Mohon tunggu...
Hanry Harlen
Hanry Harlen Mohon Tunggu... Petani - Agnostik

Hanya orang biasa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Identitas Agama Menjadi Komoditas Berita yang "Laris"?

9 Oktober 2018   13:15 Diperbarui: 9 Oktober 2018   13:56 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.aceh.tribunnews.com

Dalam relasinya, public piety dan kapitalisasi media menjadi sangat sambut-menyambut. Bukan saja di media berita seperti dijelaskan sebelumnya, fenomena ini juga lazim di iklan TV, Reality Show, Sinetron, bahkan yang paling tebaru, lagu kampanye Asian Games dan Asian Paragames 2018 selalu menjadikan konten agama sebagai komoditas laris yang bisa "dijual" kepada publik. Bila disederhanakan, media menyambut pasar di masyarakat Indonesia dengan menyajikan konten agama, dan mayoritas masyarakat merespon itu dengan positif sehingga yang terjadi ialah lingkaran respon positif yang makin memperkuat "public piety" dalam masyarakat.

Dari sudut pandang masyarakat kepada media, apa yang dilihat oleh orang di layar, baik TV, gadget, dll., ialah representasi sesuatu yang ideal, yang (bisa jadi) sulit dicapai dalam kehidupan keseharian mereka, sehingga melihat yang ideal merupakan upaya untuk memperkuat keyakinan mereka (konsumen media) untuk mencapai sesuatu yang di-ideal-kan tersebut.

Menyikapi fenomena ini, saya merujuk pada apa yang dikatakan Stuart Hall, bahwa media merepresentasikan sesuatu tetapi representasi akhirnya adalah sesuatu yang palsu, karena hanya membingkai sesuatu dalam ruang dan waktu yang sempit (Hall, 1999). Iya, representasi ialah sesuatu yang palsu, karena realita terus bergerak dan dinamis sedangkan representasi terhadap sesuatu menjadikan sesuatu itu stagnan di tempat.

 Menarik untuk dilihat pada fenomena ini adalah lingkaran idealisas-representasi. Konsep ini bisa dipahami bahwa masyarakat dalam fenomena public piety nya meng-ideal-kan sesuatu, yang erat kaitannya dengan ketaatan agama di ruang publik dan media merespon idealisasi itu dengan merepresentasikan sepenggal cerita, fakta, narasi atau opini yang bertujuan untuk membingkai suatu momen yang bisa merealisasikan sesuatu yang ideal dalam paradigma masyarakat tersebut. Sederhananya, kapitalisasi media, public piety di masyarakat dan konstruksi ideal dalam paradigma masyarakat saat ini saling sambut menyambut dan melahirkan apa yang Berger sebut dengan desekularisasi abad 21 (Berger, 2008).

Pada Akhirnya...

Akhirnya, meski saya sendiri sadar betul bahwa ideologi para aktor dibalik media tersebut juga tidak bisa disepelekan, mengikuti kebutuhan pasar ialah keniscayaan agar popularitas dan economic income dapat dicapai dengan cepat.

Hal ini agaknya telah menjadi hukum pasar, bahwa peningkatan permintaan akan berbanding lurus dengan peningkatan penawaran, atau hukum yang lebih dasar lagi, ada aksi ada reaksi. Aksi masyarakat Indonesia menuju ke arah public piety yang semakin massif, direspon baik oleh media yang menjadikan berita seputar agama, atau kesalehan agama oleh seseorang atau suatu kelompok sebagai komoditas dagang yang sempurna untuk dijual.

Dampaknya bisa beragam, apalagi yang dijual ialah narasi mengenai "kepahlawanan" seseorang dalam memperjuangkan keyakinannya. Bisa saja positif, jika berkaitan dengan moral dan etika. Tetapi, jika dipahami secara simbolik sebagai suatu bentuk resistensi identitas tertentu kepada identitas lainnya, jangan kaget bahwa bisa dikatakan, media di Indonesia "mendukung" intoleransi dalam kehidupan berdemokrasi, dalam negara Indonesia yang plural ini. Untuk tujuan apa? Tujuan popularitas dan keuntungan ekonomi dalam bingkai kapitalisasi media mengikuti selera pasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun