Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Langkah Arwah

9 Mei 2018   13:14 Diperbarui: 13 Mei 2018   15:29 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto: premieremagz.com)

Suatu hari di bulan Desember tahun 1989, di Kampus Depok. 

Kuliah pada pagi itu baru memasuki menit ke-30. Dosen yang sedang menerangkan materi terpaksa menghentikan uraiannya, karena pintu ruangan diketuk dari luar. Seorang staf kantor fakultas yang baru masuk menghampiri Pak Dosen dan membisikkan sesuatu. Pak Dosen manggut-manggut, dan mengisyaratkan aku untuk keluar ruangan.

Di luar ruangan, staf fakultas itu mengatakan, ada dua orang mencariku, dan meminta aku untuk mengikuti dia ke ruang tunggu fakultas. Benar, di sofa panjang duduk Richard, sepupuku, bersama seseorang yang tidak ku kenal, yang kemudian dikenalkan sebagai temannya. Wajah Richard tampak murung lalu menepuk pundakku:

"Kami dapat telpon, katanya Kakak Marni meninggal dunia beberapa jam yang lalu!"

"Hah??? Gak mungkin. Sabtu kemarin aku dari rumahnya, dia sehat walafiat kok. Mustahil!"

Di tengah kebingungan, aku tetap mengikuti dia ke tempat parkir. Sementara mulutku terus ngedumel bahwa itu kabar bohong. Di mobil yang sedang melaju aku berkali-kali memukul-mukul paha dan pipi aku, untuk memastikan bahwasanya aku tidak sedang bermimpi. Richard yang paham perasaanku, hanya melirik dengan iba. "Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Kematian toh akan menjemput setiap orang. Kebetulan Kak Marni lebih dahulu pergi. Kita kan hanya tinggal menunggu giliran saja kok, bisa saja besok, lusa, atau sebentar lagi..." Richard menjelaskan seperti orang bijak.

"Ya, sih... tetapi kan Kak Marni masih muda, belum 30 tahun, kedua anaknya saja masih balita!" Aku hampir menangis, karena mulai yakin bahwa yang terjadi ini adalah kenyataan, bukan khayalan atau mimpi. Lagi pula, masak sih Richard berbohong kepadaku.

*

Mobil yang dikemudikan teman Richard sudah memasuki Jalan Daan Mogot. Tujuan kami ke Tangerang, tempat domisili Kak Marni. Semakin dekat ke tujuan, pikiran aku melayang-layang ke masa-masa silam bersama Kak Marni. 

Empat tahun lalu dia menikah dengan Robert, dan kini dikaruniai dua orang anak: Santi usia tiga setengah tahun, dan adiknya Marcel mendekati dua tahun.

Semasih gadis, Kak Marni tinggal di Padang Bulan, Medan bersama orang tua kami. Tiga tahun setelah lulus SMA, dia lamar Bang Robert. Mereka berpacaran ketika Robert kuliah di USU, dan tempat kostnya tidak jauh dari rumah kami. Lulus dari USU, Bang Robert merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Setelah merasa cukup mapan, dia mengajak Kak Marni menikah, lalu memboyongnya ke Tangerang, tinggal di rumah KPR type kcil, yang mulai dia cicil setahun sebelumnya. Setelah setahun mereka berumah tangga, lahirlah Santi, disusul Marcel.

Aku yang sejak SMA sudah tinggal di Jakarta, selalu rutin berkunjung ke rumah Kak Marni. Terlebih setelah keponakan-keponakanku itu lahir, hampir setiap hari Sabtu aku ke Tangerang, sebab sangat senang rasanya bisa bercengkerama dengan kedua balita yang sehat cantik ganteng dan menggemaskan itu. 

Hingga pada pagi hari tadi, berita meninggalnya Kak Marni telah mengguncang seluruh tubuhku, menyedot habis semangat hidupku.

Memasuki komplek perumahan tempat mereka, ragaku seperti melayang setelah melihat bendera kuning bertuliskan nama Kak Marni terlihat di ujung gang. Kepiluan yang sudah menggumpal, agaknya telah menghalangi air mataku sehingga tidak bisa tumpah. Padahal betapa aku ingin menangis sekuat-kuatnya begitu  menyaksikan tubuh Kakakku yang cantik itu terbaring di ruang tengah, dihadapi suaminya yang juga tampak terpukul dan tergoncang batinnya. Lelaki yang baik dan ramah itu yang berurai air mata, saat melihatku masuk dan bersimpuh di samping jenazah.

"Kena serangan jantung," demikian bisik-bisik yang terdengar dari pelayat.

Yang membuat hatiku makin hancur adalah saat menyaksikan kedua anak balita almarhumah duduk di samping bapak mereka, mengusap-usap jenazah mamak mereka seperti tidak mengerti apa-apa yang sudah terjadi. 

"Mama kok belum bangun-bangun sih, Pa?" tanya Santi pada bapaknya.

*

Seminggu setelah kakakku dimakamkan, aku mengunjungi kedua keponakan aku itu. Yang ada di rumah pagi itu hanya pembantu rumah tangga (PRT) yang sedang memasak di dapur. Bang Robert, suami almarhumah kakak, sudah berangkat kerja. Sementara kedua keponakanku, tidur di lantai atas. Rumah mereka waktu itu KPR type kecil. Maka ditambah ruangan di atas berlantai papan, untuk kamar tidur.

Aku naik ke atas. Dan hampir tumpah air mata aku ketika melihat kedua bocah imut-imut itu sedang tertidur pulas. Mereka belum sepenuhnya mengerti bahwa mereka sudah ditinggal pergi untuk selamanya oleh ibunda yang sangat mengasihi mereka. Dulu, waktu mama mereka masih ada, biasanya aku langsung mengajak kedua keponakan aku itu untuk bercanda dan bercengkerama.

Dengan langkah pelan, supaya mereka tidak terbangun, aku turun ke bawah, dan menonton televisi. Beberapa saat kemudian, aku mendengar bunyi seperti langkah kaki di lantai atas. Jelas sekali seperti suara langkah kaki seorang dewasa berjalan-jalan di lantai atas. aku mengecilkan volume suara televisi. Dan suara langkah kaki itu masih terdengar dengan sangat jelas. Antara kaget ketakutan bingung dan sedih, dengan tubuh gemetaran aku mengendap-endap menaiki tangga kayu menuju atas, dan ketika tiba di atas.... sepi! Bunyi langkah kaki tidak terdengar lagi. Hening. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali kedua keponakan aku yang tetap tidur pulas.

Aku menghela napas, sedih dan gentar, turun kembali ke bawah. Naluri aku berkata, arwah Kak Marni sedang datang untuk mengunjungi anak-anak yang sangat dia sayangi itu.

Nah, bunyi itu kedengaran lagi, bahkan kini lebih keras. Sementara itu, PRT yang sedang bekerja di dapur berkali mengucapkan: Husssss!!! Huss!!! Dia seperti mengusir sesuatu, sambil melihat ke atas. Agaknya dia pun sudah sering mendengar bunyi-bunyi itu kalau suasana rumah sedang sepi.

Aku diam saja, seolah tidak tahu. Namun ketika bunyi langkah kaki kembali terdengar dan makin kencang, aku  kembali melangkah mengendap-endap menaiki tangga dan mengintip. Sama saja, tidak ada siapa-siapa, bahkan aku sudah memeriksa setiap sudut. Kedua keponakan aku masih pulas dibuai mimpi. Mungkin mimpi indah sedang dibelai-belai ibu mereka.

Akhirnya, sambil berurai air mata, aku berdoa kepada Tuhan, supaya almarhumah kakakku diterima di sisi-Nya, dan mohon perlindungan bagi kedua anaknya yang masih kecil itu. 

Selesai berdoa, aku turun kembali ke bawah, dan sejak itu tidak pernah lagi terdengar lagi orang melangkah di lantai atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun