Bayangkan, itu hanya sebuah pom bensin namun menyiapkan fasilitas umum secara berlimpah. Penggunanya pun hanya dianjurkan memasukkan "dana kebersihan" ke kotak yang disediakan. Sayang sekali saya tidak mengingat nama kota atau daerah tersebut.Â
Pengelola tempat-tempat yang disinggahi ribuan orang setiap hari, mestinya malu dengan fakta yang saya sajikan di atas. Maka jangan pelit menyediakan banyak toilet bagi penumpang atau masyarakat yang memang sangat membutuhkannya. Dan sebaliknya jangan malah terkesan royal dan lebih mengutamakan penyediaan ruangan atau lokasi bagi pemodal besar untuk membuka gerai atau restoran di sana ketimbang membangun banyak toilet umum.
Hal yang sama pun sebaiknya menjadi perhatian serius pengelola bus angkutan umum di DKI Jakarta--tanpa harus menyebut nama instansi. Di setiap halte yang bertebaran di seantero Ibu Kota, sebenarnya ada "jejak" toilet. Saya sebut "jejak", karena kebanyakan sudah tidak jelas lagi wujudnya. Tampaknya fasilitas buang air untuk penumpang itu dibangun bersamaan dengan haltenya.
Namun sebagian besar toilet di halte-halte tersebut tidak berfungsi. Kalau pun ada beberapa yang berfungsi hanya digunakan oleh awak bus dan petugas di halte. Padahal mestinya para penumpang pun harus diprioritaskan dalam hal ini.Â
Beberapa toilet yang berfungsi sering ditutup dengan alasan: lagi rusak, air tidak jalan, dsb. Penumpang yang kebelet buang air pun terpaksa keluar dari halte untuk mencari tempat lain, yang mudah-mudahan ada dalam jarak dekat. Setelah selesai "urusan", balik lagi ke halte untuk meneruskan perjalanan. Repot.
Merevitalisasi toilet di halte-halte, mungkin bisa menjadi agenda Gubernur DKI, mengingat ini kebutuhan yang tergolong primer. Bentuk atau wujudnya tidak perlualah secanggih atau semodern smart toilet--berbayar, yang diwariskan oleh Ahok. Masuk ke smart toilet, yang serba elektris itu, kesannya bagaikan berada di bunker baja yang tebal dan terisolir dari dunia luar.Â
Mau masuk pun harus pakai tempel kartu. Tanpa ventilasi. Ada rasa ngeri membayangkan jika pintunya macet. Jadi, sebaiknya bikin toilet yang standar-standar sajalah. Happy di dalam, happy pula kalau sudah beres itu urusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H