Meski penulis seorang non-Muslim, namun turut merasakan juga nikmatnya perayaan keagamaan semacam Idul Adha ini. Sebagaimana lazimnya hari raya besar keagamaan, Idul Adha atau yang disebut juga sebagai Hari Raya Haji ini ditetapkan sebagai hari libur nasional.Â
Tapi berhubung tahun 2019 ini jatuhnya bertepatan pada hari Minggu (11 Agustus 2019), maka hari liburnya menjadi tidak ada. Tadinya kita berharap pemerintah menetapkan hari Senin (12 Agustus 2019) sebagai pengganti hari liburnya, tapi sepertinya tidak?
Tapi tidak apa-apalah. Sekalipun tidak ada libur khusus untuk hari raya itu di tahun ini, kita tetap turut bersukaria juga. Sebab biasanya akan ada petugas RT di kompleks perumahan yang mengantarkan daging kurban ke rumah. Bahkan kadang ada juga tetangga yang berbagi masakan berupa ketupat dan daging kurban yang sudah diolah dengan rasa yang enak.
Sekarang ini, kalau ada antaran daging kurban ke rumah, kita hanya tinggal memakannya saja nanti--tapi tentu saja setelah diolah atau dimasak oleh istri. Jadi kita tinggal duduk tenang saja menunggu.Â
Soal bagaimana cara orang rumah MengolahDagingKurban itu, biarlah itu menjadi hak prerogatif beliau. Kita percayakan saja sepenuhnya bagaimana dia MengolahDagingKurban tersebut, mau direndang, direbus, dibikin dendeng, dsb., begitu sudah tersaji di meja makan, pasti enak saja rasanya.
Jadi, sebenarnya tidak ada yang mesti diceritakan di sini soal bagaimana kita MengolahDagingKurban, karena sudah ada yang mengolahnya di rumah, tanpa perlu dicampuri lagi/
Namun demikian bukannya kita tidak punya pengalaman tantang bagaimana MengolahDagingKurban ini. Hal ini terjadi puluhan tahun silam ketika masih berstatus bujangan dan tinggal di rumah kontrakan sendirian. Dan pada saat Hari Raya Kurban, ada saja petugas RT yang mengantarkan daging ke rumah. Awalnya bingung juga, sebab sebagai seorang bujangan kita ini tidak pernah memasak di dapur.Â
Sekalipun ada tersedia kompor dan peralatan seadanya untuk memasak, sejauh ini jarang digunakan kecuali menjerang air untuk diminum. Asal tahu saja, waktu itu dispenser apalagi yang berpemanas belum populer. Yang namanya air mineral kemasan pun belum jadi pilihan utama banyak orang. Jadi setiap rumah tangga harus memasak sendiri air sampai mendidih untuk air minum atau jika ingin menyeduh kopi atau teh manis.
Nah, ketika mendapat daging kurban yang lumayan banyak juga ketika itu, kita sempat bingung. Mau menolak, rasanya tidak etis. Kasihan, orangnya sudah datang mengantarkan ke rumah, memberikannya dengan ramah-tamah pula.Â
Ya, akhirnya kita terima dengan ucapan terima kasih. Lebih bingung lagi setelah melihat isi kantong kresek itu, selain daging sapi, ada juga tulang-tulangnya.Â
Setelah berpikir sejenak, kita punya ide untuk mengolahnya sebagai sop saja. Ide ini karena melihat tulang-tulang itu ditempeli daging, jadi gak mungkin dipisah pakai pisau.Â
Untunglah waktu masih tinggal bersama orang tua dulu di kampung, ibunda sering menyuruh mengupas bumbu dapur kalau beliau sedang memasak, jadi ingat apa saja yang dibutuhkan untuk memasak sop. Daun seledri, selain tentu saja cabe, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, tomat dan sebagainya itu.
Setelah memutuskan untuk mengolah sendiri daging kurban itu menjadi sop, kita pergi belanja bumbu-bumbu ke warung. Ibu warung yang dapat menduga untuk apa kita belanja bumbu dapur itu, memberikan sedikit wejangan bagaimana cara memasak sop dari daging kurban itu. Ibu itu pula yang mengatur porsi berapa banyak bawang, cabe, garam, dsb.Â
Makanya dia hanya memberikan bumbu-bumbu yang sekali pakai, sebab dia tahu sebagai anak kost yang jarang memasak, bumbu-bumbu itu akan mubazir, membusuk sendiri kalau dibeli banyak-banyak. Maka kita hanya membayar sesuai yang dia tetapkan saja. Murah meriah.
Sesuai arahan si Ibu Warung, daging kurban beserta tulang-tulannya itu kita cuci sampai bersih, kemudian direbus di atas kompor. Setelah air mendidih, kita mulai masukkan bumbu-bumbu yang sudah kita tumbuk sebelumnya. Daun seledri dimasukkan belakangan saja, setelah daging empuk dan layak dimakan.Â
Dan beberapa jam setelah direbus di atas kompor, daging kurban itu sudah "sah" menjadi sop. Dan waktu dicicipi, ternyata enak juga. Kita tinggal memikirkan nasinya. Ya, terpaksa balik ke warung lagi membeli beras untuk dimasak.Â
Akhirnya, setelah semua lengkap, acara bersantap dengan daging kurban itu pun berlangsung dengan nikmat dan hikmat, sekalipun hanya sendirian. Yang pasti sop itu masih tersedia hingga esok paginya buat sarapan, setelah dipanasi terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H