Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berhentilah Makan Sebelum Kenyang!

11 Juli 2017   00:52 Diperbarui: 11 Juli 2017   03:36 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas, selaras dengan apa yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, "Pada akhirnya ialah bagaimana hidup dengan cukup informasi", Catatan Pinggir03, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991),  p. 398. Jawaban di atas menjadi semacam antitesis ketika berhadapan dengan karakter fatalis dan nihilis, yang pada gilirannya merupakan sebuah pilihan sadar yang diambil Baudrillard. Dalam esainya, On Nihilism(1981), yang pertama kali ditulis sebagai bahan kuliah, Baudrillard menegaskan sikap fatalis dan nihilisnya,

If being nihilist is to privilege this point of inertia and the analysis of this irreversibility of systems to the point of no return, then I am a nihilist. If being nihilist is to be obsessed with the mode of disappearance, and no longer with the mode of production, then I am a nihilist (Baudrillard, 1984: 39).

(Jika menjadi nihilis berarti menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap sikap ketakberdayaan dan analisa sistem yang tak ada jalan kembalinya, maka saya adalah seorang nihilis. Jika menjadi nihilis berarti menjadi orang yang terobsesi dengan cara-cara pelenyapan dan tidak lagi dengan cara-cara produksi, maka saya adalah seorang nihilis).

Rumusan Baudillard di atas beralasan ketika kehidupan manusia abad ini ditandai dengan saintisme, menjadikan manusia sebagai produk pabrik, yang oleh Hemingway disebut "manusia yang pergi di jalan gelap tanpa tujuan dan tanpa ke mana-mana," sehingga "manusia akan terbuang percuma," kata George Orwell. Sebagaimana Nietzsche lewat Zarathustra, atau manusia ala Sisyphusnya Albert Camus, atau oleh Goethe dalam Faustnya, memberikan sampel menarik dalam kebingungan, ketololan arah tujuan hidup yang dilampaui, menggambarkan perburuan manusia akan kehidupan yang menyenangkan dan untuk mencari kepuasan hedonistis. 

Yang menentukan eksistensi seseorang bukan lagi subjektivitas (cogito ergo sum: saya berpikir, karenanya saya ada), melainkan pada kemampuan dan hasrat kekal seseorang dalam melakukan tindakan konsumsi (emo ergo sum: saya berbelanja maka saya ada). Seseorang mengkonsumsi bukan karena kebutuhan (needs) tetapi nilai tanda dari objek konsumsi. Tanda-tanda pada objek konsumsi cenderung digunakan untuk menandai relasi-relasi sosial sebab melaluinya, terdapat peluang untuk menemukan prestise, status, dan simbol-simbol sosial bagi konsumer.

Jean Baudrillard, salah seorang pengamat dan kritisi masyarakat modern paling radikal, membahas tema di atas dengan sangat menarik. Dalam The Mirror of Production dan For A Critique of the Political Economy of the Sign, Baudrillard mengkritik prinsip nilai guna dan nilai tukar Marx yang dianggapnya tidak relevan lagi digunakan sebagai kerangka memandang realitas masyarakat dewasa ini. Tanggapan Baudrillard terhadap Marx adalah bahwa alienasi dan dehumanisasi dalam proses produksi dapat diatasi karena proses tersebut tidak sepenuhnya mengandalkan tenaga manusia tetapi komputerisasi. Alienasi tetap ada tetapi alienasi nilai tanda dari nilai guna. 

Selain itu, jika Marx mempersoalkan masalah produksi, Baudrillard sebaliknya, masalah konsumsi. Bagi Baudrillard, Amerika adalah rumah  masyarakat konsumen (sebuah paradigma bagi masyarakat dunia seluruhnya). Dia berusaha mengetahui dan mengenal nilai yang diberikan masyarakat kota terhadap benda-benda yang digunakannya sambil bersikap skeptis terhadap definisi fungsional terhadap benda-benda yang diberikan oleh masyarakat. Dan pada akhirnya ia menemukan bahwa untuk masyarakat kota, makna sebuah benda tidak ditentukan oleh kegunaannya untuk dirinya. Sebuah objek konsumsi tidak lagi ditentukan oleh nilai tukar (exchange value), tetapi oleh nilai tanda (sign value).

Dalam masyarakat konsumer, proses produksi komoditas tidak berhenti mengalir. Oleh karena itu, untuk mengatasi kemungkinan terjadinya penimbunan komoditas, diciptakanlah sebuah sistem bujuk rayu (seduksi) melalui iklan dan teknologi informasi serta media massa. Bagi Baudrillard, penciptaan diksi dan citra melalui teknologi tersebut pada gilirannnya memberikan identitas kepada konsumen dan membuat ia berbeda atau merasa satu dengan orang lain. 

Dengan demikian, masyarakat tercabut dari situasi sosial/asosial. Artinya, masyarakat yang jauh dari faktor-faktor pembentukan sosial seperti etnisitas dan kelas sosial tetapi direkonstruksi melalui produk atau iklan. Anggota masyarakat yang demikian selalu merasa tidak bebas karena setiap saat dipaksa dan didesak untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok-kelompok tertentu. Desakan untuk berbeda inilah yang disebut kebutuhan, bukan nilai guna dari komoditas. 

Jadi, yang dikonsumsi bukan lagi objek tetapi lebih pada tanda, pesan, dan citra. Di sini, terdapat pergeseran dari logika kepuasan individu menuju pada logika sosial perbedaan. Pada yang pertama, orang mencari objek untuk memenuhi kepuasannya. Sedangkan pada yang kedua, orang mencari makna dan tanda prestisius dari objek seperti merk, jenis, model, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam masyarakat konsumer, sesuatu diperjual-belikan. Tidak hanya semua tanda komoditas, tetapi semua tanda adalah komoditas. Semua obyek, pelayanan, kebudayaan, pengetahuan, serpihan jagung, tubuh manusia, tindakan seks adalah tanda dan semuanya diperdagangkan.

Iklan sebagai medium canggih dalam mempromosikan objek konsumsi (komoditas) mempunyai logika tersendiri. Di dalam budaya tontonan seperti itu, masyarakat diseret untuk mengkonsumsi aliran pelbagai citra tanpa peluang ke arah penilaian moral. Dengan demikian, yang tersisa hanyalah gerombolan massa, mayoritas yang diam (silent majority), siap melahap kerumunan tanda tanpa akhir. Pada saat yang sama manusia dihadapkan pada timbunan informasi dengan makna yang justru semakin susut dan membingungkan. 

Tidak lagi ada batasan yang jelas antara dunia nyata dengan yang imitasi atau tiruan. Bahkan terdapat kecenderungan dalam diri masyarakat untuk lebih mempercayai realitas tiruan tersebut karena ia tampak lebih nyata dari realitas sebenarnya. Inilah yang disebut dengan hiperealitas, salinan dari realitas, yang digandakan melalui teknik reproduksi (disebut juga sebagai simulakrum realitas). Baudrillard membedakan simulakra dalam tiga tingkatan (pada tingkat pertama, bahasa, tanda, dan objek adalah representasi dari realitas alamiah serentak berciri transendental. Tingkat kedua, berkat teknologi reproduksi, objek tiruan tidak lagi mempunya jarak dengan objek asli. Dan pada tingkat ketiga, simulakra tidak lagi mempunyai representasi dengan realitas, yang oleh Baudrillard disebut sebagai "simulasi").

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun