Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilpres 2024 Penuh Kontroversi, Quo Vadis RI?

7 Februari 2024   12:30 Diperbarui: 7 Februari 2024   13:47 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aparat menurunkan bendera parpol (Tempo-Metro)

Pemilihan presiden (pilpres) yang akan berlangsung satu  minggu lagi, 14 Februari 2024, untuk mendapatkan pengganti Presiden Joko Widodo (Jokowi), mestinya kita sambut dengan antusias dan penuh pengharapan akan masa depan negeri yang lebih baik lagi. 

Sampai di sini kita patut berbangga hati sebab siklus demokrasi lima tahunan ini bisa berjalan. Tak sampai harus melanggar UU dengan sempat adanya wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode.

Tapi sayang, semakin mendekati hari H, situasi politik dalam negeri semakin memanas dan penuh ketidakpastian. Hal ini antara lain karena maraknya kecurigaan terhadap penguasa yang diduga sedang memainkan kekuasaannya untuk memenangkan paslon tertentu. Masuk di akal, sebab paslon tersebut memiliki hubungan darah langsung dengan presiden yang sedang berkuasa.

Konversi dimulai dari diloloskannya putra presiden, Gibran Rakabuming, menjadi cawapres oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal dia masih kurang umur. Tapi dibikinlah pasal yang memungkinkan dia menjadi "memenuhi syarat". Tentu ini sebuah masalah, sebab bagaimana pun juga MK bukanlah lembaga pembuat UU. 

Tapi kontoversi ini "tenggelam" sebab sebagian masyarakat tidak peduli dengan keputusan ini. Tidak peduli dengan dinasti politik, nepotisme, dll. Bahwa keputusan ini "salah" dapat dilihat dari dipecatnya ketua MK yang meloloskannya, oleh MKMK (Majelis Kehormatan MK). Alasannya, keputusan ini sifatnya final dan mengikat. 

Klausul seperti ini tentu sangat berisiko, sebab membuat sesuatu yang sebenarnya cacat hukum jadi sah! Dan juga membuat banyak orang pintar jadi bodoh. Lihat saja beberapa orang yang katanya pakar dalam ilmu hukum, bergelar profesor dsb., jadi tampak linglung menyikapi keputusan MK ini.

Tapi ibarat pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu, tahapan pilpres tetap berjalan dengan berbagai kontroversi dan kecurigaan. Misalnya penguasa yang mestinya netral, dicurigai memihak salah satu paslon. Banyak tudingan diarahkan seperti mengarahkan aparat negara, dari kades, kepala daerah, bahkan polisi dan tentara untuk memihak dan memenangkan paslon tersebut.

Meski ada banyak sanggahan, bantahan -- seperti lewat spanduk-spanduk yang dipajang di kantor-kantor bahwa instansi tersebut netral dsb-- namun banyak peristiwa di lapangan yang seolah membenarkan dugaan dan tudingan itu. Misalnya, diturunkannya spanduk, baliho parpol yang tidak sejalan dengan garis politik penguasa. 

Pelakunya oknum-oknum yang diduga aparat pemda. Bahkan ketika si penguasa sendiri sedang berkunjung ke suatu daerah, spanduk, bendera parpol lain diturunkan. Dan masih ada banyak lagi contoh kasus, seperti pembagian bansos atas nama pemerintah. 

Padahal hal semacam ini mestinya dihindari dalam masa-masa pemilu seperti saat ini, terlebih karena pemerintah yang sedang berkuasa diyakini condong atau memihak pada salah satu kontestan pilpres.

Parahnya, ada dugaan bahwa pihak penyelenggara dan pengawas pemilu yang diharapkan bisa menjadi wasit yang adil dan bijak, malah seperti berada dalam pengaruh penguasa. Gambaran-gambaran tersebut jelaslah sudah merupakan suatu kontroversi.

Semakin ke sini, kontroversi semakin menjadi-jadi, seperti terbitnya keputusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) bahwa ketua dan jajaran KPU telah melakukan pelanggaran etik terkait pendaftaran capres/cawapres. Sebab ada paslon yang disebut-sebut belum melengkapi persyaratan sebagai cawapres, namun diloloskan ikut pilpres.

Hal ini pun tidak membuat situasi berubah. Bahkan pilpres sepertinya akan terus berlangsung dengan segala bau busuk yang mengitarinya. 

DKPP pun layak disebut menimbulkan kontroversi, sebab mengapa justru beberapa hari menjelang pemilu/pilpres baru bersuara? Mengapa tidak jauh-jauh hari, supaya segala sesuatu bisa dibikin klir dulu, atau bila perlu calon yang tidak memenuhi syarat itu didiskualifikasi? Apakah semua ini ada yang mengatur atau mengendalikan? Hanya mereka yang tahu.

Dan situasi semakin memanas sebab sejumlah kampus dan intelektual perguruan tinggi, yang seolah tiba-tiba tersadar dari tidur panjang, satu per satu tampil dengan seruan moral agar penguasa netral dalam pilpres, tidak nepotis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Seruan ini hadir tentu karena melihat sendiri tentang banyaknya hal-hal yang tidak beres dalam pilpres ini. Ada banyak hal yang dinilai sebagai pelanggaran berat oleh penguasa.

Seminggu lagi pilpres, tapi maraknya suara kampus dan kaum cerdik pandai itu seolah menjadi pembenar bahwa pemilu, khususnya pilpres ini memang penuh dengan kontroversi gara-gara keberadaan paslon tertentu. Dan kontroversi serta suara-suara kritis yang mempertanyakannya, tidak lantas menghilang setelah pilpres selesai. Protes dan suara-suara kritis akan berlanjut hingga yang bengkok diluruskan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun