Ikatan ini dapat dipahami sebagai bentuk mengekspresikan ego pribadi secara Bersama (common egoism) dalam suatu kelompok yang memiliki kesamaan identifikasi diri. Hal ini biasanya berujung pada hilangnya batasan antara diri (self) dan komunitas (community) sehingga identifikasi akhir yang muncul adalah menganggap diri adalah komunitas, dan komunitas adalah diri.Â
Kedua hal ini akan saling berkaitan sehingga melahirkan suatu bentuk "paham eksklusivisme" dan menganggap supporter pendukung tim lain adalah sesuatu yang "sama sekali berbeda", meskipun jika ditelisik dengan sadar, banyak identitas bersama yang dimiliki oleh salah satu supporter tim A dengan tim B, kesamaan agama, kesamaan etnis, hubungan darah, dll.
Hal inilah yang lazim kita lihat dalam fanatisme sepakbola masa kini, seperti rival sekota antara River Plate dan Boca juniors (Buenos Aires, Argentina), atau AC Milan dan Inter Milan (Milan, Italia) yang notabene adalah tim "kakak-adik se-kota".Â
Sederhananya, proses peleburan identitas pribadi ke dalam identitas Bersama sebagai supporter tim sepakbola, pada akhirnya akan meng-kutub-kan manusia dan/atau kelompok tertentu ke dalam identitas baru yang ekskusif, sehingga menjadi pintu masuk terhadap tindakan-tindakan berbau rasis, diskriminasi, stigmatisasi, dll.
RASISME DI LAPANGAN HIJAU: ANTARA FANATISME, PRIMORDIALISME DAN NARASI TUNGGAL BERBASIS STIGMA DISKRIMINATIF
Rasisme berbasis fanatisme sepakbola, tidak bisa begitu saja terjadi tanpa melihat permasalahan lain saat ini, antara lain pola pikir primordialisme dan narasi tunggal berbasis stigma diskriminatif.Â
Kedua pola pikir ini sangat berkaitan, karena di satu sisi, primordialisme menganggap identitas adalah suatu hal yang kaku (tidak gradatif), dan di sisi lain, identitas tersebut berkaitan erat dengan narasi-narasi sepihak mengenai "apa, siapa dan bagaimana identitas itu".Â
Misalnya, identitas kelompok imigran (afrika atau timur tengah) yang umumnya dinarasikan secara sepihak sebagai pembawa masalah, manusia tak beradab (bahkan hewan), teroris, dll.
Hal inilah yang kita lihat secara nyata belakangan ini, tindakan rasis kepada Mezut Ozil (Arsenal, Jerman), Raheem Sterling (Manchester city, Inggris), atau Kalidou Koulibaly (Napoli, Prancis/Senegal) dapat dipakai sebagai contohnya Hal ini tentu cukup memprihatinkan, mengingat itu bukanlah hakekat sepakbola sebenarnya, melainkan sebuah permasalahan kemanusiaan klasik yang (dipaksa) masuk ke dalam lapangan sepakbola.
Sampai disini, beberapa hal menjadi cukup jelas, bahwa pertama sepakbola selalu bisa menjadi cerminan situasi global di setiap zaman, kedua fanatisme, narasi tunggal bernuansa diskriminatif serta pola pikir primordialisme dapat dikatakan adalah kunci dari setiap tindakan rasis dalam lapangan.Â
Ketiga ketidak-pahaman supporter (bahkan juga pemain) bahwa sepakbola kontemporer saat ini adalah sepakbola yang "sangat postmodern" sebab tidak ada batasan antar identitas, baik secara agama, ras, golongan, maupun afiliasi tim sepakbola sebab segalanya akan cepat berubah seiring perkembangan industrialisasi sepakbola yang kian menggila.