Mohon tunggu...
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon)
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon) Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Isu-Isu Demokrasi, Ekonomi-Politik, dan Keamanan

Suka membaca dan mengobrolkan apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisruh Laut China Selatan dan Pentingnya Reformulasi Kedaulatan

14 Mei 2024   22:28 Diperbarui: 15 Mei 2024   08:06 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa Penting?

Esai ini berupaya memahami konflik Laut China Selatan (LCS) dari sudut pandang pergeseran tata kelola dunia di mana "perang" bukan lagi berlangsung antarnegara melainkan antarkawasan atau blok ekonomi, dari berakhirnya unipolarisme Amerika Serikat menuju multilateralisme Tiongkok bersama Russia, Iran, dan India (theguardian.com, 17 Maret, 2024). Gambaran besar ini perlu dikemukakan agar diskusi tentang kedaulatan diperluas cakupannya, bukan lagi terbatas pada elemen geografis melainkan mencakup segmen politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Sudah sangat sering disebut bahwa LCS diperebutkan dan sekaligus menjadi objek konfilik karena merupakan jalur perairan strategis dan punya potensi sumber daya alam yang kaya (diantaranya cadangan minyak dan gas, stok ikan dan jalur pelayaran). Disebut strategis karena menjadi Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines Communication (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Suamudera Pasifik sehingga membuat jalur LCS sebagai jalur tersibuk di dunia.

Sekurang-kurangnya terdapat tiga cara memahami kedaulatan yang umumnya otomatis ada dalam argumen penstudi politik realis. 

Pertama, kedaulatan geografis. Elemen-elemen seperti batas wilayah atau teritori cenderung menjadi basis identifikasi dominan ketika membahas kedaulatan secara geografis. Sebuah negara disebut berdaulat jika ia memiliki kontrol atas wilayahnya baik di darat dan laut maupun udara. 

Kedua, kedaulatan ekonomi yang membahas sejauh mana kemampuan sebuah negara mengelola potensi sumber daya alam yang ada demi kemakmuran warganya. Dalam konteks ini, tidak jarang, kedaulatan ekonomi juga beririsan langsung dengan kedaulatan geografis jika potensi SDA itu terdapat di wilayah sengketa yang melibatkan dua atau lebih negara. 

Ketiga, kedaulatan politik yang secara pragmatis dipahami sebagai kemampuan sebuah negara menempatkan dirinya dalam relasinya dengan negara lain. Kedaulatan ini juga memungkinkan sebuah negara mampu bernegosiasi dalam panggung politik yang seimbang, netral, dan tanpa potensi diintervensi secara berlebihan oleh keputusan politik luar negeri negara lain.

Berdasarkan tiga cara pandang di atas, muncul pertanyaan berikut: apa yang kita bicarakan ketika kita meletakkan konflik LCS dalam diskusi tentang kedaulatan? Bagaimana kita memahami kedaulatan persis di tengah pergeseran tata dunia dari unipolar AS/NATO ke multipolarisme Tiongkok, Russia, Iran, dan India? Sejauh mana pengaruh konflik LCS bagi relasi antarnegara di kawasan ASEAN dan posisi seperti apa yang perlu diambil Indonesia berhadapan dengan dinamika tersebut?

Menjawabi aneka pertanyaan di atas, tentu saja, analisis yang dibutuhkan bukan hanya based on actor dalam studi-studi realisme, melainkan pembahasan perlu dipadukan dengan analisis ekonomi politik. Dalam konteks konflik LCS, analisis itu dilakukan dengan pertama-tama memetakan negara-negara yang terlibat dan apa saja kepentingan yang menjadi latarbelakang keterlibatan mereka. 

Sejauh ini, terdapat lima negara yang saling berkonfrontasi merebutkan LCS diantaranya Tiongkok/Taiwan (non-ASEAN), Indonesia (ASEAN), Filipina (ASEAN), Vietnam (ASEAN), Malaysia (ASEAN), dan Brunei Darussalam (ASEAN). Selanjutnya, dianalisis kepentingan nasional masing-masing negara yang terlibat di satu sisi dan kepentingan ASEAN di lain sisi.

