Melalui jalan perjalanan panjang konstitusi, Â Trump akhirnya memberikan pernyataan untuk menyerahkan kekuasaan kepada "new administration", tanpa dia menyebut Biden Administrasi. Dalam beberapa jam, sesuai prosedur, seharusnya Biden-Kemala diinagurasi sebagai Presiden-Wakil USA yang ke-46. Â
Dan seperti koor yang sangat kompak, "kekalahan Trump" ini disambut sangat meriah oleh media-media , tokoh-tokoh , buzzer-buzzer, sampai kepada pengamat-pengamat amatir di Indonesia. Â Ya, di Indonesia.
Artinya, gelombang yang terjadi di-Amerika adalah sesuatu yang global, dan narasi propaganda apapun dari "barat" dapat termiror dengan baik, di Indonesia. Â Apalagi outlet-outlet media besar Amerika sudah terasa cengkramannya di Indonesia, misal yang jelas CNN kita memiliki CNN Indonesia. Â
Dalam rumus demokrasi, media adalah pilar ke-4 setelah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Â Dengan lahirnya platform sosmed, maka kita memiliki pilar ke-5 Twitter, FB, Google, Amazon, Apple sudah terbukti mampu membuat dunia tersentak. Â Men-sensor presidennya sendiri. Â Kapitalisme sudah melahirkan "anak-anak haram" yang akhirnya menjadi monster baru dalam peradaban manusia.
Apa Yang Sebenarnya Terjadi?
Hampir 100%, masyarakat Indonesia pro Biden-Kemala, tanpa pernah tahu siapa Biden-Kemala itu, apalagi mempelajari cerita panjang, sepak terjang mereka. Â
Biden-Kemala-Pence (Wakil Trump) adalah para politisi karir.  Politisi karis adalah orang-orang yang "cari makan" di politik.  Orang-orang seperti ini by rule of thumb adalah orang-orang yang pro status quo, dan sudah melihat banyak presiden datang dan pergi, bagi mereka siapun presidennya, saya tetap disini makan sebanyak-banyaknya.Sementara itu, Trump bukanlah politisi.  Dia pebisnis kaya yang melompat jadi Presiden. Â
Jadi karirnya di politik "baru 4 tahun". Bandingkan dengan Biden yang sudah puluhan tahun. Â Artinya, Trump adalah new kid on the block yang menghadapi rawa-rawa politik (the swamp) yang sudah tahu bagaimana memainkan kartu. Â
Cuma, kali ini mereka kaget, karena Trump mampu mengalahkan Hillary, dan sejak itu, selama 4 tahun media, kongres, dan semua daya digunakan untuk menjatuhkan Trump. Â
Bukannya menurun, pemilih Trump yang diakui pihak lawan mengalami kenaikan 10 juta dan terbesar selama ini. Â 74 juta pendukung Trump dari semua lapis masyarakat sangat militian dan fokus dalam visi-misi bersama "America First". Patriot dan Nasionalisme. Â
Inilah akar, dari semuanya. Â Trump tidak mendukung para globalist-leftist yang memiliki nilah-nilai sekuler sosialis, dan sangat mendukung Amerika First dan berakar kepada nilai-nilai Judeo-Christianity seperti Konstitusi Amerika. Â Ingat, dollar Amerika saja ada tulisan "In God We Trust."
To sum it up, this is about a struggle between America First with its Judeo-Christian values vis a vis America Last (global first) with its secular socialism values (Elwin Tobing)
Trump-Biden menjadi keras, karena sudah sampai ke pertempuran ideologis. Â Dipermukaan karakter, dan gaya Trump yang dipermasalah. Kinerja Trump yang menghasilan 5 Triliun Dollar, dan pengangguran yang menurun drastis, dirubah narasinya oleh media-media menjadi sangat jelek. Dan disambut media Indonesia yang membeo tanpa filter. Â Sebuah pemandangan yang sangat menakutkan, kalau kita mengerti arti kata propaganda.
Kaca Mata Indonesia
Bayangkan Sila pertama kita dihapus, pernikahan LGBT disahkan, aborsi dibiayai APBN, kata TUHAN dihilangkangkan dari publik, sapaan berbau agama harus dinetralkan, putra dan putri adalah istlah yang gender-biased, anak lahir tidak boleh dilabel laki atau perempuan, karena mereka berhalk untuk memilih jenis kelamin mereka sendiri, sensor pendapat di sosial media utama, dan demo-demo rutin yang memperjuangkan kesetaraan hak dalam kontek LGBTQ, dan potret-potret sosial sejenis. Â Kira-kira kita akan melawan ini tidak?
Selama 8 tahun Obama, semua dasar-dasar sosialisme modern Amereka mendapatkan posisi legal. Â Demoralisasi Amerika sejak era Hipis 1960 akhirnya memuncak diera Obama-Biden. Â Plan yang seharusnya terjadi adalah, Hillary menyempurnakan plan besar membuat US menjadi Sosialis penuh, dan seluruh yang berbau Judeo-Christianity dihapuskan. Â Tapi, Trump hadir 2016, out of nowhere. Â Merusak semuanya.
4 tahun terakhir, semua plan ideologis ini berantakan. Â Dan, Trump dengan caranya yang aneh dan mungkin disebut ugal-ugalan, sehingga menjadi celah dalam karir politiknya (Mirip Ahok?) Â mampu membangkitkan sel-sel nasionalisme Amerika yang tertidur lama. Â 74 Juta bukan jumlah yang ke Kecil. Â Dan terlihat tidak terbendung.
Sensor dari para platform media, dikeroyok dua partai (termasuk partainya sendiri), sampai pengkhianatan Pence, dan banyak senator-senator yang dia bantu untuk dapat kursi, memperlihatkan bahwa Trump adalah sebuah anomali yang sangat menakutkan bagi status quo.
Apa Yang Kita Bisa Pelajari
Berbeda dengan kebanyakan, saya memilik sudut pandang sendiri dengan apa yang terjadi di Amerika. Â Apa yag saya lihat sangat mengkhuatirkan.Â
Gempuran ideologis liberal, humanis, yang sudah demikan mengglobal karena kekuatan modal sudah sampai di Indonesia. Â Bahkaan dari apa yang terlihat mata, ideologi ini sudah mampu memasuki relung-relung budaya populer Indonesia. Â Bahkan diterima dengan gembira, dan sorak sorai.
Menentang arus memang tidak mudah, tapi semoga tulisan kecil ini menemukan destiny-nya. Â Jangan sampai Indonesia harus membutuhkan "another Trump" yang harus melewati jalur yang tidak nyaman, demi untuk mempertahankan apa yang selama ini kita sebut akal sehat.
Saya tidak mau anak-cucu saya harus mengalami kegilaan masyarakat Amerika dimana untuk Amen harus disandingkan dengan Awomen. Dan itu tidak guyon tapi dilakukan di DPR/MPR. Â Apakah dosa Trump terlalu besar untuk mengembalikan "Tuhan, Nasionalisme, dan kewarasan" ditengah-tengah masyrakaat yang sudah kehilangan akal sehat, karena politisi-politisi karir yang hanya jadi pion para pemodal besar? Â Coba kita pikirkan bersama.
Pendekar Solo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI