Memasuki tahun politik atau menjelang Pemilu/Pilpres 2024, tiba-tiba saja terjadi gempa politik di negeri ini. Adapun pusat gempa politik itu, diyakini berada pada Jokowi, presiden RI ke-7, yang akan habis masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Mengapa Jokowi? Sebab haluan politiknya tiba-tiba berubah, yang membuat guncangan hebat, menimbulkan kebingungan luas. Padahal jauh-jauh sebelumnya dia dipercaya sebagai kader PDIP yang setia dan tegak lurus pada garis partai serta kebijakan ketua umum.
Namun setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal usia capres/cawapres, sikap Jokowi dinilai mulai berubah. Kesetiaannya pada partai yang sudah menetapkan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai capres/cawapres, terasa oleng. Sebab dia dinilai pasti lebih condong mendukung Prabowo Subianto yang menggandeng Gibran Rakabuming, anak Jokowi, jadi cawapresnya.
Hal itulah yang membuat peta politik berubah drastis. PDIP yang sempat diyakini akan kembali menjadi pemenang pemilu/pilpres jika masih bersama Jokowi, posisinya kini menjadi terancam. Opini publik berkata, tanpa Jokowi, PDIP akan melorot drastis. Dan kelihatanya sudah mulai terbukti dengan hasil-hasil survei yang memperlihatkan kans Ganjar-Mahfud lebih kecil untuk memenangkan pilpres.
Ada banyak faktor yang membuat kans jagoan PDIP tergerus, yang bersumber dari intern sendiri. Misalnya pimpinan dan jajaran elite partai yang disebut-sebut arogan, suka merendahkan Jokowi, adanya istilah "petugas partai", dan sebagainya. Ketika hal-hal tersebut terus-menerus digaungkan di medsos, wajar bila simpati rakyat pun tergerus. "Sial"nya, simpati pada Jokowi malah makin meningkat, dan yang menikmatinya tentulah Prabowo-Gibran, di mana elektabilitas paslon ini naik.
Padahal sebenarnya ada banyak hal yang dapat membuat legitimasi Jokowi menurun dan bahkan hancur, seperti keputusan MK yang dianggap banyak pihak sebagai inkonstitusional, menabrak UU yang berlaku. Apalagi publik yakin bahwa keluarnya produk MK yang satu ini hanyalah untuk mengakomodasi seorang Gibran belaka. Dan itu bisa terjadi karena dia anak Presiden Jokowi. Lain tidak!
Maka sulit menepis kecurigaan tentang adanya cawe-cawe Jokowi di sini.Â
Soal keputusan MK yang dianggap kontroversil itu pun bukannya sepi dari komentar miring. Banyak pihak yang berkompeten menilai bahwa MK tidak berwenang membuat putusan seperti itu. Sebab itu adalah ranah kerja DPR sebagai lembaga pembuat UU. Sialnya (lagi), DPR tidak pernah bersuara tentang kasus ini.
Di tengah luasnya cemoohan dan kritikan atas putusan MK yang dinilai membentangkan karpet merah untuk seorang Gibran itu, sampai-sampai ada narasi perlunya Jokowi dimintai pendapat, wakil-wakil rakyat itu tetap adem-ayem saja di gedung yang tampak megah dan sejuk di bagian dalamnya itu.Â
Kemudian terjadi lagi dinamika politik yang menggemparkan ketika belum lama ini Agus Rahardjo, ketua KPK 2014 - 2019 mengungkapkan bahwa dirinya pernah dimarahi oleh Jokowi yang minta dihentikannya proses hukum kasus korupsi e-KTP yang menyeret Setya Novanto, ketua DPR saat itu.