Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sertifikat Tanah Itu Hak Warga, Kenapa Sulit?

7 Februari 2019   13:30 Diperbarui: 7 Februari 2019   14:04 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nasional kompas

Sertifikat tanah wajib dimiliki setiap warga sebagai tanda bukti kepemilikan atas tanah atau rumah. Jadi sertifikat ini merupakan benda yang sangat penting dimiliki warga. Tidak heran jika selama ini Presiden Jokowi seperti sengaja memamerkan jika dia sedang menyelenggarakan acara pemberian sertifikat tanah (gratis) bagi warga.

Seperti di awal tahun 2019 ini, Jokowi pada hari Jumat (25/1/2019) pagi hari menghadiri penyerahan sertifikat tanah di Bandara Pondok Cabe, Tangerang Selatan.

Siang harinya, usai sholat Jumat di Bekasi, membagikan sertifikat tanah wakaf di daerah itu. Dan sore hari, di Jababeka Kepala Negara kembali menyerahkan sertifikat kepada warga setempat.

Acara pembagian sertifikat oleh Kepala Negara ini selalu disambut dengan sangat gembira oleh masyarakat yang mendapatkannya.

Namun sebaliknya menjadi bahan cibiran pihak-pihak yang kebetulan menjadi lawan atau oposan terhadap pemerintah Jokowi. Sebut saja salah satu sosok yang gemar mengkritik kebijakan pemerintah adalah Amien Rais.

Menurut mantan ketua MPR ini, kebiasaan Jokowi membagi-bagikan sertifikat kepada masyarakat adalah pengibulan alias pembohongan. Hal itu pernah dikatakan Amien dalam sebuah acara diskusi di Bandung pada 18 Maret 2018 lalu.

Tapi di sini kita tidak perlu membahas kata-kata Amien Rais. Sebab sudah banyak orang yang langsung membantah atau mengklarifikasi setiap statemennya. Mendengarkan oposisi bicara memang tidak akan ada gunanya, sebab isinya hanya nyinyir tanpa data.

Bagi oposisi, terlebih yang sedang kemaruk mengincar kekuasaan, tidak ada pekerjaan atau tindakan pemerintah yang benar. Semua hal digoreng sedemikian rupa: yang benar dikatakan salah. Setiap bicara selalu ngawur, dan itu strategi kampanye yang sifatnya melakukan segala cara, menciptakan ketakutan di masyarakat. Pelakunya tidak perduli apakah negara akan bubar atau kacau, sebab yang dia incar toh hanya kekuasaan, bukan menciptakan kesejahteraan rakyat.

Sertifikat kembali jadi bahan berita karena baru-baru ini beredar berita bahwa program sertifikat tanah gratis yang dilakukan Presiden Jokowi itu ternyata tidak gratis.

Ada banyak warga yang mengaku mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Salah seorang warga mengatakan bahwa uang sebesar Rp 3 juta dia berikan ke oknum pengurus RW yang berjanji akan mengurus sertifikat itu. Kabar ini segera ditepis oleh BPN / Badan Pertanahan Nasional  yang menegaskan bahwa penerbitan sertifikat tanah itu tanpa biaya alias gratis. Sumber: Koran Tempo, Kamis 7/2/2019. 

Sampai di sini dapat dipahami mengapa sertifikat itu dirasa sangat berharga? Salah satu penyebabnya karena mengurusnya sulit. Padahal oleh BPN mengurus sertifikat itu mudah dan gratis.

Tetapi kenapa di lapangan, yang dialami kebanyakan masyarakat justru sebaliknya? Siapa yang membuat hal yang sebenarnya gampang ini menjadi sulit dan mahal? Ini pekerjaan besar pemerintah yang harus segera dibikin clear.

Penulis sendiri punya pengalaman soal keinginan memiliki sertifikat ini. Penulis dulu membeli sepetak tanah (100 meter) di sebuah desa, yang dibeli dari warga pribumi setempat. Bukti jual-beli hanya surat girik yang ditandatangani kelurahan setempat. Bayar PBB tetap dan rutin.

Tetapi sebagai warga pendatang, penulis tentu ingin supaya tanah dan bangunan sederhana yang ada dia atasnya memiliki sertifikat. Sebab blanko bukti pelunasan PBB  itu bukanlah tanda atau bukti kepemilikan yang sah atas tanah itu.

Sementara menurut pengakuan warga yang punya rumah di sana, baik warga pribumi atau pendatang, pada umumnya mereka tidak ada yang punya sertifikat atas tanah dan rumah. Alasannya karena mengurus sertifikat mahal dan rumit. Bagi warga pribumi, yang merasa itu kampungnya turun-temurun, sertifikat jelas tidak terlalu diperlukan.

Namun bagi kaum pendatang seperti penulis, tentu beda persepsinya. Maka penulis sejak dulu berhasrat mengurus sertifikat, terlebih sejak beberapa tahun silam sudah tidak berdomisili di sana lagi karena punya rumah di daerah lain  yang cukup jauh dari situ.

Dua tahun lalu, penulis merasa sangat serius untuk mengurusnya ke kantor desa/kelurahan. Oleh pihak kantor kelurahan, disuruh ke BPN setempat untuk mendapatkan persyaratan, yakni sebuah map berisikan beberapa formulir untuk diisi. Sederhana sebenarnya.

Sesampai di kantor kelurahan seorang oknum menawarkan agar dirinya sendiri yang mengurus. Namun ketika penulis mengatakan ingin urus sendiri, dia sarankan untuk minta copy KTP anggota keluarga yang menjual tanah itu kepada kita. Setelah copy KTP didapat, penulis kembali ke kantor kelurahan, namun disuruh menemui lurah di rumahnya.

Ketika diminta menjelaskan, oknum itu tampak ogah-ogahan dan menyibukkan diri.Sampai di sini penulis hanya bisa dongkol. Tapi mau bilang apa? 

Maka kepada pemerintahan Presiden Jokowi, tolong hal-hal seperti ini dibenahi. Kami rindu jika di periode kedua nanti, yang semoga terpilih, masalah semacam ini diprioritaskan. Mendapatkan sertifikat adalah hak warga atas tanah/rumahnya. Mestinya bisa diperoleh semudah mengurus KTP saat ini. Jadi mohon dimudahkan warga yang mengurus haknya itu. Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun