Pemilihan presiden (pilpres) yang akan berlangsung satu  minggu lagi, 14 Februari 2024, untuk mendapatkan pengganti Presiden Joko Widodo (Jokowi), mestinya kita sambut dengan antusias dan penuh pengharapan akan masa depan negeri yang lebih baik lagi.Â
Sampai di sini kita patut berbangga hati sebab siklus demokrasi lima tahunan ini bisa berjalan. Tak sampai harus melanggar UU dengan sempat adanya wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode.
Tapi sayang, semakin mendekati hari H, situasi politik dalam negeri semakin memanas dan penuh ketidakpastian. Hal ini antara lain karena maraknya kecurigaan terhadap penguasa yang diduga sedang memainkan kekuasaannya untuk memenangkan paslon tertentu. Masuk di akal, sebab paslon tersebut memiliki hubungan darah langsung dengan presiden yang sedang berkuasa.
Konversi dimulai dari diloloskannya putra presiden, Gibran Rakabuming, menjadi cawapres oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal dia masih kurang umur. Tapi dibikinlah pasal yang memungkinkan dia menjadi "memenuhi syarat". Tentu ini sebuah masalah, sebab bagaimana pun juga MK bukanlah lembaga pembuat UU.Â
Tapi kontoversi ini "tenggelam" sebab sebagian masyarakat tidak peduli dengan keputusan ini. Tidak peduli dengan dinasti politik, nepotisme, dll. Bahwa keputusan ini "salah" dapat dilihat dari dipecatnya ketua MK yang meloloskannya, oleh MKMK (Majelis Kehormatan MK). Alasannya, keputusan ini sifatnya final dan mengikat.Â
Klausul seperti ini tentu sangat berisiko, sebab membuat sesuatu yang sebenarnya cacat hukum jadi sah! Dan juga membuat banyak orang pintar jadi bodoh. Lihat saja beberapa orang yang katanya pakar dalam ilmu hukum, bergelar profesor dsb., jadi tampak linglung menyikapi keputusan MK ini.
Tapi ibarat pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu, tahapan pilpres tetap berjalan dengan berbagai kontroversi dan kecurigaan. Misalnya penguasa yang mestinya netral, dicurigai memihak salah satu paslon. Banyak tudingan diarahkan seperti mengarahkan aparat negara, dari kades, kepala daerah, bahkan polisi dan tentara untuk memihak dan memenangkan paslon tersebut.
Meski ada banyak sanggahan, bantahan -- seperti lewat spanduk-spanduk yang dipajang di kantor-kantor bahwa instansi tersebut netral dsb-- namun banyak peristiwa di lapangan yang seolah membenarkan dugaan dan tudingan itu. Misalnya, diturunkannya spanduk, baliho parpol yang tidak sejalan dengan garis politik penguasa.Â
Pelakunya oknum-oknum yang diduga aparat pemda. Bahkan ketika si penguasa sendiri sedang berkunjung ke suatu daerah, spanduk, bendera parpol lain diturunkan. Dan masih ada banyak lagi contoh kasus, seperti pembagian bansos atas nama pemerintah.Â
Padahal hal semacam ini mestinya dihindari dalam masa-masa pemilu seperti saat ini, terlebih karena pemerintah yang sedang berkuasa diyakini condong atau memihak pada salah satu kontestan pilpres.