LCS dan Filipina sebagai "Proxy War" di ASEAN

Ketegangan di kawasan LCS perlu diletakan dalam dua benturan pendekatan di mana AS cenderung menggunakan pendekatan konflik dengan turunan menciptakan krisis permanen (permanent crisis). Sementara itu, secara umum China lebih mengutamakan pendekatan perundingan yang damai meskipun cenderung dinamis dan dengan tensi yang cukup alot. Hal ini selaras dengan argumen Letjen (Purn) Agus Widjojo yang mengatakan bahwa China mengerahkan coast guard, alih-alih angkatan laut, sebagai senjata psikologis untuk mengirimkan pesan yakni pertama, menekankan bahwa LCS merupakan wilayahnya dan kedua China tidak bermaksud untuk perang (republika.co.id, 19 Maret 2024). 

Berhadapan dengan dua hal ini, dalam konteks Indonesia, analisis diarahkan kepada dua jenis kepentingan yakni kepentingan nasional (national interest) dan kepentingan ASEAN. Indonesia sendiri belum terlibat secara langsung dalam ketegagang aktual sementara pada tahun 2023, ASEAN dan China sepakat untuk menyelesaikan perundingan pedoman tata perilaku (COC) di LCS dalam tiga tahun.

Diawali pada tahun 1949, China mengumumkan sebuah istilah baru, yaitu "nine dash line", yang berisi klaim sepihak atas wilayah teritorial perairan sekitar LCS dan WPS (Laut Filipina Selatan), bahkan selanjutnya China menetapkan "ten-dash line". Klaim ini menimbulkan respon dari berbagai negara yang bersinggungan langsung.

Vietnam misalnya, sering menjadi sasaran intimidasi di LCS karena diakui sebagai Laut Timur oleh Hanoi. Pada April 2022, Hanoi protes Beijing setelah kapal Coast Guard China bertabrakan dan menenggelamkan kapal nelayan Vietnam di Kepulauan Paracel di LCS. Vietnam juga harus membatalkan proyek minyak besar di LCS untuk kedua kalinya pada 2018 menyusul tekanan dari China. Sementara itu, pada tahun 2023, Malaysia menolak "peta standar" edisi terbaru China yang mengklaim hampir seluruh LCS, termasuk wilayah yang terletak di lepas pantai Pulau Borneo (sindonews.com, 12 April 2024)

Kasus Filipina merupakan eksemplar yang menarik dan penting di sini. Naiknya Ferdinand Marcos, Jr ke tampuk kekuasaan menggantikan Rodrigo Duterte (yang terkenal anti-Amerika (thediplomat.com, 1 November 2016) mengubah orientasi politik luar negeri negara itu dari China ke AS dan sekutunya di Asia (Jepang-Korea Selatan). 

Renggangnya hubungan Filipina dengan China juga diperparah melalui pemutusan hubungan dalam projek Belt and Road Initiative (BRI) yang diumumkan oleh Menteri Transportasi Jaime Bautista, Kamis (9/11/2023). Pada 31 Oktober 2023, Filipina mendesak Beijing untuk bertindak secara bertanggungjawab dan mengentikan tindakan agresif dan illegal di LCS. 

Beijing membantah tudingan Filipina bahwa kapal Angkatan Lautnya memasuki perairan dekat Scarborough Shoal di LCS tanpa izin (egindo.com, 1 November 2023). 

Menteri Luar Negeri China Wang Yi menegaskan bahwa negaranya akan membela haknya secara sah di LCS menyusul bentrokan terbaru antara kapal Beijin dan kapal Filipina di LCS. Menlu Yi juga menuding AS memanfaatkan Filipina, sekutunya, sebagai "pion" untuk mengobarkan ketegangan regional (detik.com, 7 Maret 2024). China mendesak Amerika Serikat (AS) agar berhenti memanfaatkan Filipina sebagai pion untuk mendestabilisasi Laut China Selatan. Filipina juga harus menolak untuk dimanipulasi oleh AS.

Keterlibatan Negara Lain

Khusus dalam hubungannya dengan LCS, masuknya bantuan dari Jepang dan Amerika Serikat memberikan leverage stage bagi Ferdinand Marcos. Itu tampak dalam pertemuannya dengan PM Jepang Fumio Kishida (voaindonesia.com, 4 November 2023). 

Baik Filipina maupun Jepang, sekutu terdekat AS di Asia itu sepakat mengambil sikap tegas terhadap perilaku agresif kapal-kapal China terkait sengketa kedaulatan maritim. Itu tampak dalam kesepakatan trilateral (Filipina, AS, Jepang) yang diklaim akan mengubah dinamika LCS dan sekitarnya (tagar.id, 14 April 2024). Jepang memang tidak memiliki sengketa dengan Cina di LCS namun di Laut China Timur.

Merespon pertemuan trilateral, Jubir Kemenlu China Mao Ning menyebut bahwa pernyataan bersama para pemimpin AS, Jepang dan Filipina itu dinilai dapat memicu pembentukan blok tertentu. 

Diketahui, pertemuan Trilateral itu digelar di Washington, Kamis (11/4) di mana ketiga negara disebut menghasilkan komitmen agar kawasan Indo-Pasifik tetap bebas, terbuka, saling terhubung, sejahtera, aman, dan inklusif (republika.co.id, 13 April 2024). 

Sementara itu, mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte menuduh AS mengobarkan ketegangan antara China dan Filipina sekaligus mengkritik penggantinya Ferdinand Marcos, Jr yang menuruti perintah Amerika.

Masuknya Jepang dalam kekisruhan ini diprediksi membuat ketegangan semakin berlarut. Disebut demikian karena bagi AS, Jepang adalah pijakannya di Indo-Pasifik. 

Diketahui di Okinawa, AS menempatkan ratusan pesawat tempur dan 54.000 tentara untuk mengantisipasi China. Tidak mengherankan jika PM Menteri Jepang Fumio Kishida menyebut negaranya, Filipina dan AS bekerja sama untuk melindungi kebebasan LCS (kompas.com, 11 April 2023). 

Keterlibatan Jepang dalam konflik LCS membuat China mengingatkan pentingnya Jepang mengingat kembali masa lalunya yang dituding militeristik sekaligus memikirkan ulang sejarah agresinya dan menghormati kekhawatiran negara-negara tetangganya di Asia serta berhenti membesar-besarkan ancaman keamanan sebagai alasan untuk melakukan terobosan menggunakan kekuatan militer (republika.co.id, 13 April 2024). 

Sementara itu, Jepang diketahui bergantung pada jalur laut untuk menjaga lalu lintas perdagangan global. Tokyo terlibat dalam berbagai pakta keamanan dan perdagangan seperti Dialog Kemanan Segiempat (QSD) yang mempertemukan India, Australia, dan Jepang. Serta semakin kuatnya perjanjian trilateral antara Jepang, AS dan Korea Selatan dengan menandatangani perjanian di Camp David pada Agustus 2023 (tribunnews.com, 12 April 2024)

Menimbang Posisi Indonesia

Sebenarnya Indonesia tidak pernah terlibat langsung dalam konflik namun pada tahun 2010 China secara sepihak mengklaim seluruh perairan Laut Natuna yang memaksa Indonesia terseret dalam ketegangan. Dasar yang digunakan China yakni Sembilan Garis Putus-Putus atau Nine Dash Line. Pada waktu itu, Presiden SBY protes ke Cina melalui Komisi Landas Kontinen PBB. 

Pada tahun 2016, kapal nelayan Tiongkok berlajar memasuki wilayah ZEE Indonesia dan melakukan illegal fishing, unreported, dan unregulated fishing. Kejadian yang sama berulang diantaranya pada tanggal 31 Desember 2019 di mana bukan hanya kapal nelayan melainkan juga cost guard Tiongkok yang juga terpantau pada tahun 2023 (kompas.com, 3 November 2023).

Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag Belanda memutus klaim China atas sebagaian besar wilayah LCS tidak memiliki dasar hukum internasional namun keputusan itu ditolak China. Namun Indonesia mengklaim wilayah perairan ini sebagai wilayah kedaulatannya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 yang memberikan hak berdaulat Indonesia untuk mengeksplorasi sumber daya alam di wilayah terswbut.

Dalam KTT ASEAN-Australia di Melbourne, Jokowi mendorong kemitraan strataegis dua negara untuk mewujudkan Kawasan Indo-Pasifik yang damai. Itu dilatarbelakangi oleh posisi Tiongkok yang makin kuat, termasuk ketegangan di LCS dan Tiongkok-Jepang di Laut Tiongkok Timur (link). Deklarasi Mendukung penerapan Deklarasi Panduan Perilaku (DoC) di LCS.

Salah satu bunyi Deklarasi ASEAN-Australia sebagai berikut: "Kami menegaskan kembali pentingnya untuk menjaga dan mempromosikan perdamian, stabilitas, keselamatan, dan keamanan maritime, kebebasan navigasi, dan penerbangan di Kawasan ini. Kami menekankan pentingnya non-militerisasi dan kebutuhan untuk meningkatkan rasa saling percaya dan percaya diri, menahan diri dalam melakukan kegiatan dan menghindari tindakan yang dapat meningkatkan risiko kecelakaan, kesalahpahaman, dan salah perhitungan dan dapat memperumit situasi".

Merepon deklarasi ini, Menlu China Wang Yi menyebut bahwa China akan terus membela hak-haknya sesuai dengan hukum yang berlaku. "Kami akan secara sah membela hak-hak kami sesuai hukum. Mengenai sengketa maritime, China selalu menahan diri," kata Wang, Kamis (6/3) (cnnindonesia.com, 8 Maret 2024).

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, pentingnya kedaulatan geografis. Letjen (Purn) Agus Widjojo menilai bahwa tidak ada satu pun negara yang akan diuntungkan dari adanya konflik. Agus mendorong pembangunan kekatan Badan Keamanan Laut (Bakamia) karena Indonesia merupakan negara kepulauan (republika.co.id, 19 Maret 2024).

Kedua, kedaulatan politik di mana Indonesia perlu tampil sebagai pemimpin ASEAN. Hal ini bisa dilakukan dengan pertama-tama menganalisis kepentingan berbagai negara yang terlibat dalam konflik tersebut. Disebut demikian karena momen negosiasi hanya akan muncul jika Indonesia mampu menemukan kerentanan negara-negara lain dan mengkapitalisasi itu sebagai kekuatan dalam menyebarkan pengaruh.

Ketiga, kedaulatan ekonomi. Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia bergantung pada ekonomi China dan dengan demikian maka ketika pertumbuhan ekonomi Tiongkok turun, Indonesia akan kena imbasnya. BPS mencatat, total ekspor Indonesia ke China turun 16,24% dibandingkan Januari-Maret 2023 imbas penurunan ekonomi Negeri Tirai Bambu itu. China hingga Maret 2024, masih menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia dengan porsi mencapai 22,44% dari total ekspor (cnbcindonesia.com, 22 April 2024). 

Selain, ekspor, Indonesia juga banyak melakukan Impor dari China dengan nilai mencapai US$62,18 miliar pada tahun 2023 (liputan6.com, 15 Januari 2024). Demikian juga di bidang investasi di mana Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, nilai investasi China di Indonesia mencapai US$ 30,2 miliar sejak 2019 hingga kuartal I-2024. Tercatat, ada 21,022 ribu proyek kerja sama selama periode tersebut (kontan.co.id, 14 Mei 2024). 

Keempat, kedaulatan sosial-budaya. Minimnya percakapan warganet terkait isu ini menjadi pekerjaan lain bagi bangsa ini. Dengan kata lain, perlu ada desiminasi gagasan berkelanjutan lintas generasi yang bertujuan membangun kesadaran tentang pentingnya kedaulatan geografis dan politik bangsa di hadapan ketegangan regional dan kawasan. 

Berdasarkan Hasil Survei Litbang Kompas, 78,9 persen responden menganggap manuver China di LCS mengancam negara-negara ASEAN dan mayoritas responden menjadikan ASEAN sebagai mitra yang cocok (Malaysia 49,5 persen, Singapura 15,8 persen dan Filipina (12,7 persen). Setelah negara-negara ASEAN, negara yang dinilai cocok sebagai mitra Indonesia adalah AS (16,7 persen) (kompas.com, 20 Maret 2024). Tapi besar kemungkinan, persepsi responden masih kabur tentang apa itu kedaulatan.

Eksposur Media Massa tentang Kedaulatan dalam Konflik LCS

Menggunakan big data newstensity milik PT Binokular Media Utama, bagian ini coba menelusuri argumen dan peta pemberitaan media massa dan media sosial tentang konflik LCS yang dihubungkan dengan kedaulatan. 

Dalam periode monitoring sejak tanggal 1 November 2023 -- 12 Mei 2024, terdapat sebanyak 4.562 pemberitaan di media online, cetak, dan elektronik terkait Konflik Laut China Selatan (LCS). Mayoritas pemberitaan memiliki sentimen positif (58%), diikuti 36% sentimen negatif, dan 6% sentimen netral. Sebanyak 3.133 pemberitaan didistribusikan oleh media nasional, 1.288 media daerah, dan 139 media internasional.

Pada periode ini, mayoritas media massa menyoroti beberapa isu diantaranya event Debat III Capres Pemilu 2024 dengan tema tentang Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, dan Geopolitk. Angle terbesar kedua yakni perseteruan antara China dan Filipina yang saling mengklaim LCS; diikuti sorotan hubungan trilateral antara AS, Filipina, dan Australia. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat dalam wordcloud pemberitaan di bawah ini.

Wordcloud Pemberitaan Media Massa. Sumber: Dashboard Newstensity
Wordcloud Pemberitaan Media Massa. Sumber: Dashboard Newstensity

Beberapa entitas atau figur yang paling banyak dikutip pernyataannya terkait isu ini diantaranya Menteri Pertahanan sekaligus Capres Paslon 02 Prabowo Subianto, Capres Ganjar Pranowo, Presiden Joko Widodo, dan Capres paslon 01 Anies Baswedan. 

Ontology Networking. Sumber: Dashboard Newstensity
Ontology Networking. Sumber: Dashboard Newstensity

Anies Baswedan menekankan pentingnya presiden sebagai panglima diplomasi mengembalikan Indonesia sebagai penentu arah perdamaian regional dan global. Sementara itu, Prabowo Subianto menekankan penguatan industri pertahanan berbasis artificaial intelligence, penguatan SDM, dan hilirisasi segala bidang untuk memperkuat ekonomi pertahanan dan keamanan. Demikian juga Ganjar Pranowo menyinggung buku John Perkins dalam Confession of the Economics Hitman (2004) bahwa utang berhubungan dengan kedaulatan negara dan mematikan.

Selain media massa konvensional, isu ini juga dibincangkan warganet di media sosial dengan dominan percakapan tentang materi dalam debat capres. Beberapa akun yang paling banyak mendistribusikan konten diantaranya @NarasiNewsroom tentang aktivitas kapal China di LCS semakin meresahkan (X: link, IG: link). Isu lain yang dibahas yakni prediksi bahwa siapa pun presiden RI, negara ini akan mengadapi tiga masalah besar diantaranya konflik LCS (link), sorotan terhadap aktivitas kapal-kapal China di Filipina (link), dan highlight pernyataan Ganjar soal LCS (link).

Screenshot Postingan
Screenshot Postingan

#KedaulatanIndonesia, #JagaNatuna, #LombaISDS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun