Kedua, hidup sebagaimana layaknya seorang imam. Ada ideal atau cita-cita yang ingin dicapai: sebagaimana layaknya seorang imam (baca: Yesus Kristus sebagai Imam Agung). Itu berarti, setelah menjadi imam, tidak otomatis seseorang telah hidup sebagaimana layaknya seorang imam. Bahkan, boleh jadi ada umat di luar lingkup hierarkis yang hidupnya justru sebagaimana layaknya seorang imam. Ini berkaitan dengan spiritualitas dan karena itu jangkauannya jauh lebih mendalam daripada sekadar mengenakan jubah, memimpin perayaan Ekaristi, dan memberikan sakramen. Meskipun demikian, patut diingat, selalu ada hal yang tidak rampung.Â
Seorang imam tidak benar-benar menjadi seorang imam. Secara sederhana dapat dibahasakan begini: Anda menyadari betapa dirimu belum menjadi imam karena konsep imamat yang melekat dalam dirimu merupakan sebuah proyeksi tak berkesudahan. Selalu ada hal yang tidak lengkap, berubah-ubah, dan dengan perasaan bahwa masih ada yang kurang. Terhadap segala sesuatu yang kurang itulah, muncul keraguan. Jadi, hanya imam yang "benar-benar imam"-lah yang sanggup merasa ragu. Ini bisa disebut sebagai keraguan eksistensial yakni keraguan yang muncul karena menyadari keterbatasan diri dan lingkungan sekitar di hadapan ketakterbatasan Yang Ilahi. Dengan adanya keraguan ini, iman seseorang didewasakan sehingga ketika ditahbiskan menjadi imam misalnya, ia senantiasa berharap total dan bersikap rendah hati kepada Allah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI