Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudut Pandang Pengembang Kurikulum Kasus PR Matematika Anak SD

23 September 2014   06:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:52 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kompasiana saya banyak menulis soal politik meskipun sebenarnya bukan praktisi politik.  Salah satu pekerjaan utama yang saya kerjakan "for living" sebenarnya adalah sebagai pengembang kurikulum terutama mata pelajaran musik.  Saya agak menghindar menulis yang berbau kerjaan tiap hari supaya selalu memiliki cara pandang yang segar dalam melihat suatu permasalahan.

Tapi kali ini 4 x 4 x 4 x 4 x 4 = 6 x 4 atau 4 x 6  benar-benar menggugah saya untuk benar-benar menuliskan pendapat dari sudut pengembang kurikulum.   Minimal, kasus ini adalah realitas bersama di sekeliling kita yang harus semua pihak ikut memikirkan.  Bahkan kasus in menurut saya bisa menjadi tolok ukur untuk memilih Menteri pendidikan yang baru bagi pemerintahan baru Jokowi.

***

Dari sudut teori tentang pengetahuan atau theory of knowledge yang sering disebut epistemologi dalam pendidikan, knowledge dapat dibagi menjadi tiga: conceptual knowledge (konsep), procedural knowledge (prosedur), dan factual knowledge (fakta).   Taxonomy Bloom yang sudah diperbahari memperlakukan jenis-jenis pengetahuan ini sebagai dimensi yang berbeda.  Artinya, masing-masing knowledge harus didekati dan diajarkan secara khusus.

Dalam mengembangkan kurikulum, "learning objective" atau outcome (hasil akhir sebuah pembelajaran) adalah sesuatu yang sangat penting.  Guru berpedoman dengan outcome-outcome tersebut untuk membuat rencana pembelajaran atau lesson plan.

Dari sudut pandang diatas, kasus adik Muh. Erfas Maulana vs Guru SD tersebut menjadi sangat bias untuk ditentukan mana yang benar mana yang salah.  Tergantung  outcome apa yang hendak sang Guru ajarkan.   Apakah benar sang Guru hendak mengajarkan konsep minum obat 3 kali 1  hari tidak sama dengan 1 kali 3 hari? (sumber).  Ataukah guru sedang mengajarkan sebuah prosedur yang harus diulang-ulang?  Ataukah guru sedang mencoba mengeksplore cara pandang anak tersebut dalam mendekati soal matematika tersebt? Sayangnya, kita harus mengaudit lesson plan sang guru untuk mengetahui kebenarannya.

Dari sudut pengembang kurikulum, sesuatu yang sederhana menjadi tidak sederhana karena semua bersifat sangat filosofis dan seperti kasus-kasus ini ternyata sangat multi interpretasi dalam implementasinya.

***

Karena baik sang guru maupun sang kakak tidak ada permasalahan lagi, maka kita tidak perlu mendebatkan lagi secara sosiologis.  Tapi saya yakin ada lesson learned yang dapat kita pelajari sebagai orang tua, pemerhati pendidikan, bahkan oleh pembuat policy kebijakan pendidikan.  Dari sudut pandang saya, paling tidak ada 3 lesson learned yang bisa kita pikirkan bersama.

#1 Pendidikan Berpusatkan Anak

Yang paling penting dalam pendidikan adalah ANAK-nya mendapatkan TRANSFER pengetahuan.  Itu yang harus terus dipegang oleh semua pihak.  Tanpa adanya transfer, maka pendidikan menjadi gagal.  Disinilah letak permasalahan, ketika subyek pendidikan justru sering diabaikan.

Dalam kasus diatas, anak kelas 2 SD ini belum paham maksud sang Guru, dan tidak paham mengapa disalahkan Guru.  Sang kakak yang mau membantu, justru jadi merasa bersalah karena ternyata membikin bingung sang adik. Kekacauan intelektul terjadi karena semua pihak tidak memikirkan anaknya.

Sebagai contoh lain, kasus asli yang dialami anak saya yang masih TK, ketika dia bertanya sama saya, "Pah, two wrong three, berapa?"  Saya bingung setengah mati ditanya seperti itu.  Saya jawab bahwa saya tidak tahu. Kemudian dia menjawab six!   Disitu saya baru sadar bahwa dia diajar oleh guru sekolahnnya yang pakai bahasa inggris cara membaca 2 x 3 adalah two wrong three bukannya two times three.

Kalau waktu itu saya salahkan gurunya, maka dia akan bingung, saya coba mengerti alur berfikir gurunya yang ternyata menggunakan tanda X yang biasanya artinya Wrong.  Maka saya melihat dengan cara membaca yang salah, dia sudah mendapatkan konsep yang benar tentang perkalian.  Yang saya lakukan adalah memberi dia tambahan fakta bahwa 2 X 3 dapat juga dibaca two times three ataupun da kali tiga.  Tanpa pernah menyalahkan dia.

Bagi saya yang penting adalah anak itu bersemangat dan terus ada keinginan belajar.  Konsep ini disebut konsep constructivism.  Anak dipacu untuk meng-konstruk sendiri pengetahuan itu dalam dirinya.  Dalam perjalanannya kekeliruan hanyalah bagian dari pembelajaran.  Guru bukan hanya delivering content, tapi fokus utamanya menjadikan anak menjadi seorang pembelajar.

#2 Pelatihan Guru dan Orang Tua

Saya menolak keras kurikulum 2013 bukan dari sudut konsep tapi karena melihat guru di Indonesia tidak siap dan harus mendapatkan pelatihan yang memadai. Bahkan bukan hanya guru, orang tua sebagai partner dari guru harusnya juga diperhatikan.

Ketika saya mendapatkan kehormatan untuk mengikut Focus Group Discussion (FGD) dari tim Pokja rumah Transisi bagian pendidikan non dan informal, saya cukup tercengang melihat begitu banyaknya pakar-pakar pendidikan di Indonesia yang begitu mengerti esensi dari pendidikan itu sendiri.

Bahkan seorang peserta FGD dari Surabaya mengusulkan bahwa keluarga adalah unit pendidikan formal yang harus diakui pemerintah.  Menarik bukan?

Poinnya adalah kasus matematika diatas jelas memperlihatkan bahwa peran "guru rumah" dan "guru sekolah" tidak bisa dipisahkan.  Anak belajar dalam konteks komunitas, tidak hanya dari sekolah.  Kebenaran di sekolah yang berbeda dengan kebenaran di rumah akan membuat seorang anak kehilangan kebenaran absolut.

Secara psikologis anak itu punya potensi untuk membuat kebenaran sendiri yang akhirnya akan menjadi pembenaran.  Alias kata, inilah awal mula dari lahirnya "anak-anak nakal" dan akhirnya tawuran-tawuran antar sekolah.  Mereka sudah tidak bisa lagi mengerti mana yang benar mana yang tidak.  Semua jadi relatif.  Posmo sekali.

#3 Pendidkan Sebagai Strategi Bangsa

Dalam 20 tahun anak SD yang kita ramaikan di sosmed ini akan lulus S1.  Anak-anak kita inilah the new generation of new Indonesia (generasi baru dari Indonesia Baru).  Masih untung anak tadi memiliki kakak yang perhatian untuk membantu PR anak tersebut.  Meskipun jadi polemik, tapi bukankah kita belajar dari kesalahan dan polemik? Bukankan demikianlah cara kita belajar hidup?

Coba kita bayangkan anak-anak SD di pelosok-pelosok yang orang tuanya hanya petani, nelayan, tukang sayur, atau orang-orang biasa lainnya.  Mereka akan 100% percayakan pendidikan ke sekolah-sekolah (negeri pada khususnya).  Tugas pemerintah untuk mencerdaskan bangsa seperti janji kemerdekaan menjadi terasa sekali.

Kasus ini semoga menjadi pemikiran tim Transisi dan Jokowi dalam menentukan kebijakan pendidikan kedepan.  Letakkan pendidikan menjadi prioritas strategis dalam kebijakan.  Karena kita sema tahu banyak sekali overlap kebijakan dalam pemerintahan.  Harus ada prioritas.  Prioritaskan anak-anak kita karena mereka yang akan menjadi anggota DPRD, Parpol, dan Kabinet serta pelaku-pelaku bisnis di masa depan.  Untuk merekalah kita membangun negeri ini bukan?

Pendekar Solo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun