Mohon tunggu...
Hanry Harlen
Hanry Harlen Mohon Tunggu... Petani - Agnostik

Hanya orang biasa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola, Identitas Diri, dan Rasisme

5 Januari 2019   08:30 Diperbarui: 2 September 2019   15:52 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: channel4.com

Tahun 2018 yang telah kita lewati kemarin dapat dikatakan sebagai salah satu tahun sepakbola yang cukup unik. Mengapa? Sebab cukup banyak hal unik yang terjadi dalam dunia persepakbolaan, baik yang menggembirakan maupun menyedihkan. 

Seperti Prancis Bersama tim "African majority" nya yang berhasil menjuarai piala dunia, kebangkitan tim-tim kecil seperti Islandia dan Kroasia, hingga kasus mafia sepakbola Indonesia yang sedang hangat diperbincangkan saat ini, bahkan hingga memasuki tahun yang baru.

Hal unik lainnya yang terjadi dan cukup menarik perhatian jagat sepakbola dunia ialah isu rasisme yang kembali mencuat, bahkan meningkat di tahun 2018 kemarin. Sebut saja masalah sebutan "imigran" yang bernuansa hinaan kepada Mezut Ozil sebagai respon kekecewaan publik sepakbola Jerman yang melihat timnya "melempem" di piala dunia 2018 atau kasus terbaru yang menjerat Kalidou Koulibaly. 

Pemain Perancis keturunan Senegal yang dihina memakai sebutan dan gestur "kera" oleh supporter Inter Milan. Kedua kasus diatas memperlihatkan bahwa sepakbola belum terlepas dari isu rasisme, yang telah menjadi perhatian utama di jagat sepakbola bahkan kemanusiaan dewasa ini.

Untuk diketahui masalah rasisme dalam sepakbola bukan hanya berkaitan dengan masalah ras saja, melainkan juga agama, suku, etnis, bahkan identitas politik dalam lapangan sepakbola. 

Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai masalah internal sepakbola, melainkan erat kaitannya dengan isu-isu global lainnya di luar lapangan seperti politik internasional, budaya, ekonomi, bahkan permasalahan identitas. 

Oleh karena itu, penting rasanya untuk melihat hal ini dalam dua lingkaran maslah yang paling mempengaruhi, yaitu antara masalah fanatisme sepakbola dan masalah sosial manusia di dalam maupun luar lapangan.

FANATISME SEPAKBOLA: IKATAN SOSIAL YANG BERUJUNG EKSKLUSI SOSIAL.

Harus diakui fanatisme sepakbola ialah salah satu ikatan sosial paling kuat saat ini. Ikatan sosial tersebut mampu melampaui sekat-sekat identitas dan mampu meleburkan banyak hal dalam satu ikatan psikologis antar manusia, maupun ikatan sosial antar sub-kelompok dalam satu bingkai besar bernama "supporter sepakbola". 

Ikatan ini pada beberapa hal bisa dikatakan baik, sebab banyak hal positif yang dapat digali dan diperkuat seperti meleburkan konflik sosial, rasa saling memiliki berbasis tim yang didukung, dll.

Tetapi harus diingat pula bahwa dengan kuatnya identitas sosial berbasis supporter sepakbola ini, akan melahirkan suatu identitas baru berbasis tim sepakbola yang didukung. Dalam kelompok yang umumnya fanatik ini, eksklusivitas antar kelompok kembali muncul, terutama kepada pendukung tim yang memiliki "rival abadi" seperti dua tim se-kota, sejarah pertemuan yang panas, dll.

Ikatan ini dapat dipahami sebagai bentuk mengekspresikan ego pribadi secara Bersama (common egoism) dalam suatu kelompok yang memiliki kesamaan identifikasi diri. Hal ini biasanya berujung pada hilangnya batasan antara diri (self) dan komunitas (community) sehingga identifikasi akhir yang muncul adalah menganggap diri adalah komunitas, dan komunitas adalah diri. 

Kedua hal ini akan saling berkaitan sehingga melahirkan suatu bentuk "paham eksklusivisme" dan menganggap supporter pendukung tim lain adalah sesuatu yang "sama sekali berbeda", meskipun jika ditelisik dengan sadar, banyak identitas bersama yang dimiliki oleh salah satu supporter tim A dengan tim B, kesamaan agama, kesamaan etnis, hubungan darah, dll.

Hal inilah yang lazim kita lihat dalam fanatisme sepakbola masa kini, seperti rival sekota antara River Plate dan Boca juniors (Buenos Aires, Argentina), atau AC Milan dan Inter Milan (Milan, Italia) yang notabene adalah tim "kakak-adik se-kota". 

Sederhananya, proses peleburan identitas pribadi ke dalam identitas Bersama sebagai supporter tim sepakbola, pada akhirnya akan meng-kutub-kan manusia dan/atau kelompok tertentu ke dalam identitas baru yang ekskusif, sehingga menjadi pintu masuk terhadap tindakan-tindakan berbau rasis, diskriminasi, stigmatisasi, dll.

RASISME DI LAPANGAN HIJAU: ANTARA FANATISME, PRIMORDIALISME DAN NARASI TUNGGAL BERBASIS STIGMA DISKRIMINATIF

Rasisme berbasis fanatisme sepakbola, tidak bisa begitu saja terjadi tanpa melihat permasalahan lain saat ini, antara lain pola pikir primordialisme dan narasi tunggal berbasis stigma diskriminatif. 

Kedua pola pikir ini sangat berkaitan, karena di satu sisi, primordialisme menganggap identitas adalah suatu hal yang kaku (tidak gradatif), dan di sisi lain, identitas tersebut berkaitan erat dengan narasi-narasi sepihak mengenai "apa, siapa dan bagaimana identitas itu". 

Misalnya, identitas kelompok imigran (afrika atau timur tengah) yang umumnya dinarasikan secara sepihak sebagai pembawa masalah, manusia tak beradab (bahkan hewan), teroris, dll.

Hal inilah yang kita lihat secara nyata belakangan ini, tindakan rasis kepada Mezut Ozil (Arsenal, Jerman), Raheem Sterling (Manchester city, Inggris), atau Kalidou Koulibaly (Napoli, Prancis/Senegal) dapat dipakai sebagai contohnya Hal ini tentu cukup memprihatinkan, mengingat itu bukanlah hakekat sepakbola sebenarnya, melainkan sebuah permasalahan kemanusiaan klasik yang (dipaksa) masuk ke dalam lapangan sepakbola.

Sampai disini, beberapa hal menjadi cukup jelas, bahwa pertama sepakbola selalu bisa menjadi cerminan situasi global di setiap zaman, kedua fanatisme, narasi tunggal bernuansa diskriminatif serta pola pikir primordialisme dapat dikatakan adalah kunci dari setiap tindakan rasis dalam lapangan. 

Ketiga ketidak-pahaman supporter (bahkan juga pemain) bahwa sepakbola kontemporer saat ini adalah sepakbola yang "sangat postmodern" sebab tidak ada batasan antar identitas, baik secara agama, ras, golongan, maupun afiliasi tim sepakbola sebab segalanya akan cepat berubah seiring perkembangan industrialisasi sepakbola yang kian menggila.

Oleh karena itu, menyikapi isu dan tindakan rasis dan diskriminatif tidak bisa dilakukan secara parsial, seperti oleh kampanye persuasif organisasi sepakbola dunia ataupun oleh pemain saja, tetapi oleh seluruh pihak, mengingat isu ini bukan isu sepakbola saja melainkan berkaitan erat dengan permasalahan sosial global saat ini. 

Fanatisme sepakbola harus tetap dipelihara sebab fanatisme itu adalah salah satu jantung sepakbola, tetapi juga harus diingat bahwa fanatisme yang mengarah pada eksklusivitas yang yang kaku bahkan diskriminatif akan menghilangkan fluiditas sepakbola sebagai olahraga yang mempersatukan perbedaan dalam lapangan hijau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun