Penjelasan sebelumnya agaknya cukup relevan sebagai kritik terhadap polarisasi identitas yang menjadi fenomena baru saat ini. Banyak contoh yang bisa kita lihat, bahwa polarisasi identitas merupakan suatu "kemunduran" bagi masyarakat dalam berkebudayaan. Polarisasi pilihan politik, polarisasi identitas agama, etnik, atau bahkan klub sepakbola misalnya, menujukkan bahwa mayoritas manusia Indonesia belum dewasa dalam memahami identitas diri mereka sendiri.
Apa yang harus disadari sekarang ialah bahwa dalam konteks sosial, identitas memang merupakan hakekat manusia untuk berkelompok, tetapi secara personal, setiap orang pasti akan berbagi identitas yang sama. Misalnya, agama bisa berbeda, tetapi bisa saja berasal dari daerah yang sama. Pilihan politik bisa saja berbeda tetapi bisa saja berbagi hobi yang sama. Hal inilah yang kadang menjadi blur dalam konteks tertentu, atau bisa saja dikaburkan demi kepentingan tertentu.
Oleh karena itu, memahami bahwa identitas ialah bukanlah sebuah definisi yang statis merupakan sebuah keharusan dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragam ini. Akan ada saatnya setiap orang akan saling berbagi identitas yang sama, meski saat ini mereka saling bertentangan dalam identitas mereka, begitu jug sebaliknya. Lebih dari itu, identitas akan selalu bergerak mengikuti dinamika sosial dan personal setiap orang, sehingga mendefinisikan "diri" sebagai identitas tertentu dan mem-paten-kannya ialah wujud mematikan kemanusiaan dalam dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H