Mohon tunggu...
Hanik syaadah
Hanik syaadah Mohon Tunggu... Mahasiswa - penulis

i'm just normal human and want to be happy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Contoh Cerpen "Jalan Pulang yang Kubuat"

18 Desember 2021   21:06 Diperbarui: 19 Desember 2021   08:58 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jalan Pulang yang Kubuat

Dua hari berlalu, Ibu menangis meratapi kepergian ayah dan kedua adikku. Pembunuhan yang merenggut tiga nyawa sekaligus membuat hati ibu terpukul dan berharap pelaku bisa segera ditangkap serta mendapatkan hukuman yang setimpal. Begitupun denganku, jika aku bisa menangkap pelaku pembunuhan ayah dan kedua saudaraku, aku akan membunuhnya bahkan lebih sadis dari apa yang mereka lakukan kepada keluargaku. Kini hanya aku dan ibuku yang tersisa dan kita hanya memiliki satu sama lain. Semua kembali lagi seperti dulu, hanya aku dan ibuku. Aku selalu bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa Ia selalu mengambil apa yang kupunya. Setelah ayah kandungku yang meninggalkanku ketika aku lahir, kini Dia merenggut ayah sambung dan kedua saudara tiriku. Apa salahku hingga aku dihukum seperti ini. Namun apa yang bisa kuperbuat, aku hanyalah seorang manusia yang penuh dengan nafsu dan emosi.

Pyyaarrrrrrrrrrr! Suara keras dari dapur mengejutkanku yang tengah merenung menatap ke jendela. Aku langsung bergegas menuju dapur dan penasaran apa yang terjadi. Sesampainya disana, aku hanya tercengang melihat pecahan gelas yang ada di lantai dan ibu yang hanya berdiri melamun menatap pecahan itu sambil memegang pisau. Aku langsung merebut pisau itu dari ibu dan mengantar ibu kembali ke kamar untuk menenangkannya. Sembari memeluk ibu, aku masih memikirkan apa yang terjadi. Entah apa yang kupikirkan tapi hal-hal negatif mulai bermunculan. Sebenarnya ini bukan kali pertama ibu memecahkan barang-barang yang ada di dapur. Sejak kepergian ayah dan kedua saudaraku, ibu menjadi lebih agresif dan sering melamun karena diliputi oleh duka yang mendalam. Bahkan ibu pernah menodongku dengan pisau tapi untungnya ada tetangga yang datang dan menyelamatkanku. Sejujurnya, aku takut kepada ibu yang mulai melakukan hal-hal aneh dan membahayakan. Entah kenapa, aku merasa ada rasa kebencian di dalam mata ibu setiap kali melihatku. Ibu selalu menatap dengan mata yang sinis ke arahku hingga aku tidak berani menatap balik dan berusaha mungkin untuk menjauh dari pandangan ibu. Aku bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Hidupku terasa gelap dan aku disini terasa sendiri tiada yang menemani. Menangis sudah seperti rutinitas bagiku dan pikiranku sumpek seolah ingin pecah. Aku tidak bisa menemukan kebahagiaan lagi di dalam diriku sementara aku harus merawat ibuku yang semakin agresif setiap harinya.

Pagi itu dengan langkah berat ku melangkah. Aku hanya menapakkan langkah tanpa tujuan. Sebenarnya, aku berencana pergi ke rumah pamanku yang ada di desa sebrang. Namun, aku tidak memiliki keberanian yang cukup untuk menapakkan langkah di rumahnya karena aku tahu, paman dan keluarganya tidak akan suka akan kehadiranku. Ibu dan pamanku memang sering berseteru hingga masalah yang terakhir terjadi membuat mereka enggan untuk berbaikan dan memutus tali persaudaraan. Aku terus berjalan hingga tak sadar aku telah sampai di pinggir danau. Jernihnya air danau yang terasa hangat karena pancaran sinar matahari membuatku menghentikan langkahku. Aku duduk termenung sambil menatap dalam ke air. Aku merasakan ketenangan disana, seolah ada kedamaian dalam air itu. aku mencoba melempar batu ke dalamnya, namun anehnya terlihat sosok pria gagah yang muncul dalam pusaran air. Pria itu tersenyum kepadaku seolah mengajakku untuk ikut bersamanya. Aku merasa tidak asing dengan wajah itu tapi aku tidak tahu itu siapa. Aku menorehkan senyum kepada pria itu, dan

"Bangun Nak! Bangun". Terdengar suara berisik di telingaku dan mataku terasa silau hingga aku membuka mata. Betapa bingungnya aku saat membuka mata, banyak orang-orang yang mengelilingiku. Aku berusaha untuk bangun dan tiba-tiba seorang perempuan memelukku. Entah mengapa, pelukannya terasa hangat dan membuatku tenang hingga air mata menetes deras di pipiku. Aku seperti mendapatkan kembali kedamaian di hatiku yang telah lama hilang. Aku memeluk erat kembali perempuan itu dan tangisanku semakin menyeruak hingga tak tertahan lagi.

"Tidak papa, tenanglah!", suara lirihnya terdengar lembut di telingaku. Dekapannya yang hangat membuatku nyaman. Namun tiba-tiba, tubuhku terasa lemas dan tak sadarkan diri. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di kamar dan ada ibu di sampingku yang menatap ke arah jendela. Aku memegang tangan ibu dan memanggilnya namun ibu tetap saja terlelap dalam pandangannya ke arah jendela. Seolah-olah memikirkan sikap ibu, pikiranku tersadar dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi kepadaku. Tiba-tiba ada paman masuk ke kamar dengan membawakan segelas teh hangat kepadaku. Aku meminumnya dan mulai bertanya kepada paman tentang apa yang terjadi. Paman menghela nafas dan berusaha menceritakan semua kepadaku :

"Waktu paman perjalanan kesini, paman melihat banyak kerumunan orang-orang di danau. Ternyata kamu diselamatkan orang-orang karena kamu terlihat tenggelam di danau. Lalu paman membawa kamu pulang ke rumah. Sebenarnya ada apa? Kok kamu bisa tenggelam di danau?", Paman bertanya kepadaku namun entah kenapa aku tidak bisa menjawabnya. Aku masih tidak menyangka bahwa aku tadi hampir tenggelam di danau.

"Aku tidak tahu paman, waktu itu aku melihat seseorang tersenyum kepadaku di dalam air, setelah itu aku tidak ingat apa yang terjadi", jelasku kepada paman.

"Ya sudah, kamu istirahat saja! Sekalian paman ingin membeitahu kamu bahwa paman ingin membawa ibumu berobat. Keadaan ibumu sudah parah, bahkan tidak peduli lagi dengan kamu". Mendengar hal tersebut membuatku sedikit tenang karena ternyata paman masih peduli dengan keluargaku. Aku setuju dengan paman dan untuk sementara waktu aku tinggal di rumah ditemani bibi. Aku berharap ibu segera sembuh dan bisa menjalani kehidupan yang bahagia bersamaku lagi. Bibi menemaniku saat malam hari saja karena bibi harus bekerja. Sementara aku, hanya berdiam diri di rumah setiap harinya karena sekolah telah memasuki masa liburan. Aku selalu menatap ke arah jendela, merindukan ibu dan keharmonisan keluargaku saat itu. Hingga suatu hari, seorang perempuan datang ke rumahku. Aku menyambut kedatangannya dan menyuguhkan minuman untuknya. Aku tidak tahu siapa dia namun dia terlihat tidak asing bagiku.

"Apakah kamu baik-baik saja?", wanita itu bertanya sembari tersenyum padaku. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum balik kepadanya. Hingga aku mengumpulkan keberanian dan bertanya kepadanya.

"Maaf ibu sebenarnya siapa?", tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Namun dia malah tersenyum dan berkata kepadaku,

"Saya adalah yang memeluk kamu waktu itu. Mungkin kamu sudah lupa". Mendengar hal itu, aku teringat kejadian kala itu ketika dia memelukku dengan penuh kehangatan.

"Saya masih ingat, tapi ibu siapa?", tanyaku dengan tegas

"Mungkin sudah saatnya kamu tahu semuanya. Walau mungkin masih susah dimengerti untuk anak 12 tahun sepertimu. Saya adalah ibu kandung kamu".

Entah mengapa ini seperti lelucon bagiku. Aku merasa perempuan ini membuat lawakan yang tidak lucu namun mengapa tatapannya begitu tulus untuk sebuah candaan. Aku masih bingung dan mengerutkan wajah karena masih bingung dengan apa yang dia katakan.

"Maafkan ibu, nak! Mungkin kamu masih bingung dengan apa yang terjadi dan belum bisa menerima kenyataan ini. Tapi inilah kenyataannya. Ibu merasa bersalah dengan kamu"

"Apa maksudnya? Saya tidak mengerti. Ibu saya adalah Ibu Kurnia yang saat ini sedang depresi dan dibawa berobat oleh paman saya. Maaf tadi candaan ibu tidak lucu". Aku berkata kepadanya dengan penuh kebingungan.

"Saat kamu bayi, ibu menitipkan kamu ke Bu Kurnia karena saat itu ibu belum bisa menerima kamu sebagai anak ibu karena kamu lahir di luar nikah. Ibu merasa bersalah atas semuanya. Ibu minta maaf Nak!", Perempuan itu memegang tanganku sambil menangis dengan penuh rasa penyesalan terlihat dari matanya. Tapi aku belum bisa menerima ini semua. Aku tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Aku menangis dan menolak apa yang ia katakan hingga aku mengusirnya dari rumahku dan mengunci rapat pintu. Dia masih berusaha meyakinkanku dan menjelaskannya padaku tapi aku tidak mau mendengarnya. Aku berlari ke kamar dan menutup telingaku dengan bantal. Hatiku terasa sakit dan aku tidak bisa membendung tangisanku. Aku tidak tahu harus percaya kepadanya atau tidak. Jalanku sudah cukup gelap dengan semua yang terjadi di hidupku ditambah lagi dengan kebingungan yang merauk ini. Aku bertanya kepada Tuhan. Mengapa Ia membuatku seperti ini, mengapa ia tidak membantuku, mengapa serasa tidak ada jalan pulang bagiku. Aku hanyalah seorang anak yang menginginkan kedamaian dan kebahagiaan sederhana saja. Aku hanya ingin pulang ke tempat dimana aku bisa merasakan ketenangan yang sudah lama ku rindukan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Mungkin Tuhan ingin aku menemukan jalanku sendiri untuk pulang. Jika aku tidak menemukan jalan pulang itu, maka aku akan membuatnya sendiri. Entah mengapa seolah ada yang menuntunku untuk membuat jalan itu. Pisau itu seakan ditujukan untukku. Dan setelahnya aku melihat diriku yang tidur tenang disana tanpa merasa kebingungan, ketakutan, dan kegelisahan lagi. Dia sudah terlelap dengan nyaman. Dan aku, jiwa yang tenang ini tidak merasa menyesal atas apa yang kulakukan. Ini adalah jalan yang kubuat dan ini adalah jalan pulangku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun