Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Toilet Umum, Fasilitas yang Kerap Diabaikan

13 November 2018   13:35 Diperbarui: 16 November 2018   16:59 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Buang hajat merupakan aktivitas manusia yang sangat penting, bahkan mungkin bisa dikategorikan bahwa hal itu sebagai hak dan kewajiban. Setiap hari manusia pasti menunaikan "kewajiban" ini, kecuali sedang sakit yang membuat organ-organ vital yang berkaitan dengan aktivitas tersebut tidak berfungsi dengan baik dan benar. 

Maka dengan demikian, tempat di mana kita menunaikan "hak dan kewajiban" itu pun sangat penting. Di rumah, di kantor, bahkan di tempat-tempat umum, yang namanya "toilet" merupakan fasilitas yang primer. Yang tidak bisa tidak, harus ada. Kalau tidak bisa privat, ya minimal umum.

Tapi banyak tempat umum semacam terminal, pasar, halte, yang tidak dilengkapi fasilitas yang sangat urgen ini. Kalaupun ada, jumlahnya minim sehingga tidak bisa digunakan orang banyak dalam waktu yang bersamaan. 

Sering kali menjadi suatu pemandangan yang sangat miris menyaksikan puluhan orang mengantre di depan satu toilet umum di sebuah pasar atau terminal. 

Kalau hanya untuk sekadar buang air kecil, mungkin bagi laki-laki yang sudah tidak dapat menahan lagi, bisa saja mencari "alternatif", di sudut bangunan kosong atau di bawah pohon. Hal ini menjadi tidak mudah bagi kaum wanita. Dan bagaimana pula kalau mau buang air besar (BAB)? Tentu tidak sesederhana urusan BAK. 

Maka ketika kita turun dari kereta komuter--istilah bagi kereta api jaman now-- dan ingin melaksanakan "hak dan kewajiban" yang sudah tertahan-tahan sejak di dalam kereta, rasanya dongkol dan tersiksa ketika mendapati toilet umum diantre banyak orang. 

Apalagi toiletnya hanya satu. Rata-rata stasiun commuter yang berserakan di seantero Jabodetabek hanya dilengkapi satu atau dua fasilitas ini. Dan ini sungguh tidak manusiawi mengingat stasiun kereta--apalagi yang besar--disinggahi ribuan orang setiap hari, dari pagi hingga malam. 

Pernah beberapa kali penulis menyaksikan seorang laki-laki akhirnya nekat menggunakan toilet khusus wanita yang kebetulan kosong, karena dia tidak tahan lagi menahan hasrat untuk BAB. Pasalnya, tidak mungkin lagi menunggu di toilet khusus laki-laki yang sudah diantre lima-enam orang. 

Walaupun toilet untuk laki-laki itu ada dua unit, tapi berhubung yang mengantre sudah melebihi kapasitas, akhirnya semua hanya pasrah dan bersabar menunggu giliran. Lebih menyiksa lagi apabila yang sedang melakukan hajat di dalam sangat lama. Digedor-gedor pintu dari luar atau diteriaki supaya segera keluar pun percuma, kalau yang bersangkutan belum merasa tuntas melaksanakan urusannya yang memang "sangat penting" itu.

Sebagai pembanding, saya teringat ketika tiga tahun lalu naik kendaraan umum dari Bandara Internasional Kualanamu menuju Kota Siantar, Sumatera Utara. Sekitar dua-tiga jam perjalanan dari bandara, karena "kebelet" buang air, kita minta kepada sopir untuk mampir di pom bensin terdekat. Dan rasanya takjub melihat toilet yang tersedia di tempat itu ada sepuluh unit. 

Bayangkan, itu hanya sebuah pom bensin namun menyiapkan fasilitas umum secara berlimpah. Penggunanya pun hanya dianjurkan memasukkan "dana kebersihan" ke kotak yang disediakan. Sayang sekali saya tidak mengingat nama kota atau daerah tersebut. 

Pengelola tempat-tempat yang disinggahi ribuan orang setiap hari, mestinya malu dengan fakta yang saya sajikan di atas. Maka jangan pelit menyediakan banyak toilet bagi penumpang atau masyarakat yang memang sangat membutuhkannya. Dan sebaliknya jangan malah terkesan royal dan lebih mengutamakan penyediaan ruangan atau lokasi bagi pemodal besar untuk membuka gerai atau restoran di sana ketimbang membangun banyak toilet umum.

Hal yang sama pun sebaiknya menjadi perhatian serius pengelola bus angkutan umum di DKI Jakarta--tanpa harus menyebut nama instansi. Di setiap halte yang bertebaran di seantero Ibu Kota, sebenarnya ada "jejak" toilet. Saya sebut "jejak", karena kebanyakan sudah tidak jelas lagi wujudnya. Tampaknya fasilitas buang air untuk penumpang itu dibangun bersamaan dengan haltenya.

Namun sebagian besar toilet di halte-halte tersebut tidak berfungsi. Kalau pun ada beberapa yang berfungsi hanya digunakan oleh awak bus dan petugas di halte. Padahal mestinya para penumpang pun harus diprioritaskan dalam hal ini. 

Beberapa toilet yang berfungsi sering ditutup dengan alasan: lagi rusak, air tidak jalan, dsb. Penumpang yang kebelet buang air pun terpaksa keluar dari halte untuk mencari tempat lain, yang mudah-mudahan ada dalam jarak dekat. Setelah selesai "urusan", balik lagi ke halte untuk meneruskan perjalanan. Repot.

Merevitalisasi toilet di halte-halte, mungkin bisa menjadi agenda Gubernur DKI, mengingat ini kebutuhan yang tergolong primer. Bentuk atau wujudnya tidak perlualah secanggih atau semodern smart toilet--berbayar, yang diwariskan oleh Ahok. Masuk ke smart toilet, yang serba elektris itu, kesannya bagaikan berada di bunker baja yang tebal dan terisolir dari dunia luar. 

Mau masuk pun harus pakai tempel kartu. Tanpa ventilasi. Ada rasa ngeri membayangkan jika pintunya macet. Jadi, sebaiknya bikin toilet yang standar-standar sajalah. Happy di dalam, happy pula kalau sudah beres itu urusan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun