Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Sidang MK yang Seharusnya Tidak Pernah Ada

19 April 2024   11:29 Diperbarui: 19 April 2024   11:36 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti diperkirakan sebelumnya, Pilpres 2024 ini akan sarat dengan masalah. Sebab, ada banyak kepentingan penguasa yang bercampur baur di sana. Orang bilang "cawe-cawe".

Pihak-pihak yang berkepentingan dan berkeuntungan dengan cawe-cawe itu bisa saja membantah dengan berbagai dalih atau teori yang dicatut-catut, namun semakin argumennya diumbar, semakin tampak jelas kebodohannya.

Masih ingat apa yang dikatakan Yusril Ihza Mahendra, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Gibran Rakabuming yang masih berusia 35 tahun bisa mendaftar jadi cawapres?

Sebenarnya itu suatu keputusan yang sangat kontroversial sebab menabrak UU yang mensyaratkan usia minimal 40 tahun untuk jadi capres/cawapres.

Kata Yusril waktu itu, bahwa jika dirinya jadi Gibran, tidak akan memaksakan maju sebagai cawapres. Sebagai ahli hukum tatanegara beliau pastinya mafhum jika keputusan itu bisa saja "diindikasikan" sebagai cacat hukum. Namun belakangan Yusril malah jadi pembela Gibran, termasuk ketika sekarang kasus itu dibawa dalam sidang MK.

Dan menurut jadwal, sidang yang sudah berhari-hari ini akan selesai pada 22 April 2024 mendatang. Saat itu akan dibacakan apa keputusan MK soal persidangan yang seharusnya tidak perlu itu.

Harapan rakyat, semoga saja MK bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk kelangsungan kehidupan demokrasi di negeri ini. Sebab apabila MK hanya mengekor pada kemauan penguasa, yang menjadi biang segala sengkarut  ini, maka hancur sudah masa depan bangsa dan negara ini.

Sekarang nasib dan masa depan demokrasi bangsa dan negara ini berada dalam tangan para hakim MK, yang juga merupakan sumber dari kekisruhan ini. Sebab seandainya para hakim itu di awal menolak tegas permohonan tentang usia minimal cawapres, maka Gibran tidak akan maju sebagai cawapres.

Namun gara-gara dia jadi cawapres, banyak tatanan yang jadi kacau dan penuh ketidakpastian. PDIP sebagai parpol yang menjadi kendaraan politik keluarga Jokowi, paling banyak dirugikan dengan sikap yang dinilai sebagai "pengkhianatan" oleh Jokowi, Gibran, dan menantunya, bernama Bobby.

PDIP yang pastinya sudah siap menyambut pemilu/pilpres 2024 dengan mengusung capres/cawapres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, diperkirakan berjaya, sebab bersama mereka ada Presiden Jokowi, dan kala itu dinilai sebagai punya reputasi hebat, yang menurut survei mendapat dukungan publik sebesar 80%!

Bahkan konon Jokowi-lah yang merancang baju kampanye Ganjar-Mahfud berupa kemeja bercorak garis hitam putih sebagai simbol "tegak lurus pada partai", tegas hitam putih, bukan abu-abu".

Namun apa yang terjadi? Pada detik-detik akhir, MK yang kala itu dipimpin oleh ipar Jokowi, atau paman Gibran, menelurkan keputusan yang merusak jalannya pertandingan, dan membuat PDIP dan seluruh jajarannya meradang.

Sebab  sesuai logika, Jokowi dan keluarga, pastinya akan lebih pro pada pencalonan Gibran, sekalipun harus mencampakkan parpol yang selama dua dekade memberikan segalanya bagi kepentingan politik keluarga ini.

Setelah keputusan MK itu, Prabowo yang selama dua pilpres menjadi lawan, tiba-tiba menjadi sahabat Jokowi, demi putra yang dipasang sebagai cawapres. Dengan segala daya upaya, Jokowi mendukung dan membela paslon yang mendapat nomor 02 itu.

Adapun PDIP dan capres/cawapresnya, serta-merta dipunggungi dan jadi lawan yang harus dihadang dan dikalahkan dengan berbagai cara. Di antaranya lewat penggelontoran banssos, dan mengintili Ganjar, usai berkampanye di suatu tempat.

Pilpres 14 April 2024 itu pun berakhir dengan berbagai kontroversi dan kekisruhan yang tiada habis-habisnya. MK yang dulu dianggap sebagai pihak yang seharusnya bisa mencegah kekacauan ini, kini bak pahlawan yang selama dua minggu ini tampil live menyidangkan sengketa pilpres, dan akan memutuskan perkara yang seharusnya tidak pernah terjadi ini, apabila calon wapres yang tidak memenuhi syarat itu ditolak sejak permohonan.

Tiga hari lagi menunggu keputusan MK, kita hanya bisa berharap para hakim yang tampak gagah dan angker dengan baju toganya itu, pada akhirnya berani mengambil keputusan yang gagah dan angker pula.

Intinya, kekisruhan pilpres ini tidak akan pernah terjadi jika awalnya MK setia berpegang pada UU, dalam arti tidak meloloskan seseorang yang tidak memenuhi syarat sebagai cawapres. Pihak-pihak yang turut menjadi sumber terjadinya pelanggaran ini pun harus mendapat ganjaran yang setimpal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun