Profesi sebagai "PRT" (pekerja rumah tangga) sudah termasuk tua, bahkan setua peradaban umat manusia. Hanya saja, istilah atau sebutan untuk itu berubah-ubah, mungkin untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan HAM (hak asasi manusia).
Untuk konteks Indonesia, dahulu digunakan istilah "babu". Mereka yang berprofesi sebagai babu ini, umumnya wanita yang tinggal di sebuah keluarga dan bekerja apa saja. Paling umum kerjanya mencuci, memasak, membersihkan rumah, hingga momong anak majikan yang masih kecil. Singkatnya, apapun pekerjaan di dalam sebuah rumah tangga, dapat disuruhkan kepada seorang babu.
Sesuai sebutannya "babu", golongan masyarakat seperti ini dipandang hina dan rendah oleh kebanyakan orang. Mereka yang berstatus sebagai babu, seolah bisa disuruh melakukan apa saja, atau diperlakukan apa saja oleh majikan dan keluarganya.
Semakin ke sini, istilah "babu" pun berubah menjadi pembantu,atau pembantu rumah tangga (PRT) meskipun pada dasarnya status sosial dan lingkup kerjanya tidak jauh berubah. Di kemudian hari sebutan ini pun mengalami "peningkatan" sebagai "pekerja rumah tangga".
Istilah atau sebutan sebagai "pekerja rumah tangga" memang terkesan lebih terhormat, bermartabat, dan lebih layak. Mereka yang bekerja pada "sektor" ini pun tampaknya sudah mulai memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki harga diri. Maka tidak jarang PRT yang berani speak out atau melakukan protes atau pembangkangan pada majikannya.
Sebenarnya sudah ada upaya untuk semakin meningkatkan status PRT ini dalam hukum lewat adanya RUU PRT (Rancangan UU tentang PRT). Kandungannya, pastilah aturan-aturan yang nadanya akan semakin menghormati dan meninggikan "derajat" kaum PRT. Namun RUU PRT ini belum juga dibahas atau ditingkatkan statusnya menjadi UU PRT, sehingga para PRT memiliki status hukum yang lebih menjamin kehidupan mereka.
Dengan RUU PRT, bisa saja status atau keberadaan para PRT sama dengan pekerja atau karyawan di sektor lain, semisal memiliki jam kerja yang jelas dan terbatas. Tidak seperti selama ini PRT bekerja 24 jam, dalam artian, dia bisa saja dibangunkan tengah malam atau dini hari untuk membuatkan kopi untuk majikan, misalnya?
Maka dengan RUU PRT, akan diatur jam berapa bekerja, istirahat, apa saja pekerjaannya, gaji upah, cuti, THR bahkan pesangon kalau diberhentikan secara sepihak oleh majikan?
Jika ini terjadi, maka para PRT akan terangkat harga diri dan status. Mereka tidak lagi bisa diperlakukan secara sewenang-wenang oleh majikan dan keluarganya, sebab status dan kedudukan mereka sudah dijamin pemerintah dalam UU PRT.
Jika mencermati hal-hal yang akan terjadi dengan adanya UU PRT, situasi dan kondisi memang menjadi kurang kondusif bagi keluarga yang mempekerjakan, sebab mereka tidak lagi bisa "sewenang-wenang" terhadap PRT-nya.
Jika diperhatikan lebih jauh, memang akan lebih banyak "masalah atau persoalan" yang akan terjadi jika RUU PRT disahakan oleh para wakil rakyat menjadi UU PRT. Sebab dapat dipastikan para wakil rakyat kita yang di Senayan sana, rata-rata memiliki PRT juga. Maka tak nyaman apabila suatu saat gara-gara UU PRT mereka menghadapi masalah atas PRT-nya. Jadi seperti bumeran atau senjata makan tuan bukan?
Belum lagi apabila suatu saat nanti, para PRT yang merasa status dan kedudukan mereka sudah begitu kuat, mereka membuat organisasi, semacam SPSI misalnya. Dengan komunilkasi yang sudah tidak terbatas, berkat adanya HP smartphone, dll., konsolidasi di antara seluruh PRT akan bisa terwujud secara cepat, semisal menyerukan aksi demo besar-besaran oleh rasa solidaritas dengan rekan sejawat mereka.
Kira-kira hal-hal semacam itulah yang mungkin menjadi pertimbangan atau dikhawatirkan oleh banyak pihak, khsusnya para politisi di Senayan, maka merasa ogah membahas RUU PRT tersebut. Dan kita sebagai warga biasa yang mempekerjakan satu-dua PRT pun punya pemikiran ke arah sana juga.
Memang serba susah jadinya membicarakan hal-hal yang menyangkut RUU PRT ini. Bahwa kita harus menghormati dan memuliakan PRT sebagaimana para pekerja lainnya, itu suatu keharusan. Namun memberikan banyak peluang tentu juga kurang membahagiakan kita.
Maka dengan segala pertimbangan dan beragam kemungkinan yang bisa terjadi kelak, memang ada baiknya RUU PRT tidak perlu dibahas apalagi disahkan. Yang namanya PRT, pekerja di dalam sebuah rumah tangga, biarlah itu menjadi urusan sepenuhnya tuan rumah atau keluarga yang bersangkutan.
Kepada para tuan rumah hanya perlu ditekankan aturan supaya memperlakukan para PRT-nya secara manusiawi dan mulia, semisal memberlakukan mereka sebagaimana layaknya bagian dari anggota keluarga sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H