Religion today allies itself with tele-techno-science
(Jacques Derrida, 2002:82)
Kita hidup di zaman di mana hal yang asing bisa muncul dari sesuatu yang dianggap begitu karib. Dalam konteks tertentu, itu mirip dengan frasa "Allah akbar, Allah akrab".
Contohnya, kemarahan bisa muncul dari sebuah persabahatan yang sebelumnya terasa begitu hangat. Kecurigaan dapat hadir dalam perkawinan yang awalnya penuh pesona. Dan tempat bagi cinta dapat dengan mudah digantikan dengan ketidakpedulian.
Kenyataan seperti ini membuat kita perlu memikirkan kembali gagasan besar tentang manusia dalam pertanyaan paling sederhana sekaligus kompleks: Siapa itu manusia?
Menjawabi pertanyaan di atas, bagaimana pun juga manusia jatuh ke dalam dilema: ia bertindak sebagai penanya sekaligus sebagai apa-apa yang dipertanyakan.
Sudah sejak lama, agama konvensional dan moralitas normatif mencekoki isi kepala kita bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang mulia, berakal budi, bermoral, beretika, dan seterusnya. Perspektif semacam itu tentu baik dan berguna dalam mendukung stabilitas dan harmoni tatanan hidup sebuah komunitas (entah etnis, entah negara).
Namun, mengapa kita tidak diajarkan tentang dimensi lain dari manusia sebagai makhluk abu-abu, yang terpesona pada keremang-remangan, rapuh, dan penuh risiko?
Konsekuensinya jelas, terhadap segala sesuatu, manusia dipaksa untuk mengerahkan segala tenaganya guna menekan sisi lain yang dianggap "gelap", "purba", dan "destruktif". Pada waktu tertentu, manusia terpaksa menahan kecenderungannya menjadi pencemburu atas nama kesucian perkawinan. Ia terpaksa mengambil risiko tidak bahagia dengan menuruti kemauan orangtua demi dilabeli sebagai anak yang berbakti, dan seterusnya, dan seterusnya.
Hingga pada suatu masa, ketika yang dahulu imbang berubah timpang, sisi gelap manusia itu kembali hadir sebagai sesuatu yang asing di mata masyarakat. Kita lalu merasa heran dan jijik ketika menemukan ada orang yang menimbun makanan karena takut kepalaran, atau marah karena ada warga yang menolak jenazah perawat penderita covid-19.
Dengan begitu mudah, kita melabeli mereka yang menggunakan dalil agama untuk menolak vaksinasi sebagai kurang berpendidikan atau bodoh; mengutuk seorang suami yang tega menggorok leher istrinya, mencaci perempuan yang membunuh bayinya sendiri, dan sebagainya.