Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya Ragu Menjadi Imam

18 September 2017   19:12 Diperbarui: 18 September 2017   19:24 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tantangan lain yang dihadapi oleh seorang frater yakni adanya bahaya fideisme yang tumbuh subur dalam kehidupan harian umat. Fideisme, kata Douglas John Hall, adalah posisi yang didasarkan pada "pengandaian bahwa intelek manusia tidak mampu mencapai pengetahuan sejati tentang Allah". Tentang hal itu, Tertulianus pernah menulis, "tentu saja hal itu harus diimani karena tidak masuk akal". Kaum fideis bisa saja muncul justru dalam masyarakat paling sederhana. Hal itu dibuktikan ketika dalam pembahasan mengenai teologi, terdapat umat yang menjawab sengit, "pokoknya percaya saja. Jangan tanya banyak!" Di situ, seorang frater dihadapkan pada tantangan paling besar: membantu umat untuk mengakui adanya kebutuhan untuk berpikir melalui iman mereka dan tidak sekadar bergantung pada 'apa kata alkitab' atau 'apa kata paus'.

Ketiga, tugas yang tak pernah selesai. Dalam Fides et Ratio, Yohanes Paulus II mengutip St. Agustinus, "Beriman tidak lain kecuali berpikir dengan persetujuan. ...Orang-orang beriman adalah juga pemikir-pemikir: dalam beriman mereka berpikir dan dalam berpikir mereka beriman. ...Kalau iman tidak berpikir maka ia bukan apa-apa." Pernyataan bagus ini menunjukkan bahwa mesti ada keselarasan antara akal budi dan iman; dan keselarasan itu merupakan perjuangan dari waktu ke waktu seumur hidup.        

Meragukan Berarti Berteologi

Teologi adalah iman yang mencari pemahaman. "Mencari" merupakan tindakan aktif, sebuah upaya untuk "masuk lebih dalam". Ini poin penting bagi para frater probanis sebelum menempuh pendidikan teologi di STFK Ledalero. Jika para frater melakukan teologi hanya untuk mendapat gelar, atau lulus ujian, atau sekadar memenuhi syarat pentahbisan maka apa yang dilakukan itu bukan teologi. Lebih penting lagi, seseorang tidak otomatis sudah "menyelesaikan" teologi manakala ia telah menamatkan pendidikan akademis jurusan teologi. Tidak sesederhana itu. Berteologi merupakan sebuah proyek berkanjang seumur hidup dan tidak mengenal kata selesai.

Menghadapi seorang frater yang masih ragu apakah mesti melanjutkan perjalanan panggilannya dan karena keraguan itu ia akhirnya mencoba untuk "tarik diri", formator perlu bersikap secara arif. Kalau ingin dibahasakan secara lain, seorang pastor paroki mesti bersikap secara bijak jika menemukan bahwa ada umat yang merasa ragu dengan apa yang ia imani dan mencoba pindah aliran kepercayaan (baca: agama). Keraguan seperti itu bukan tanpa sebab. 

Secara positif, keraguan itu hendaknya dilihat sebagai bagian dari proses beriman. Mengenai keraguan, teolog Inggris, John Davies menjelaskan, "Musuh iman bukanlah keraguan melainkan pemberangusan keraguan". Meskipun sepintas pernyataan ini terdengar konyol atau bahkan radikal namun jika kita merenungkannya secara mendalam, terdapat sebuah kenyataan bahwa semua keputusan penting dalam hidup, entah menikah atau ditahbiskan, tidak pernah ada kepastian mutlak. Dikatakan demikian karena dengan ketidakpastian itulah, iman bertumbuh dan manusia berharap.

Iman itu bukan merupakan milik pribadi seseorang yang hanya disimpan di dalam hati, melainkan iman harus dinyatakan di muka umum, harus diakui, dan harus mewarnai seluruh hidup orang beriman. Seluruh hidup orang beriman harus menjadi suatu pernyataan iman. Lebih dari itu, pernyataan iman tersebut mesti bersifat misioner, dinyatakan kepada mereka yang belum mengenal Kristus.

Hal penting lainnya adalah bahwa iman itu belum merupakan suatu kepastian. Itulah alasan utama mengapa muncul keraguan. Tetapi, patut diingat bahwa karena ketidakpastian tersebut, orang percaya memiliki pengharapan.

Menjadi Imam

Ketika duduk di bangku SMA Seminari San Dominggo Hokeng, seorang guru yang juga imam diosesan Keuskupan Larantuka, ketika sedang mengajar, mengatakan bahwa menjadi imam itu mudah tetapi hidup sebagaimana layaknya seorang imam, itulah yang paling sulit. Kesan pertama yang muncul setelah mendengar pernyataan tersebut yakni:

Pertama, menjadi imam itu mudah. Artinya, jika Anda memenuhi kriteria menjadi seorang imam, Anda menjadi imam. Dengan mematuhi semua aturan, menjauhi segala larangan, dan loyal pada kesepakatan umum, Anda "pantas" menjadi imam. Di sini, tekanan utama terdapat pada konsistensi seorang calon imam untuk menjalani semua ketentuan di atas. Artinya, jika ketentuan itu dilanggar, otomatis ia gagal. Hal ini dikategorikan sebagai kriteria sistematis. Seperti jika Anda rajin membaca dan memahami rumus berhitung, nilai matematikamu tentu akan bagus. Tidak peduli apakah matapelajaran itu Anda sukai ataukah tidak, dan terlepas dari apakah motivasi Anda belajar itu karena desakan guru, Anda berpeluang memiliki nilai bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun