.

[caption caption="angkringan berupa pikulan (sumber : www.ensiklo.co)"]

[/caption]

Pada awalnya angkringan berupa pikulan sebagai alat untuk berjualan. Namun sekarang, Angkringan atau kalau di Solo lebih dikenal dengan HIK (Hidangan Istimewa Kampung) ini biasanya berbentuk gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman tradisional. Gerobag angkringan biasa ditutupi dengan kain terpal warna biru atau orange (pada umumnya warna itu) dan bisa memuat sekitar 8 orang pembeli. Jika tidak muat pedangang siap dengan tikarnya untuk lesehan.. Menarik bukan?

[caption caption="Angkringan tenda orange (sumber : cahyogya.com)"]

[/caption]

Angkringan pada umunya mulai jualan pada sore hari, walaupaun ada juga yang sejak pagi hari sudah jualan. Tempatnya memang agak remang – remang karena pererangannya hanya mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir (ind.lentera) sehingga tampak romantis dengan dibantu oleh terangnya lampu jalan.

Makanan yang dijual pun sangat tradisional dan praktis meliputi nasi kucing (maksudnya nasi dengan lauk berupa bandeng dan sambal dengan porsi kecil), nasi teri, nasi tempe kering yang dibungkus kertas atau daun pisang. Untuk menikmatinya disediakan lauk yang bermacam-macam antara lain gorengan, sate usus (ayam), sate telur puyuh, ceker, kepala ayam, keripik dan lain-lain. Semua lauk pauk tersebut biasanya dibakar sesuai selera dengan tungku arang. Minuman yang dijualpun sangat sederhana seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Seperti sesederhana prosinya, harganya pun juga sederhana eh terjangkau. Hemat.. hemat...

[caption caption="Menu angkringan (sumber : pegipegi.com)"]

[/caption]

[caption caption="Menu angkringan (sumber :arifahwulansari.com)"]

[/caption]

Apa anda tau asal angkringan sendiri bukan dari Jogja atau Solo? Lho? Kok bisa? Trus darimana ya?

Pasti terheran – heran ya.... Asal angkringan itu dari Klaten....

Klaten? Mana itu? Klaten itu kota diantara hatimu dan hatiku.... Maaf maksudnya kota diantara Kota Solo dan Kota Jogja. Tepatnya angkringan berasal dari Cawas dan Bayat, Klaten. Menurut cerita, sekitar tahun 1950 sesosok wajah bersahaja dari Cawas – Klaten bernama Mbah Pairo mengadu nasib merantau ke kota di sebelah barat kampungnya, Yogyakarta. Kedatangan Mbah Pairo yang juga merupakan pelopor angkringan tersebut memiliki tujuan berjuang demi menaklukan kemiskinan yang dialami keluarga akibat ketiadaan lahan subur untuk bercocok-tanam.  

Seperti menemukan keberuntungan, perjuangan Mbah Pairo di kota Jogja menuai keberhasilan, hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa generasi keturunannya juga meneruskan perjuangannya di Jogjakarta, ialah ‘angkringan Lik Man’ yang berada di sebelah utara stasiun Tugu.

Pada awalnya Mbah Pairo berjualan makanan kecil dan juga minuman dengan cara dipikul dan ngider berkeliling keluar masuk gang kampung serta perkotaan. Sambil membawa beban pikulan tersebut Mbah Pairo juga berteriak menawarkan dagangannya; ‘Hiiik…iyeek,‘   dan selain berteriak Mbah Pairo juga memukulkan piring, mangkok ataupun gelas dengan menggunakan sendoknya, sehingga  mulai saat itu orang menyebutnya dengan julukan  ting-ting hik.   Lebih gampangnya disebutlah sebagai HIK, yang oleh sebagian orang diartikan sebagai singkatan dari “Hidangan Istimewa Kampung atau dikenal juga Hidangan Istimewa Kampung Klaten” karena berasal dari Klaten . Walaupun di Jogja lebih dikenal dengan nama angkringan.

[caption caption="Angkringan Lik Man Jogja (sumber: agendajogja.com)"]

[/caption]

Selain Mba Pairo ada juga yang rela meninggalkan kampung halaman untuk berjualan angkringan. Kebanyakan berasal dari Bayat, yaitu kawasan di sebelah barat Cawas, masih termasuk Klaten.Mereka tidak hanya ke kota Yogyakarta saja, tetapi juga menuju arah timur, yaitu di kota Solo atau dikenal juga sebagai kota Surakarta. Polanya hampir serupa dengan yang dilakukan oleh Mbah Pairo, yaitu ngider dan memikul makanan pun minuman yang dijajakan, juga sambil berteriak serta menabuh gelasnya. Maka orang Solo generasi dulu juga mengenalnya dengan sebutan HIK.  

Selain makanannya yang unik dan sederhana, interkasi sosial yang tercipta di antara penikmat angkringan pun juga unik.Semua orang baik dari kalangan buruh hingga pejabat (yang sederhana) sama – sama menikmati angringan tersebut. Semua yang tersaji di angkringan adalah makanan “wong cilik”  yang apa adanya. Sehingga kadang disebut juga warung wong cilik. Dari apa adanya ini, ada budaya wong cilik yang blaka-suta alias blak-blakan apa adanya tanpa ada motif tersembunyi dan penuh konspirasi. Sehingga angkringan juga dapat menjadi wadah diskusi oleh siapapun, tak peduli dari aroma, warna kulit dan agama apa saja, termasuk orang yang baru dikenal saat itu juga. 

Suasana kehangatan dan keramahtamahan angkringan akan tetap terjaga meskipun diskusi terkadang semakin memanas. Antara pembeli dan penjualpun tak terdapat sekat, jarak ataupun batas untuk membedakan. Keduanya menyatu selaras. Ada keterhubungan, dimana hubungan itu nyata adanya tatkala pembeli bisa secara langsung ‘request’ hidangan sesuai keinginan. Sebaliknya, penjualpun juga tanpa sungkan bisa meminta pendapat dari pembeli. Keramahan dan kehangatan yang terciptapun menjadi hal lumrah dan memiliki nilai keunikan tersendiri, bahwa rakyat jelata yang kadang pendidikannya juga tak tinggi ini tetap menyediakan semangat saling menghargai tradisi dan kesederhanaan.

[caption caption="Suasana kehangatan di angkringan (sumber : tripdomestik.com)"]

[/caption]

Angkringan pun sudah merambah ke ibukota walaupun jumlahnya tidak menjamur seperti di kampung halamannya. Menunya pun hampir sama dengan angringan yang ada di Jogja dan Solo walaupun harganya sedikit berbeda karena sudah masuk ibukota. Namun cukup untuk mengobati para perantau yang rindu akan nasi kucing.

Obrolan hangat ditemani dengan sajian enak, unik dan murah yang diterangi dengan lampu remang dan arang yang menyala. Itulah angkringan, kuliner berbudaya.......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun