Mohon tunggu...
Hanum Yustika
Hanum Yustika Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

saya tertarik dengan berbagai macam isu, dan permasalahan. hobi saya memasak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pendekatan Mazhab Positivisme dalam Kasus Nenek Minah: antara Legalitas dan Keadilan Sosial

1 Oktober 2024   07:20 Diperbarui: 7 Oktober 2024   21:24 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mazhab positivisme hukum di Indonesia sangat berpengaruh dalam penerapan hukum di pengadilan. Positivisme hukum mengutamakan bahwa hukum adalah aturan yang tertulis dan ditetapkan oleh negara (undang-undang) serta harus diterapkan secara ketat, tanpa mempertimbangkan aspek moral, etika, atau keadilan di luar peraturan hukum yang ada. Dalam mazhab ini, hukum dipandang sebagai instrumen yang harus dijalankan secara objektif, dan peran hakim adalah menegakkan aturan, bukan menginterpretasikannya secara subjektif.

Kasus Nenek Minah merupakan contoh konkret dari penerapan mazhab positivisme dalam sistem hukum Indonesia.

Nenek Minah adalah seorang warga desa di Banyumas, Jawa Tengah, yang pada tahun 2009 dituduh mencuri 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan IV. Meski nilainya sangat kecil, Nenek Minah tetap diseret ke pengadilan dan dihukum penjara selama 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Pengadilan memutuskan Nenek Minah bersalah karena tindakannya dianggap melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Dalam kasus ini, mazhab positivisme terlihat jelas dalam beberapa aspek:

1. Penegakan Hukum Berdasarkan Aturan yang Kaku:
   - Hukum positif yang berlaku dalam kasus Nenek Minah adalah Pasal 362 KUHP yang mengatur tentang pencurian. Dari sudut pandang positivisme, pencurian adalah pencurian, terlepas dari nilai atau jumlah barang yang diambil. Meski nilai barang yang diambil (3 buah kakao) sangat kecil, hakim tetap menerapkan hukum sesuai dengan ketentuan yang ada, tanpa mempertimbangkan kondisi sosial atau keadaan pelaku.

2. Hukum Sebagai Aturan yang Tegas:
   - Positivisme hukum menekankan bahwa hukum harus diterapkan secara ketat, tanpa memandang keadaan pribadi atau niat di balik tindakan. Dalam kasus ini, hakim tidak mempertimbangkan latar belakang Nenek Minah sebagai seorang petani miskin yang hidup dalam kondisi serba kekurangan, melainkan hanya fokus pada fakta bahwa tindakan pencurian telah terjadi, meski skala kerugiannya sangat kecil.

3. Minimnya Ruang bagi Diskresi Hakim:
   - Mazhab positivisme mengurangi ruang bagi hakim untuk menggunakan diskresi atau mempertimbangkan aspek-aspek keadilan substantif. Hakim dalam kasus Nenek Minah seolah-olah terikat oleh undang-undang, sehingga keputusan yang diambil dianggap berdasarkan "rule of law" (aturan hukum), bukan pada rasa keadilan masyarakat. Positivisme memandang bahwa penegakan hukum tidak boleh melibatkan interpretasi personal terhadap apa yang adil, melainkan harus murni berdasarkan teks hukum.

4. Penegakan Hukum Terlepas dari Moral atau Keadilan Sosial:
   - Dalam mazhab positivisme, hukum dan moral adalah entitas yang terpisah. Dalam kasus Nenek Minah, meskipun banyak pihak menganggap keputusan tersebut tidak adil secara moral atau sosial, mazhab positivisme menekankan bahwa hukum adalah apa yang tertulis dalam undang-undang, bukan apa yang dianggap benar secara moral oleh masyarakat. Oleh karena itu, keputusan tersebut, meskipun dianggap tidak adil oleh banyak orang, dianggap sah dalam kerangka hukum positif.

Meskipun mazhab positivisme menjunjung tinggi kepastian hukum, dalam kasus Nenek Minah, pendekatan ini sering dikritik karena dianggap mengabaikan aspek keadilan substantif. Beberapa kritik yang muncul terhadap penerapan positivisme dalam kasus ini antara lain:


1. Mengabaikan Rasa Keadilan Masyarakat:
   - Masyarakat luas merasakan ketidakadilan ketika seorang nenek miskin dihukum karena mencuri barang bernilai sangat kecil, sementara banyak kasus besar yang justru luput dari penegakan hukum. Mazhab positivisme dianggap terlalu rigid dan tidak memberikan ruang bagi pendekatan yang lebih manusiawi.

2. Tidak Proporsional:
   - Banyak yang berpendapat bahwa hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan. Positivisme hukum cenderung menegakkan aturan secara kaku tanpa memperhatikan keseimbangan antara keparahan tindakan dengan hukuman yang dijatuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun