32
Kembali ke Jakarta
MASA-masa liburan di kampung halaman akhirnya terasa hambar di hati Poltak. Tidak ada lagi gairah untuk mengunjungi teman-teman yang tinggal di kampung. Setelah berziarah ke makam nenek moyangnya, dia hanya bertandang ke rumah beberapa teman. Selebihnya dia hanya di rumah seharian, bercengkerama dengan adik-adiknya.
Namun karena tidak ada lagi yang hendak dilakukan di kampung, Poltak akhirnya memutuskan untuk kembali saja ke Jakarta. Baginya dua minggu di kampung sudah lebih dari cukup untuk memulihkan stamina dan semangat. Dengan alasan ingin mengetahui nilai ujian semester dan mendaftarkan diri untuk mengikuti perkuliahan semester berikut, Poltak pamitan. Dan memang tidak ada lagi alasan bapak dan ibunya untuk menahan. Meski dengan perasaan sedih, Poltak diantar ke pelabuhan Belawan oleh orang-orang yang sangat dikasihinya tersebut.
Siang itu kapal raksasa yang membawa Poltak menuju Pulau Jawa sudah membelah samudera dengan gagah berani. Cuaca sangat cerah. Lautan pun tenang. Poltak yang sudah berpengalaman naik kapal itu, merasa leluasa dan bebas lepas menjelajahi setiap sudut kapal. Dia mencari-cari siapa tahu ada orang yang enak diajak untuk ngobrol. Dia berharap ketemu cewek yang lagi sendirian untuk diajak berbincang-bincang mengusir kejenuhan hati.
Setelah capek mengitari segala penjuru kapal, dia akhirnya menuju kantin dan menghempaskan pantatnya pada sebuah bangku. Dia memesan berbagai makanan. Mahal, tentu saja. Harga di kapal bisa tiga kali lipat dibanding harga di darat. Namun naik kapal antar-pulau kan jarang-jarang. Paling banter juga setahun sekali. Itu pun tidak pasti. Maka apa salahnya menikmati perjalanan selama dua hari tiga malam itu sambil makan-makan dan minum-minum di kantin? Hitung-hitung mencegah perut kosong, menghindari masuk angin.
Kenyang dan puas makan, dia kembali ke tempatnya untuk tidur-tiduran. Tapi karena kebanyakan makan dan minum di kantin, tidak lama kemudian perutnya terasa mulas dan ingin segera ke toilet untuk buang air besar.
Ada beberapa toilet khusus untuk pria di kapal raksasa yang terdiri atas beberapa lantai itu. Namun pada waktu itu toilet yang terdekat sedang penuh. Mau cari kamar mandi lain malas dan cukup jauh. Salah-salah isi perut sudah berhamburan sebelum toilet lain itu ditemukan. Maka dia pun menunggu di luar kamar mandi yang berada dalam jangkauan ini sampai ada yang sudah selesai membuang hajatnya.
Saat berdiri di pojokan sambil menahan-nahan isi perutnya yang bergejolak, Poltak melihat seseorang anak muda berjalan mundar-mandir di sekitar toilet itu. Anak muda itu celingak-celingukan seperti sedang kebingungan. Poltak yakin orang itu penumpang baru. Mungkin dia sedang mencari sesuatu tetapi malu bertanya ke orang-orang yang ada di sana. Maka Poltak pun bertanya ke dia.
“Hei, kau ini mau ke mana, kok dari tadi seperti orang kebingungan?”
“Oh, saya mau ke toilet, mau buang air kecil,” katanya seperti malu-malu.
“Itu kamar mandi. Masuk saja langsung. Kalau cuma mau buang air kecil ada banyak tempat,” jelas Poltak sambil menunjukkan kamar mandi yang berjarak sekitar 10 meter di samping kirinya.
“Kalau itu sih saya tahu, Mas. Tetapi yang tersedia di situ kan hanya toilet khusus wanita dan khusus untuk laki-laki. Lha, toilet khusus untuk bencong seperti saya mannnaaaa....,” katanya genit.
Poltak tidak bisa menahan tawa. Dia tidak tahu apakah orang itu sedang bercanda atau sungguh-sungguh. Dia tidak tahu apakah orang itu normal atau abnormal atau amoral. Tetapi kejadian tersebut telah membuatnya teringat kepada anak-anak pinggiran yang pernah dia ajari di kawasan kumuh Tanjungpriok beberapa waktu sebelumnya.
Waktu itu salah satu anak didiknya itu bernama Parno, nakal dan suka bicara ceplos-ceplos. Suatu ketika Poltak mengajari pelajaran biologi kepada anak-anak tersebut:
“Ada berapa jenis kelamin manusia?” tanya Poltak kepada anak-anak itu
“Dua!” jawab mereka hampir serempak.
“Sebutkan,” perintah Poltak.
“Laki-laki dan perempuan,” jawab mereka hampir berbarengan.
“Bagus...,” jawab Poltak puas.
Tetapi sekonyong-konyong si Parno, anak yang badung itu malah nyeletuk dengan kencang.
“Salah Om. Sekarang bukan dua, tetapi tiga jenis, yakni: wanita, pria, dan waria!”
“Huahahahahahahahahahaha....” semua tertawa ramai waktu itu, termasuk Poltak yang tidak bisa menahan senyum.
Dan kini, di kapal, kejadian yang hampir sama konyolnya kembali terulang. Tapi lumayanlah, itu bisa membuatnya sedikit terhibur.
Dia segera masuk ke dalam toilet setelah ada yang kosong. Di dalam toilet dia merasa sangat bersyukur sebab masuk pada waktu yang tepat. Sebab bila harus menunggu satu menit lagi saja, maka seluruh isi perutnya akan ambrol tanpa bisa ditahan. Maka di dalam kamar kecil itu dia mengeluarkan isi perutnya secara tuntas.
Beberapa menit kemudian dia keluar dengan kelegaan yang luar biasa. Dia melangkah menjauhi areal kamar mandi dengan sedikit lemas. Untuk menghimpun tenaganya kembali dia duduk di bangku panjang dekat kaca sambil memandang ke laut lepas. Hari sudah sudah mulai senja.{} BERSAMBUNG..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H