Mohon tunggu...
Hanik syaadah
Hanik syaadah Mohon Tunggu... Mahasiswa - penulis

i'm just normal human and want to be happy

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Contoh Cerpen "Jalan Pulang yang Kubuat"

18 Desember 2021   21:06 Diperbarui: 19 Desember 2021   08:58 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Saya adalah yang memeluk kamu waktu itu. Mungkin kamu sudah lupa". Mendengar hal itu, aku teringat kejadian kala itu ketika dia memelukku dengan penuh kehangatan.

"Saya masih ingat, tapi ibu siapa?", tanyaku dengan tegas

"Mungkin sudah saatnya kamu tahu semuanya. Walau mungkin masih susah dimengerti untuk anak 12 tahun sepertimu. Saya adalah ibu kandung kamu".

Entah mengapa ini seperti lelucon bagiku. Aku merasa perempuan ini membuat lawakan yang tidak lucu namun mengapa tatapannya begitu tulus untuk sebuah candaan. Aku masih bingung dan mengerutkan wajah karena masih bingung dengan apa yang dia katakan.

"Maafkan ibu, nak! Mungkin kamu masih bingung dengan apa yang terjadi dan belum bisa menerima kenyataan ini. Tapi inilah kenyataannya. Ibu merasa bersalah dengan kamu"

"Apa maksudnya? Saya tidak mengerti. Ibu saya adalah Ibu Kurnia yang saat ini sedang depresi dan dibawa berobat oleh paman saya. Maaf tadi candaan ibu tidak lucu". Aku berkata kepadanya dengan penuh kebingungan.

"Saat kamu bayi, ibu menitipkan kamu ke Bu Kurnia karena saat itu ibu belum bisa menerima kamu sebagai anak ibu karena kamu lahir di luar nikah. Ibu merasa bersalah atas semuanya. Ibu minta maaf Nak!", Perempuan itu memegang tanganku sambil menangis dengan penuh rasa penyesalan terlihat dari matanya. Tapi aku belum bisa menerima ini semua. Aku tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Aku menangis dan menolak apa yang ia katakan hingga aku mengusirnya dari rumahku dan mengunci rapat pintu. Dia masih berusaha meyakinkanku dan menjelaskannya padaku tapi aku tidak mau mendengarnya. Aku berlari ke kamar dan menutup telingaku dengan bantal. Hatiku terasa sakit dan aku tidak bisa membendung tangisanku. Aku tidak tahu harus percaya kepadanya atau tidak. Jalanku sudah cukup gelap dengan semua yang terjadi di hidupku ditambah lagi dengan kebingungan yang merauk ini. Aku bertanya kepada Tuhan. Mengapa Ia membuatku seperti ini, mengapa ia tidak membantuku, mengapa serasa tidak ada jalan pulang bagiku. Aku hanyalah seorang anak yang menginginkan kedamaian dan kebahagiaan sederhana saja. Aku hanya ingin pulang ke tempat dimana aku bisa merasakan ketenangan yang sudah lama ku rindukan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Mungkin Tuhan ingin aku menemukan jalanku sendiri untuk pulang. Jika aku tidak menemukan jalan pulang itu, maka aku akan membuatnya sendiri. Entah mengapa seolah ada yang menuntunku untuk membuat jalan itu. Pisau itu seakan ditujukan untukku. Dan setelahnya aku melihat diriku yang tidur tenang disana tanpa merasa kebingungan, ketakutan, dan kegelisahan lagi. Dia sudah terlelap dengan nyaman. Dan aku, jiwa yang tenang ini tidak merasa menyesal atas apa yang kulakukan. Ini adalah jalan yang kubuat dan ini adalah jalan pulangku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun