Jika diperhatikan lebih jauh, memang akan lebih banyak "masalah atau persoalan" yang akan terjadi jika RUU PRT disahakan oleh para wakil rakyat menjadi UU PRT. Sebab dapat dipastikan para wakil rakyat kita yang di Senayan sana, rata-rata memiliki PRT juga. Maka tak nyaman apabila suatu saat gara-gara UU PRT mereka menghadapi masalah atas PRT-nya. Jadi seperti bumeran atau senjata makan tuan bukan?
Belum lagi apabila suatu saat nanti, para PRT yang merasa status dan kedudukan mereka sudah begitu kuat, mereka membuat organisasi, semacam SPSI misalnya. Dengan komunilkasi yang sudah tidak terbatas, berkat adanya HP smartphone, dll., konsolidasi di antara seluruh PRT akan bisa terwujud secara cepat, semisal menyerukan aksi demo besar-besaran oleh rasa solidaritas dengan rekan sejawat mereka.
Kira-kira hal-hal semacam itulah yang mungkin menjadi pertimbangan atau dikhawatirkan oleh banyak pihak, khsusnya para politisi di Senayan, maka merasa ogah membahas RUU PRT tersebut. Dan kita sebagai warga biasa yang mempekerjakan satu-dua PRT pun punya pemikiran ke arah sana juga.
Memang serba susah jadinya membicarakan hal-hal yang menyangkut RUU PRT ini. Bahwa kita harus menghormati dan memuliakan PRT sebagaimana para pekerja lainnya, itu suatu keharusan. Namun memberikan banyak peluang tentu juga kurang membahagiakan kita.
Maka dengan segala pertimbangan dan beragam kemungkinan yang bisa terjadi kelak, memang ada baiknya RUU PRT tidak perlu dibahas apalagi disahkan. Yang namanya PRT, pekerja di dalam sebuah rumah tangga, biarlah itu menjadi urusan sepenuhnya tuan rumah atau keluarga yang bersangkutan.
Kepada para tuan rumah hanya perlu ditekankan aturan supaya memperlakukan para PRT-nya secara manusiawi dan mulia, semisal memberlakukan mereka sebagaimana layaknya bagian dari anggota keluarga sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H