(Pentingnya Keraguan dalam Beriman)
Musuh iman bukanlah keraguan
melainkan pemberangusan keraguan. (John Davies)
Usai menjalani masa praktik atau lebih dikenal dengan sebutan "Tahun Orientasi Pastoral" (TOP), para frater memasuki masa probanis. Itulah masa di mana calon imam atau biarawan Katolik mempersiapkan diri sebelum mengikrarkan kaul kekal. Persiapan itu meliputi banyak faktor diantaranya kesiapan batin untu menerima atau menghadapi konsekuensi dari keputusan tersebut. Dalam situasi seperti itu, sangat manusiawi sekali jika terdapat keraguan dalam diri mengenai komitmen yang sudah dan yang akan ditetapkan. Di sini, keraguan adalah kata kunci. Bukankah kita tidak pernah tahu apakah kita sungguh melakukan hal yang benar ketika kita membuat keputusan-keputusan tersebut?
Pada umumnya, keraguan dalam kondisi di atas muncul karena dilatari oleh beberapa faktor antara lain: keraguan alamiah sebelum membuat keputusan, ragu karena terdapat terlalu banyak pertimbangan, ragu menentukan prioritas tentang apa yang paling penting, ragu dengan ketetapan yang sudah dibuat sebelumnya karena menemukan bahwa apa yang dialami dalam masa praktik sungguh berbeda dengan ideal yang dibayangkan selama ia di biara, dan seterusnya. Terhadap keraguan seperti itulah, seorang frater sebenarnya sedang berteologi. Imannya, atas cara tertentu, berupaya mencari pemahaman.
Keraguan Merupakan Bagian dari Iman
Mengerti status keraguan seseorang berarti membuka diri bagi kebenaran yang selalu tak rampung dipahami. Teolog Swiss, Hans Kung dalam "On Being a Christian", menulis, "Sebuah kebenaran yang mendalam, bagiku secara lahiriah tidak menentu, terancam oleh aneka keraguan, yang mengandaikan suatu komitmen sangat intens dari pihakku, dapat memiliki nilai kognitif yang jauh lebih tinggi daripada suatu kebenaran dangkalyang pasti---atau bahkan yang "niscaya pasti".Â
Itu sama dengan yang ditulis oleh teolog besar Jerman dari abad ke-20, Paul Tillich dalam sebuah buku klasik tentang iman, membuat suatu tindakan iman niscayamencakup keraguan karena melibatkan seluruh pribadi dalam satu pilihan eksistensial. Ini bukan keraguan permanen seperti dalam ilmu pasti, bukan juga keraguan yang mengarah pada skeptisisme. Keraguan jenis ini dipahami lebih sebagai sebuah upaya pencarian terus menerus, penundaan akan ketergesaan membuat keputusan, menerima yang tentatif, dan tidak mudah percaya pada sesuatu yang sudah mapan.
Syukurlah, hal menggembirakan dari tahapan formasi calon imam SVD di Ledalero adalah bahwa terdapat struktur pendidikan yang bagus. Dikatakan bagus karena untuk menjadi imam, seorang frater mesti mempelajari filsafat dan sebelum mendalami teologi, ia mesti menjalankan masa TOP.
Pertama, kuliah filsafat. Metafisika, epistemologi, logika, dan seterusnya merupakan disiplin ilmu yang "berbahaya" jika tidak didalami secara bijak. Saya katakan "berbahaya" karena hal yang diutamakan di dalamnya adalah mencari dan menemukan pendasaran yang sahih dan valid. Apa pun yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, ditolak atau diacuhkan. Konsekuensinya jelas, tidak ada hal di luar pemahaman. Itu biasa disebut dengan rasionalisme. Dengan kata lain, seorang rasionalis adalah dia yang berpendapat bahwa "melalui akal budi biasa" manusia "sanggup mencapai bahkan pengetahuan tentang kebenaran teologis dan spiritual".
