Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Pilkada Sumut Beraroma DKI 2017

29 Juni 2018   15:39 Diperbarui: 30 Juni 2018   05:20 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pilkada serentak 2018 ini diikuti 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Pilkada yang paling "panas" adalah pemilihan gubernur (pilgub) Sumatera Utara, karena "aroma" Pilkada 2017 DKI sangat kental di sini. Cagub Djarot Syaiful Hidayat berpasangan dengan cawagub Sihar Sitorus.

Pasangan Djoss ini melawan pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajeksah (Eramas). Djarot adalah wakil gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang kemudian naik menjadi gubernur DKI setelah Ahok divonis penjara dua tahun dengan tuduhan menista agama. Sebagaimana kita ketahui, Ahok-Djarot kalah dalam pilkada yang sarat kontroversial itu oleh pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno.

Di Pilkada yang digelar 27 Juni 2018 ini, PDI Perjuangan menyorongkan Djarot, yang memang kader Partai Banteng, untuk menjadi cagub Sumatera Utara. Diharapkan kepopulerannya sewaktu mendampingi Ahok--walau hanya sebentar--bisa mengambil hati masyarakat Sumut. Djarot sendiri adalah orang Jawa, dan masih tercatat sebagai warga DKI Jakarta.

Di Sumut sendiri, khususnya ibukota Medan, etnik Jawa sangat banyak. Bahkan ada organisasi/paguyuban Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera) di sini. Djarot sangat ideal disandingkan dengan putra daerah, Sihar Sitorus, yang juga adalah kader PDI Perjuangan. 

Di tahun politik ini, pilkada kali ini pun sudah beraroma pilpres. Hasil pilkada ini bisa dijadikan gambaran atau tolok ukur tentang peluang seorang calon presiden yang akan diusung oleh parpol-parpol peserta. PDI Perjuangan misalnya, sejak awal sudah bulat mengusung kembali Joko Widodo untuk capres 2019.

Di samping PDI P, ada Golkar, PPP, Nasdem, dll., yang sama-sama menjagokan Jokowi. Dari hasil hitung cepat (quick count) Pilkada 2018 ini, bisa dikatakan bahwa kubu Jokowi bisa bernapas lega, karena banyak calon yang didukung oleh parpol pendukungnya menang.

Namun demikian, Sumut tetaplah lebih menarik karena sarat nuansa Pilkada 2017 DKI Jakarta. Apalagi, bara Pilkada DKI 2017 belum sepenuhnya padam. Pilgub Sumut juga menjadi ajang persaingan antara dua kandidat: yang mengusung Jokowi dan Prabowo. Kubu Djoss jelas pro Jokowi, sementara Eramas untuk kubu Prabowo. Maka pihak-pihak yang berkampanye di sana adalah kubu-kubu yang merepresentasikan kedua capres di atas.

Djoss, yang merupakan perwakilan dari dua etnis: Jawa dan Batak, yang kebetulan menganut keyakinan berbeda, jelas tidak menyoal tentang agama, suku, asal-usul dalam setiap kampanyenya. Namun justru unsur kebhinekaan Djoss ini dimanfaatkan kubu sebelah untuk menyerang dengan menggunakan isu agama dan asal-usul.

Jargon-jargon usang yang digembar-gemborkan di Pilkada DKI 2017, bahwa haram hukumnya memilih pemimpin dari golongan "kafir", di Sumut kembali membahana. Bahkan beberapa hari sebelum hari pencoblosan di beberapa tempat dipasang baliho raksasa tentang "hukum" dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan agama.

Terpasangnya baliho ini di wilayah publik tentu sangat disesalkan, sebab tidak mencerminkan negara yang berdasarkan UUD 45 dan Pancasila, di mana semua warga bersamaan kedudukannya dalam hukum dan kesempatan politik. Saya tidak tahu apakah Bawaslu atau yang pihak berwernang dalam kasus ini mengambil suatu tindakan sebagai pelanggaran.

Sebab kalau hal seperti ini dibiarkan, maka ini menjadi preseden buruk, dan menjadi kebiasaan, ditiru oleh daerah lain. Sah-sah saja pemuka agama mengingatkan umatnya, namun harus tahu di mana tempat dan waktunya. 

Panasnya Pilkada Sumut ini ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh agama dari luar Sumut yang turut ambil bagian dalam kampanye. Sebut saja misalnya Tengku Zulkarnaen yang di Jakarta sangat aktif  menjegal Ahok. Ustad Somad Batubara, yang memang putra asli Sumut, turut andil memberikan "pencerahan" bagi warga supaya tidak salah memilih pemimpin. Sebab, salah memilih gubernur, hukumannya adalah neraka! Itu kata mereka. Hanya saja, di daerah yang mayoritas non-muslim, gaya ini kok tidak digunakan? 

Yang tidak kalah menyedihkan lagi adalah ketika Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI menjadi jurkam Eramas. Dalam pidato di depan ribuan orang, Gatot  menyerukan agar masyarakat Sumut memilih orang Sumut juga untuk  menjadi pemimpinnya. Gatot yang keblinger, lalu apa kepentingan warga non-Sumut seperti Anda, melontarkan statemen yang nadanya memecah-belah dan provokatif seperti ini?

Panasnya suhu pilkada di Sumut ini memang mewakili panasnya persaingan antara kubu Jokowi dengan Prabowo. Namun yang lebih ganas adalah  "dendam" para pembenci Ahok. Untuk itulah mereka terus memburu pihak-pihak yang menurut mereka bagian dari Ahok, seperti Djarot yang jadi cagub Sumut.

Maka jargon "haram hukumnya memilih 'teman' penista agama" menjadi salah satu ungkapan yang menghiasi jagad pilkada Sumut 2018 ini. Tidak heran, jika dalam quick count, pasangan Djarot-Sihar yang menurut hitung-hitungan dan polling, paling tidak akan unggul tipis, akhirnya mendapat suara lebih kecil dibanding rival. 

Sayang sekali, Sumut yang heterogen, dihuni masyarakat bermacam suku, agama dan kepercayaan, yang sejak dulu aman damai rukun dan penuh toleransi, hendak dirusak oleh oknum-oknum yang melestarikan dendam dan kebencian dalam hatinya. Provinsi yang selama beberapa tahun terakhir ini berganti-ganti dipimpin gubernur korup yang akhirnya dijebloskan ke penjara, padahal punya kesempatan yang baik untuk memiliki pemimpin yang bersih terbukti dan teruji dalam memberantas korupsi di bawah Djarot. Tapi, masyarakat tampaknya tidak mau belajar dari kasus-kasus masa lalu. Kini kita hanya bisa berdoa dan berharap, kiranya pemimpin di era yang baru ini tidak mengecewakan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun