Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masa Depan Ketahanan Pangan di Flores Timur

4 Februari 2018   04:30 Diperbarui: 4 Februari 2018   05:03 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesimpulannya, setelah membuat perbandingan dengan kabupaten lain di Pulau Flores, kuota produksi tanaman pangan di Fotim yang cukup stabil adalah jagung, kacang hijau, dan ubi jalar. Oleh karena itu, pemerintah mesti memprioritaskan jenis tanaman tersebut terutama dalam hal pengolahan pangan lokal di samping untuk memenuhi kebutuhan pasar baik di level lokal maupun nasional dan internasional.

 Punahnya Petani (Muda)?

Persoalan lain yang mesti dicari solusinya adalah rendahnya minat kaum muda pada sektor pertanian. Beberapa tahun terakhir, berdasarkan data Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2016 (Sakernas, BPS, 2013), rata-rata pertumbuhan tenaga kerja di sektor pertanian mengalami peningkatan sebesar 0.64% per tahun pada periode 2005-2009, dan mengalami penurunan sebesar 1.49% per tahun antara tahun 2010 sampai tahun 2014. 

Celakanya, penurunan pertumbuhan tenaga kerja terbesar justru pada kelompok usia pemuda yakni antara usia 15-29 tahun dengan rata-rata pengurangan 3.41% per tahun. Perinciannya sebagai berikut: Dari total 26.135.469 petani, kelompok usia 45-54 sebanyak 7.325.544 orang, kategori usia 35-44 tahun sebanyak 6.885.100 orang, usia 55-64 tahun sebanyak 5.229.903 orang, dan usia di atas 65 tahun sebanyak 3.332.038 orang.  Sementara itu, untuk kategori petani muda lebih menyedihkan. 

Dikatakan demikian karena semakin muda usianya, kuotanya semakin menurun. Dari data yang sama, petani pada usia 25-35 tahun sebanyak 3.129.644 orang, usia 15-24 tahun sebanayak 229.943 orang, usia 15 tahun sebanyak 3.297 orang. Tak hanya kalangan petani. Sebanyak 70 persen petugas PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) POPT (Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman) rata-rata berusia di atas 50 tahun.

Fenomena di atas berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Amerika. Berdasarkan riset yang dipublikasikan Tirto.id, Minggu 3 Desember 2017, terjadi peningkatan minat bertani di kalangan kaum muda. Keputusan bertani sejumlah pemuda Amerika itu bukan karena faktor uang apalagi kekuasaan.

 Tidak ada misi yang wah seperti mengentaskan kemiskinan maupun membantu pemerintah menuntaskan program-program kesejahteraan. Alasannya ternyata sangat sederhana: bosan dengan kehidupan kota, keinginan melakukan perubahan kecil lingkungan sekitar, dan kekhawatiran akan situasi perubahan iklim yang kian memprihatinkan.

Dari dua fakta di atas, asumsi saya bahwa penurunan minat kaum muda di Indonesia khususnya Flotim pada sektor pertanian dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Pertama, rendahnya pengetahuan tentang pertanian. Sejak kecil misalnya, anak tidak diajarkan secara komprehensif mengenai bagaimana mengelola dan membedakan karakteristik tanah (unsur kimiawi) yang cocok dengan jenis tanaman tertentu. 

Selain itu, anak juga tidak diajarkan bagaimana menjadikan tanah sebagai bagian dari dirinya sendiri. Filosofi ini tentu saja mengandung kearifan lokal yang harus dipahami oleh semua orang bahwa harga tanah tidak berjalan sejajar dengan nilai tukar dalam bentuk uang. Imbasnya, tidak sedikit anak muda yang emoh melanjutkan sektor pertanian yang ditekuni orangtuanya dan bukan mustahil, di masa depan, orang dengan mudah memperjual belikan tanah sebagai komoditas semata. 

Kedua, ideologi industrialisasi. Kebanyakan anak muda diindoktrinasi, terutama melalui media massa, bahwa masa depan yang lebih cerah hanya bisa dicapai melalui proses industrialisasi di pabrik seperti permesinan, profesi sebagai pejabat politik, bekerja di pasar jasa, dan bukannya dari sektor pertanian. 

Ketiga, mahalnya proses produksi. Mengolah pertanian itu tidak mudah karena dibutuhkan modal yang cukup, ketersediaan sarana yang cukup mahal harganya, dan kepastian mengenai sektor distribusi dan pemasaran yang tepat. Oleh karena itu, kaum muda yang tidak memiliki kemampuan dan potensi dalam bidang produksi pertanian, tentu akan mudah berpaling pada sektor lain yang lebih mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun