Buang hajat merupakan aktivitas manusia yang sangat penting, bahkan mungkin bisa dikategorikan bahwa hal itu sebagai hak dan kewajiban. Setiap hari manusia pasti menunaikan "kewajiban" ini, kecuali sedang sakit yang membuat organ-organ vital yang berkaitan dengan aktivitas tersebut tidak berfungsi dengan baik dan benar.Â
Maka dengan demikian, tempat di mana kita menunaikan "hak dan kewajiban" itu pun sangat penting. Di rumah, di kantor, bahkan di tempat-tempat umum, yang namanya "toilet" merupakan fasilitas yang primer. Yang tidak bisa tidak, harus ada. Kalau tidak bisa privat, ya minimal umum.
Tapi banyak tempat umum semacam terminal, pasar, halte, yang tidak dilengkapi fasilitas yang sangat urgen ini. Kalaupun ada, jumlahnya minim sehingga tidak bisa digunakan orang banyak dalam waktu yang bersamaan.Â
Sering kali menjadi suatu pemandangan yang sangat miris menyaksikan puluhan orang mengantre di depan satu toilet umum di sebuah pasar atau terminal.Â
Kalau hanya untuk sekadar buang air kecil, mungkin bagi laki-laki yang sudah tidak dapat menahan lagi, bisa saja mencari "alternatif", di sudut bangunan kosong atau di bawah pohon. Hal ini menjadi tidak mudah bagi kaum wanita. Dan bagaimana pula kalau mau buang air besar (BAB)? Tentu tidak sesederhana urusan BAK.Â
Maka ketika kita turun dari kereta komuter--istilah bagi kereta api jaman now-- dan ingin melaksanakan "hak dan kewajiban" yang sudah tertahan-tahan sejak di dalam kereta, rasanya dongkol dan tersiksa ketika mendapati toilet umum diantre banyak orang.Â
Apalagi toiletnya hanya satu. Rata-rata stasiun commuter yang berserakan di seantero Jabodetabek hanya dilengkapi satu atau dua fasilitas ini. Dan ini sungguh tidak manusiawi mengingat stasiun kereta--apalagi yang besar--disinggahi ribuan orang setiap hari, dari pagi hingga malam.Â
Pernah beberapa kali penulis menyaksikan seorang laki-laki akhirnya nekat menggunakan toilet khusus wanita yang kebetulan kosong, karena dia tidak tahan lagi menahan hasrat untuk BAB. Pasalnya, tidak mungkin lagi menunggu di toilet khusus laki-laki yang sudah diantre lima-enam orang.Â
Walaupun toilet untuk laki-laki itu ada dua unit, tapi berhubung yang mengantre sudah melebihi kapasitas, akhirnya semua hanya pasrah dan bersabar menunggu giliran. Lebih menyiksa lagi apabila yang sedang melakukan hajat di dalam sangat lama. Digedor-gedor pintu dari luar atau diteriaki supaya segera keluar pun percuma, kalau yang bersangkutan belum merasa tuntas melaksanakan urusannya yang memang "sangat penting" itu.
Sebagai pembanding, saya teringat ketika tiga tahun lalu naik kendaraan umum dari Bandara Internasional Kualanamu menuju Kota Siantar, Sumatera Utara. Sekitar dua-tiga jam perjalanan dari bandara, karena "kebelet" buang air, kita minta kepada sopir untuk mampir di pom bensin terdekat. Dan rasanya takjub melihat toilet yang tersedia di tempat itu ada sepuluh unit.Â