Kedua, masa TOP. Usai mengenyam pendidikan filsafat, seorang frater melanjutkan jenjang formasi dengan menjalankan Tahun Orientasi Pastoral. Menariknya, di samping anjuran dari teman dan para formator, frater itu sendirilah yang mengajukan lamaran mengenai ke tempat mana ia ingin menjalankan TOP. Dengan menjalankan praktik itu, seorang frater diharapkan mampu menerapkan apa-apa yang sudah ia peroleh semasa kuliah. Di hadapan peluang untuk mengadakan dialog profetis, mengentaskan kemiskinan, memberdayakan umat, dan berbagai jenis kegiatan pastoral, seorang frater hendaknya menyadari posisinya sebagai calon imam sekaligus sarjana filsafat. Di situ, ia mesti menyadari kegamangan semisal: Apakah ia mesti bersikap kritis ketika menyaksikan penguasa yang belaku tidak adil terhadap masyarakat ataukah ia memilih diam hanya karena tidak ingin merusak hubungan baik yang sudah terjalin antara penguasa tersebut dan gereja lokal? Dalam pergumulan dengan fenomena yang dijumpainya itulah, seorang frater akhirnya memperteguh dan/atau sebaliknya meragukan komitmennya.
Tantangan lain yang dihadapi oleh seorang frater yakni adanya bahaya fideisme yang tumbuh subur dalam kehidupan harian umat. Fideisme, kata Douglas John Hall, adalah posisi yang didasarkan pada "pengandaian bahwa intelek manusia tidak mampu mencapai pengetahuan sejati tentang Allah". Tentang hal itu, Tertulianus pernah menulis, "tentu saja hal itu harus diimani karena tidak masuk akal". Kaum fideis bisa saja muncul justru dalam masyarakat paling sederhana. Hal itu dibuktikan ketika dalam pembahasan mengenai teologi, terdapat umat yang menjawab sengit, "pokoknya percaya saja. Jangan tanya banyak!" Di situ, seorang frater dihadapkan pada tantangan paling besar: membantu umat untuk mengakui adanya kebutuhan untuk berpikir melalui iman mereka dan tidak sekadar bergantung pada 'apa kata alkitab' atau 'apa kata paus'.
Ketiga, tugas yang tak pernah selesai. Dalam Fides et Ratio, Yohanes Paulus II mengutip St. Agustinus, "Beriman tidak lain kecuali berpikir dengan persetujuan. ...Orang-orang beriman adalah juga pemikir-pemikir: dalam beriman mereka berpikir dan dalam berpikir mereka beriman. ...Kalau iman tidak berpikir maka ia bukan apa-apa." Pernyataan bagus ini menunjukkan bahwa mesti ada keselarasan antara akal budi dan iman; dan keselarasan itu merupakan perjuangan dari waktu ke waktu seumur hidup. Â Â Â Â
Meragukan Berarti Berteologi
Teologi adalah iman yang mencari pemahaman. "Mencari" merupakan tindakan aktif, sebuah upaya untuk "masuk lebih dalam". Ini poin penting bagi para frater probanis sebelum menempuh pendidikan teologi di STFK Ledalero. Jika para frater melakukan teologi hanya untuk mendapat gelar, atau lulus ujian, atau sekadar memenuhi syarat pentahbisan maka apa yang dilakukan itu bukan teologi. Lebih penting lagi, seseorang tidak otomatis sudah "menyelesaikan" teologi manakala ia telah menamatkan pendidikan akademis jurusan teologi. Tidak sesederhana itu. Berteologi merupakan sebuah proyek berkanjang seumur hidup dan tidak mengenal kata selesai.
Menghadapi seorang frater yang masih ragu apakah mesti melanjutkan perjalanan panggilannya dan karena keraguan itu ia akhirnya mencoba untuk "tarik diri", formator perlu bersikap secara arif. Kalau ingin dibahasakan secara lain, seorang pastor paroki mesti bersikap secara bijak jika menemukan bahwa ada umat yang merasa ragu dengan apa yang ia imani dan mencoba pindah aliran kepercayaan (baca: agama). Keraguan seperti itu bukan tanpa sebab.Â
Secara positif, keraguan itu hendaknya dilihat sebagai bagian dari proses beriman. Mengenai keraguan, teolog Inggris, John Davies menjelaskan, "Musuh iman bukanlah keraguan melainkan pemberangusan keraguan". Meskipun sepintas pernyataan ini terdengar konyol atau bahkan radikal namun jika kita merenungkannya secara mendalam, terdapat sebuah kenyataan bahwa semua keputusan penting dalam hidup, entah menikah atau ditahbiskan, tidak pernah ada kepastian mutlak. Dikatakan demikian karena dengan ketidakpastian itulah, iman bertumbuh dan manusia berharap.
Iman itu bukan merupakan milik pribadi seseorang yang hanya disimpan di dalam hati, melainkan iman harus dinyatakan di muka umum, harus diakui, dan harus mewarnai seluruh hidup orang beriman. Seluruh hidup orang beriman harus menjadi suatu pernyataan iman. Lebih dari itu, pernyataan iman tersebut mesti bersifat misioner, dinyatakan kepada mereka yang belum mengenal Kristus.
Hal penting lainnya adalah bahwa iman itu belum merupakan suatu kepastian. Itulah alasan utama mengapa muncul keraguan. Tetapi, patut diingat bahwa karena ketidakpastian tersebut, orang percaya memiliki pengharapan.
Menjadi Imam
Ketika duduk di bangku SMA Seminari San Dominggo Hokeng, seorang guru yang juga imam diosesan Keuskupan Larantuka, ketika sedang mengajar, mengatakan bahwa menjadi imam itu mudah tetapi hidup sebagaimana layaknya seorang imam, itulah yang paling sulit. Kesan pertama yang muncul setelah mendengar pernyataan tersebut yakni:
Pertama, menjadi imam itu mudah. Artinya, jika Anda memenuhi kriteria menjadi seorang imam, Anda menjadi imam. Dengan mematuhi semua aturan, menjauhi segala larangan, dan loyal pada kesepakatan umum, Anda "pantas" menjadi imam. Di sini, tekanan utama terdapat pada konsistensi seorang calon imam untuk menjalani semua ketentuan di atas. Artinya, jika ketentuan itu dilanggar, otomatis ia gagal. Hal ini dikategorikan sebagai kriteria sistematis. Seperti jika Anda rajin membaca dan memahami rumus berhitung, nilai matematikamu tentu akan bagus. Tidak peduli apakah matapelajaran itu Anda sukai ataukah tidak, dan terlepas dari apakah motivasi Anda belajar itu karena desakan guru, Anda berpeluang memiliki nilai bagus.
Kedua, hidup sebagaimana layaknya seorang imam. Ada ideal atau cita-cita yang ingin dicapai: sebagaimana layaknya seorang imam (baca: Yesus Kristus sebagai Imam Agung). Itu berarti, setelah menjadi imam, tidak otomatis seseorang telah hidup sebagaimana layaknya seorang imam. Bahkan, boleh jadi ada umat di luar lingkup hierarkis yang hidupnya justru sebagaimana layaknya seorang imam. Ini berkaitan dengan spiritualitas dan karena itu jangkauannya jauh lebih mendalam daripada sekadar mengenakan jubah, memimpin perayaan Ekaristi, dan memberikan sakramen. Meskipun demikian, patut diingat, selalu ada hal yang tidak rampung.Â
Seorang imam tidak benar-benar menjadi seorang imam. Secara sederhana dapat dibahasakan begini: Anda menyadari betapa dirimu belum menjadi imam karena konsep imamat yang melekat dalam dirimu merupakan sebuah proyeksi tak berkesudahan. Selalu ada hal yang tidak lengkap, berubah-ubah, dan dengan perasaan bahwa masih ada yang kurang. Terhadap segala sesuatu yang kurang itulah, muncul keraguan. Jadi, hanya imam yang "benar-benar imam"-lah yang sanggup merasa ragu. Ini bisa disebut sebagai keraguan eksistensial yakni keraguan yang muncul karena menyadari keterbatasan diri dan lingkungan sekitar di hadapan ketakterbatasan Yang Ilahi. Dengan adanya keraguan ini, iman seseorang didewasakan sehingga ketika ditahbiskan menjadi imam misalnya, ia senantiasa berharap total dan bersikap rendah hati kepada Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H