Mohon tunggu...
Hanum Ainun Nafisah
Hanum Ainun Nafisah Mohon Tunggu... Lainnya - Sebagai mahasiswa

Suka membaca beritaa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Lawan!! Gerakan Intoleransi

4 Januari 2023   13:03 Diperbarui: 5 Januari 2023   14:00 1714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu intoleransi muncul dalam relasi sosial mulai dari agama, kasta dan suku hingga wilayah atau negara manapun, isu seperti ini seringkali membuat hubungan antara manusia dengan masyarakat ingin menciptakan kondisi perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dalam hubungan antar manusia.

Karena sikap egosentris atau fanatisme dalam suatu kelompok bersumber dari diri sendiri, pencegahan dan penentangan terhadap intoleransi harus dimulai dari individu. Alasannya benar-benar pribadi, meskipun sulit untuk mengontrol intoleransi setiap orang. Demi mewujudkan bangsa dan negara yang maju, aman, damai, dan sejahtera, tanamkan toleransi sejak dini, kurangi ego, jangan memaksakan kehendak pada orang lain, kurangi rasa fanatisme dalam suatu kubu atau kelompok, dan jangan menganggap kelompok etnis mereka sendiri lebih besar dan lebih baik. 

Dalam konteks masyarakat, intoleransi dapat dicegah dan diberantas melalui kegiatan yang tidak mengandung unsur agama. Toleransi menghormati hak dasar orang lain dan universalitas hak asasi manusia. Eksistensi keberagaman di setiap penjuru bangsa hanya bisa dijamin dengan toleransi. Bagi individu, kelompok, dan bangsa, toleransi bukan hanya tuntutan moral tetapi juga tuntutan politik dan hukum. Pasal 28E ayat 1 dan 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agamanya, serta memilih jenjang pendidikan dan kewarganegaraannya”, serta “setiap orang bebas meyakini kepercayaan dan kepercayaannya mengungkapkan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”

Dapat dikatakan bahwa intoleransi yang ada di Indonesia bukanlah hasil dari dorongan internal atau eksternal tunggal. Perkembangan karakter setiap orang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pengalaman pribadi, pendidikan, lingkungan, dan lainnya. Berbagai elemen, seperti sosial, politik, dan ekonomi, dapat berdampak pada benih tumbuhnya pelanggaran kebebasan beragama serta intoleransi, yang kemudian memicu ujaran kebencian antar individu dan kelompok tertentu.

Solusi/cara melawan Gerakan Intolerasi yaitu sebagai berikut :

Definisi ini didasarkan pada asumsi bahwa intoleransi merupakan ancaman bagi demokrasi. Titik awal untuk memerangi intoleransi agama adalah kebijakan "tanpa toleransi" terhadap kekerasan apa pun, sekecil apa pun. Ini adalah langkah minimal. Setiap tindakan intimidasi, ancaman, perusakan, pembakaran atau kejahatan serupa yang dilakukan atas nama agama pantas mendapatkan hukuman maksimal. Contoh yang bisa diperhatikan lebih lanjut adalah strategi "broken window" yang diterapkan kepolisian New York dalam upaya menekan angka kriminalitas di sana. Menurut teori ini, jika kejahatan yang relatif kecil dapat dicegah, kejahatan yang lebih serius dapat ditangani dengan kekerasan. 

Jika untuk kepentingan mempromosikan toleransi dan mengurangi kejahatan main hakim sendiri, dalam hal ini terhadap kelompok minoritas, jaksa dan hakim ingin menjatuhkan hukuman maksimum, bukan minimum, kepada para penjahat, maka efeknya dapat dilihat.

Apakah Pancasila bisa menjadi solusi? Seperti yang dikatakan pemerintah dengan antusias sekarang. Seolah-olah pemerintah saat ini berpikir bahwa semakin banyak Pancasila dibaca, semakin banyak prinsip yang ditanamkan dalam otak dan perilaku. Ada beberapa masalah dengan ide ini. 

Pertama, Pancasila “berhasil” di era Orde Baru. Seseorang hanya perlu melihat kembali bagaimana ras Tionghoa diperlakukan untuk memahami bahwa toleransi pada saat itu adalah pilihan. Di Indonesia pada akhir tahun 2013 merupakan tempat yang sangat berbeda dengan Indonesia Orde Baru. Kita harus menemukan cara baru untuk mengajarkan toleransi di negara yang indah dan bebas, tanpa mengorbankan hak politik dan sipil yang penting. Jika kita mencari solusi yang mungkin untuk masalah ini, selain kurangnya toleransi terhadap kekerasan, peran pemimpin harus dipertimbangkan dengan cermat. Ini harus mencakup komitmen untuk bekerja sama dengan polisi, jaksa, dan hakim untuk melakukan penuntutan penuh atas kejahatan rasial, dengan menggunakan KUHP yang ada. Ini juga harus mencakup program untuk meninjau dan mengevaluasi program pelatihan guru agama dari semua agama untuk memastikan bahwa pendidikan agama tidak menjadi alat untuk mengajarkan intoleransi. 

Dan terakhir, juga mencakup komitmen untuk memastikan bahwa semua yang diangkat di Kabinet memiliki komitmen yang jelas terhadap toleransi, khususnya di Kementerian Agama.

Mari kita saling menghormati sebagai warga negara dengan tingkat toleransi yang tinggi. Burung Garuda yang merepresentasikan bahwa kebhinekaan adalah ciri bangsa Indonesia dan tidak menjadikan Indonesia lemah, memegang teguh ungkapan "Bhinneka Tunggal Ika". Inilah keistimewaan negara Indonesia.  Kebhinekaan tidak membuat Indonesia lemah justru sebaliknya, keragaman inilah yang membuat negara kita dikagumi oleh seluruh dunia. Namun, keragaman ini sering menimbulkan intoleransi, konflik, dan pemisahan atau disintegrasi. Pola pikir seperti ini akan menimbulkan banyak dampak yang merugikan bagi Indonesia, dan perlu dihentikan sekarang juga karena dianggap sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun