Mohon tunggu...
Hanry Harlen
Hanry Harlen Mohon Tunggu... Petani - Agnostik

Hanya orang biasa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Identitas Agama Menjadi Komoditas Berita yang "Laris"?

9 Oktober 2018   13:15 Diperbarui: 9 Oktober 2018   13:56 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.aceh.tribunnews.com

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA FENOMENA PUBLIC PIETY DAN KAPITALISASI BERITA DI INDONESIA

Beberapa hari lalu, media di Indonesia, terutama media online seakan booming dengan pemberitaan mengenai Miftahul Jannah, salah satu atlet judo Indonesia di ajang Asian Paragames yang di diskualifikasi karena menolak melepas hijab pada pertandingan Judo kelas wanita di ajang tersebut. Dalam pemberitaan yang beragam tersebut, ada satu hal yang menjadi inti pemberitaan, yaitu hijab dan diskualifikasi.

Hal ini tentu akan menarik banyak perhatian masyarakat, terutama karena berkaitan dengan identitas keagamaan di ruang publik, aturan yang dianggap diskriminatif (terutama kepada kelompok agama tertentu), dan event olahraga itu sendiri yang diikuti oleh penyandang disabilitas.

Pada momen yang sama, pemberitaan global mengenai kemenangan Khabib Nurmagomedov, salah satu atlet muslim berkebangsaan Russia yang berhasil merebut sabuk bergengsi di ajang UFC setelah mengalahkan salah satu petarung ternama dunia, Connor McGregor secara TKO. 

Kemenangan Khabib yang fenomenal ini menjadi sangat laris di media online Indonesia karena latar belakangnya yang ialah seorang Muslim taat, dan diskriminasi yang dialami dirinya oleh Connor dan banyak orang mengenai agamanya baik secara verbal maupun perlakuan.

Kedua berita di atas, memperlihatkan suatu fenomena yang lazim di Indonesia, yaitu identitas agama, diskriminasi, dalam hubungannya dengan mempertahankan identitas di ruang publik. Bagi kelompok agama tertentu, Muslim misalnya, kedua orang tersebut merupakan "pahlawan" bagi identitas agama mereka. Iya, benar memang, dan tidak ada salahnya menjadikan mereka contoh baik dalam hal prinsip yang dipegang.

Tetapi, mari kita lihat ini dari sisi yang berbeda, dalam hal ini mengenai bagaimana media membingkai hal hal mengenai agama (serta identitas lainnya) sebagai komoditas berita yang sangat laris dalam pasar berita Indonesia.

Kapitalisasi Media dan Berita : Merepresentasikan yang "Ideal" sebagai Komoditas

Secara eksplisit, dapat dikatakan bahwa media ialah jembatan penghubung antara masyarakat, dan fakta yang terjadi. Masalahnya, tidak sedikit pula media yang menjadikan "paradigma" masyarakat sebagai objek pemberitaan. Maksudnya ialah, media memberitakan apa yang mau didengar oleh masyarakat demi respon positif dari mayoritas pembaca berita karena dianggap "memihak" kepada pembaca.

Hal ini erat kaitannya dengan apa yang saya sebut sebagai "kapitalisasi media", yaitu fenomena dimana media mengikuti kemauan pasar dalam memberitakan sesuatu, sehingga apa yang dibaca oleh masyarakat ialah pemberitaan yang sesuai dengan kemauan mereka. Sederhananya, demi kepentingan ekonomi, popularitas dan rating yang tinggi, berita tidak harus berimbang, cukup mengikuti selera pasar, maka popularitas sudah dapat digapai.

Sebuah pertanyaan muncul, mengapa agama yang menjadi komoditas berita yang sangat laris? Jawabannya sederhana. Indonesia sedang memasuki era "public piety" secara massif, baik oleh kelompok mayoritas, bahkan juga minoritas. Public piety yang dimaksud disini ialah kesalehan agama yang tercermin di ruang publik, seperti berpakaian yang agamis, ajaran agama menjadi standar moral suatu masyarakat, bahkan dalam konteks masyarakat yang plural, dll. Hal inilah yang Peter Berger maksud dengan kegagalan sekularisasi, sehingga agama tetap bisa eksis di ruang publik, bahkan di ruang politik-demokratis  (Berger, 2008).

Dalam relasinya, public piety dan kapitalisasi media menjadi sangat sambut-menyambut. Bukan saja di media berita seperti dijelaskan sebelumnya, fenomena ini juga lazim di iklan TV, Reality Show, Sinetron, bahkan yang paling tebaru, lagu kampanye Asian Games dan Asian Paragames 2018 selalu menjadikan konten agama sebagai komoditas laris yang bisa "dijual" kepada publik. Bila disederhanakan, media menyambut pasar di masyarakat Indonesia dengan menyajikan konten agama, dan mayoritas masyarakat merespon itu dengan positif sehingga yang terjadi ialah lingkaran respon positif yang makin memperkuat "public piety" dalam masyarakat.

Dari sudut pandang masyarakat kepada media, apa yang dilihat oleh orang di layar, baik TV, gadget, dll., ialah representasi sesuatu yang ideal, yang (bisa jadi) sulit dicapai dalam kehidupan keseharian mereka, sehingga melihat yang ideal merupakan upaya untuk memperkuat keyakinan mereka (konsumen media) untuk mencapai sesuatu yang di-ideal-kan tersebut.

Menyikapi fenomena ini, saya merujuk pada apa yang dikatakan Stuart Hall, bahwa media merepresentasikan sesuatu tetapi representasi akhirnya adalah sesuatu yang palsu, karena hanya membingkai sesuatu dalam ruang dan waktu yang sempit (Hall, 1999). Iya, representasi ialah sesuatu yang palsu, karena realita terus bergerak dan dinamis sedangkan representasi terhadap sesuatu menjadikan sesuatu itu stagnan di tempat.

 Menarik untuk dilihat pada fenomena ini adalah lingkaran idealisas-representasi. Konsep ini bisa dipahami bahwa masyarakat dalam fenomena public piety nya meng-ideal-kan sesuatu, yang erat kaitannya dengan ketaatan agama di ruang publik dan media merespon idealisasi itu dengan merepresentasikan sepenggal cerita, fakta, narasi atau opini yang bertujuan untuk membingkai suatu momen yang bisa merealisasikan sesuatu yang ideal dalam paradigma masyarakat tersebut. Sederhananya, kapitalisasi media, public piety di masyarakat dan konstruksi ideal dalam paradigma masyarakat saat ini saling sambut menyambut dan melahirkan apa yang Berger sebut dengan desekularisasi abad 21 (Berger, 2008).

Pada Akhirnya...

Akhirnya, meski saya sendiri sadar betul bahwa ideologi para aktor dibalik media tersebut juga tidak bisa disepelekan, mengikuti kebutuhan pasar ialah keniscayaan agar popularitas dan economic income dapat dicapai dengan cepat.

Hal ini agaknya telah menjadi hukum pasar, bahwa peningkatan permintaan akan berbanding lurus dengan peningkatan penawaran, atau hukum yang lebih dasar lagi, ada aksi ada reaksi. Aksi masyarakat Indonesia menuju ke arah public piety yang semakin massif, direspon baik oleh media yang menjadikan berita seputar agama, atau kesalehan agama oleh seseorang atau suatu kelompok sebagai komoditas dagang yang sempurna untuk dijual.

Dampaknya bisa beragam, apalagi yang dijual ialah narasi mengenai "kepahlawanan" seseorang dalam memperjuangkan keyakinannya. Bisa saja positif, jika berkaitan dengan moral dan etika. Tetapi, jika dipahami secara simbolik sebagai suatu bentuk resistensi identitas tertentu kepada identitas lainnya, jangan kaget bahwa bisa dikatakan, media di Indonesia "mendukung" intoleransi dalam kehidupan berdemokrasi, dalam negara Indonesia yang plural ini. Untuk tujuan apa? Tujuan popularitas dan keuntungan ekonomi dalam bingkai kapitalisasi media mengikuti selera pasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun