Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan DPR?

14 Desember 2023   11:34 Diperbarui: 14 Desember 2023   11:34 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki tahun politik atau menjelang Pemilu/Pilpres 2024, tiba-tiba saja terjadi gempa politik di negeri ini. Adapun pusat gempa politik itu, diyakini berada pada Jokowi, presiden RI ke-7, yang akan habis masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 mendatang.

Mengapa Jokowi? Sebab haluan politiknya tiba-tiba berubah, yang membuat guncangan hebat, menimbulkan kebingungan luas. Padahal jauh-jauh sebelumnya dia dipercaya sebagai kader PDIP yang setia dan tegak lurus pada garis partai serta kebijakan ketua umum.

Namun setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal usia capres/cawapres, sikap Jokowi dinilai mulai berubah. Kesetiaannya pada partai yang sudah menetapkan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai capres/cawapres, terasa oleng. Sebab dia dinilai pasti lebih condong mendukung Prabowo Subianto yang menggandeng Gibran Rakabuming, anak Jokowi, jadi cawapresnya.

Hal itulah yang membuat peta politik berubah drastis. PDIP yang sempat diyakini akan kembali menjadi pemenang pemilu/pilpres jika masih bersama Jokowi, posisinya kini menjadi terancam. Opini publik berkata, tanpa Jokowi, PDIP akan melorot drastis. Dan kelihatanya sudah mulai terbukti dengan hasil-hasil survei yang memperlihatkan kans Ganjar-Mahfud lebih kecil untuk memenangkan pilpres.

Ada banyak faktor yang membuat kans jagoan PDIP tergerus, yang bersumber dari intern sendiri. Misalnya pimpinan dan jajaran elite partai yang disebut-sebut arogan, suka merendahkan Jokowi, adanya istilah "petugas partai", dan sebagainya. Ketika hal-hal tersebut terus-menerus digaungkan di medsos, wajar bila simpati rakyat pun tergerus. "Sial"nya, simpati pada Jokowi malah makin meningkat, dan yang menikmatinya tentulah Prabowo-Gibran, di mana elektabilitas paslon ini naik.

Padahal sebenarnya ada banyak hal yang dapat membuat legitimasi Jokowi menurun dan bahkan hancur, seperti keputusan MK yang dianggap banyak pihak sebagai inkonstitusional, menabrak UU yang berlaku. Apalagi publik yakin bahwa keluarnya produk MK yang satu ini hanyalah untuk mengakomodasi seorang Gibran belaka. Dan itu bisa terjadi karena dia anak Presiden Jokowi. Lain tidak!

Maka sulit menepis kecurigaan tentang adanya cawe-cawe Jokowi di sini. 

Soal keputusan MK yang dianggap kontroversil itu pun bukannya sepi dari komentar miring. Banyak pihak yang berkompeten menilai bahwa MK tidak berwenang membuat putusan seperti itu. Sebab itu adalah ranah kerja DPR sebagai lembaga pembuat UU. Sialnya (lagi), DPR tidak pernah bersuara tentang kasus ini.

Di tengah luasnya cemoohan dan kritikan atas putusan MK yang dinilai membentangkan karpet merah untuk seorang Gibran itu, sampai-sampai ada narasi perlunya Jokowi dimintai pendapat, wakil-wakil rakyat itu tetap adem-ayem saja di gedung yang tampak megah dan sejuk di bagian dalamnya itu. 

Kemudian terjadi lagi dinamika politik yang menggemparkan ketika belum lama ini Agus Rahardjo, ketua KPK 2014 - 2019 mengungkapkan bahwa dirinya pernah dimarahi oleh Jokowi yang minta dihentikannya proses hukum kasus korupsi e-KTP yang menyeret Setya Novanto, ketua DPR saat itu.

Pernyataan Agus Rahardjo ini hanya direspons santai oleh Jokowi, bahwa itu tidak pernah terjadi. Sementara Mensekneg Pratikno, yang menurut Agus Rahardjo ada mendampingi Jokowi dalam peristiwa itu, hanya berkata "lupa" soal kesaksian Agus tersebut. 

Istana bisa membantah. Tapi netizen sebagian besar menyatakan lebih percaya pada Agus Rahardjo ketimbang Jokowi, Pratikno, dan Istana yang membantah dengan santai. Uniknya, tidak ada gelagat Jokowi dan Istana untuk melaporkan Agus atas tuduhan fitnah, padahal ini sesuatu yang amat serius.

Kita sebagai rakyat pun sebenarnya ingin tahu yang sebenarnya, dan berharap Agus hanya mengarang-ngarang. Kita ingin nama baik Jokowi dipulihkan dari tuduhan ini. Tapi sayang, sepertinya Istana tidak berminat membawanya ke ranah hukum. Dan memilih membiarkan isu itu berseliweran, untuk kemudian dilupakan?

Padahal tidak sesederhana itu. Isu ini akan terus diingat, dan menjadi beban sejarah. Maka lebih baik diluruskan saja, biar baik untuk Jokowi sendiri, dan juga untuk rakyat. Dan yang bisa membuat semua hal ini jadi klir adalah DPR dengan cara menggunakan hak-hak yang ada pada mereka.

Sekarang tinggal pada DPR untuk membuktikan fungsi mereka sebagai wakil rakyat. Jangan cuma giat menyebar spanduk baliho di seluruh pelosok untuk mempromosikan diri agar terpilih pada pemilu nanti. Paling penting untuk membuktikan keberadaan Anda sebagai wakil rakyat: apakah benar-benar ada, atau ada apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun