Polarisasi identitas dalam konteks masyarakat Indonesia dewasa ini merupakan fenomena yang cukup menghawatirkan. Kekhawatiran ini sangat beralasan sebab pada aspek aspek tertentu, polarisasi ini akan berujung pada konflik antar identitas, baik dalam wacana, kata maupun tindakan. Pertanyaannya sekarang ialah, apakah identitas harus dipertentangkan? Dan bagaimana seharusnya identitas itu dipahami dalam konteks Indonesia yang beragam ini?
APA ITU IDENTITAS?
Secara etimologi, kata identitas berasal dari kata identity (Inggris) yang memiliki nuansa kata yang sama dengan "identification". Kata "identification" atau identifikasi sendiri merupakan kata yang bermakna "mencari tahu" sehingga jika ditarik maknanya, kata identitas ialah upaya identifikasi diri, atau "mencari tahu" diri.
Dalam sejarah perkembangan ilmu sosial, sudah cukup banyak ahli yang berbicara mengenai identitas dalam basis keilmuannya masing-masing. Turner dan Oakes (1986) melihat identitas sebagai upaya identifikasi diri dalam ruang ruang sosial masyarakat, yang hasilnya ialah sebuah upaya mengafiliasi diri pada ketegori sosial tertentu. Di sisi lain, Erikson (1980) melihat identitas sebagai upaya untuk mencari ke-khas-an diri dalam ruang ruang sosial dalam masyarakat, yang hasilnya ialah definisi diri dalam upaya mewujudkan eksistensi personal dalam ruang sosial.
Dua pandangan tersebut mewakili dua hal, yaitu identitas dalam perannya sebagai afiliasi sosial (mengidentifikasi kesamaan dengan yang lain), dan sebagai perwujudan eksistensi diri (identifikasi jati diri atau "selfness" dalam ruang sosial). Sederhananya, identitas ialah wujud hakekat manusia sebagai makhluk sosial, tetapi juga makhluk individual.
Satu hal penting yang bisa dilihat ialah bahwa identitas sangat terikat dengan kehidupan personal dan sosial dalam masyarakat, sehingga identitas otomatis akan bergerak mengikuti fenomena sosial, yang juga dipengaruhi oleh "pergulatan" wacana setiap person yang ada dalam masyarakat. Ini berarti satu hal, bahwa identitas bukanlah sesuatu yang abadi, tetapi selalu bergerak mengikuti dinamika personal dan sosial yang ada.
APAKAH IDENTITAS HARUS DIPERTENTANGKAN?
Ada dua pendekatan untuk menjawab pertanyaan ini. Yang pertama, mengkonstruksi identitas pada hakekatnya ialah untuk membuat Batasan dengan kategori-kategori tertentu, yang bertujuan untuk "membatasi" seseorang atau sekelompok orang dengan mereka yang disebut sebagai "yang lain". Hal ini berarti, identitas pada akhirnya akan mengarah kepada "pertentangan" karena penegasan terhadap batas-batas sosial semakin kuat dengan kategori yang terkandung dalam identitas tersebut.
Tetapi, manusia dan segala kompleksitasnya tidak bisa disederhanakan ke dalam kategori-kategori sosial yang dikonstruksi sebagai identitas tersebut. Inilah pendekatan kedua tersebut, bahwa jika melihat Identitas sebagai representasi sosial, maka representasi itu hanya akan menjadi sesuatu yang "palsu" sebab hanya mampu membingkai sebagian kecil dari fluiditas kehidupan dan dinamika manusia sebagai makhluk sosial dan individual di waktu yang sama.
Sederhananya, mempertentangkan identitas ialah wujud menyederhanakan kompleksitas manusia dalam dinamika sosial dan individual ke dalam dua zona "hutam-putih" yang palsu. Jika diandaikan identitas sebagai warna, maka Manusia ialah spektrum warna yang tidak memiliki Batasan jelas, sehingga mengidentifikasi manusia dengan satu "warna" dan mempertentangkannya dengan "warna" lain ialah sesuatu yang "membunuh" kemanusiaan itu sendiri. Identitas adalah keberagaman yang bercampur aduk dalam diri manusia baik secara personal maupun sosial, yang selalu bergerak mengikuti dinamika internal dan eksternal manusia tersebut.
INDONESIA DAN POLARISASI IDENTITAS, SEBUAH KRITIK
Penjelasan sebelumnya agaknya cukup relevan sebagai kritik terhadap polarisasi identitas yang menjadi fenomena baru saat ini. Banyak contoh yang bisa kita lihat, bahwa polarisasi identitas merupakan suatu "kemunduran" bagi masyarakat dalam berkebudayaan. Polarisasi pilihan politik, polarisasi identitas agama, etnik, atau bahkan klub sepakbola misalnya, menujukkan bahwa mayoritas manusia Indonesia belum dewasa dalam memahami identitas diri mereka sendiri.
Apa yang harus disadari sekarang ialah bahwa dalam konteks sosial, identitas memang merupakan hakekat manusia untuk berkelompok, tetapi secara personal, setiap orang pasti akan berbagi identitas yang sama. Misalnya, agama bisa berbeda, tetapi bisa saja berasal dari daerah yang sama. Pilihan politik bisa saja berbeda tetapi bisa saja berbagi hobi yang sama. Hal inilah yang kadang menjadi blur dalam konteks tertentu, atau bisa saja dikaburkan demi kepentingan tertentu.
Oleh karena itu, memahami bahwa identitas ialah bukanlah sebuah definisi yang statis merupakan sebuah keharusan dalam konteks masyarakat Indonesia yang beragam ini. Akan ada saatnya setiap orang akan saling berbagi identitas yang sama, meski saat ini mereka saling bertentangan dalam identitas mereka, begitu jug sebaliknya. Lebih dari itu, identitas akan selalu bergerak mengikuti dinamika sosial dan personal setiap orang, sehingga mendefinisikan "diri" sebagai identitas tertentu dan mem-paten-kannya ialah wujud mematikan kemanusiaan dalam dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H