Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Resmi Jokowi vs Parlemen, Tuhan Memang Sayang Indonesia

9 Oktober 2014   05:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:47 3446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_328029" align="aligncenter" width="525" caption="doc.pri"][/caption]

Pemilihan pimpinan MPR sudah selesai.  Dan saya yakin baik pendukung kubu Jokowi maupun Prabowo semua akan setuju bahwa proses pemilihan di MPR jauh lebih demokratis daripada di DPR.  Perlu dicatat, PDI-P sebagai partai pemenang 2014 yang tidak dapat kursi kekuasaan apa-apa juga sudah legowo dan memberi selamat kepada Koalisi Prabowo atas kemenangan di MPR.

Pokoknya berbeda dengan pemilihan pemilihan DPR yang berbau UU MD3, dan UU Pilkada yang berbau konspirasi Walk Out Demokrat, pemilihan pimpinan MPR berlangsung demokratis dengan catatan disana-sini yang masing-masing kubu bisa perbaiki di masa datang.

Dengan asumsi bebas intervensi dan money politics, rakyat mengharapkan setiap produk-produk UU yang akan dihasilkan lembaga-lembaga ini bisa dihasilkan dengan semangat yang sama seperti pemilihan pemimpin-pemimpin ini.  Bayangkan, hampir 100% kehadiran, pagi-malam berjuang memilih pemimpin yang terbaik bagi rakyat, katanya. Keren sekali.

***

Demokrasi bukan hanya sistem untuk meraih kekuasaan.  Banyak yang belum mengerti bahwa Demokrasi yang dijalankan dengan benar mampu menunjukkan "wajah masyarakat" yang sebenarnya.  Demokrasi bak pisau bedah yang mampu memperlihatkan isi perut seseorang. Sistem diktator, atau penguasa tunggal banyak menutupi fakta untuk kepentingan pemimpi. Keterbukaan dan transparansi adalah harga yang mahal di luar demokrasi.

Demokrasi yang dipertontonkan wakil-wakil rakyat di parlemen sebulan terakhir mencerminkan wajah masyarakat Indonesia yang asli. Baik dan buruknya itulah Indonesia yang harus kita bangun bersama menjadi Indonesia yang Baru.

Pernyataan Hasyim Djoyohadikusumo, sang master mind dari kubu Prabowo,  yang penuh dendam terhadap Jokowi di WSJ Indonesiaa (sumber) juga harus disikapi sebagai realitas politis.  John Maxwell mengatakan bahwa tidak ada 1 orang pemimpin yang disukai atau didukung 100%.  Pasti ada yang tidak suka dan kontra.  Jadi, take it easy, dan hadapi dengan kepala dingin semua yang kontra bahkan menyerang.  Toh, kapan pun serangan balik politis masih bisa dilakukan.

Meminjam istilah dari akun twitter @Kurawa, sekarang ini yang sudah selesai baru tahap POSITIONING. Realitasnya baik Jokowi maupun Parlemen belum bekerja apa-apa.  Bahkan kabinet pun belum dibentuk.  Semua baru proses. Semua mata memandang 20 Oktober 2014.  Saat rakyat Indonesia akan melihat komposisi catur Jokowi vs Parlemen.

***

Tensi yang muncul karena ketidakpastian politik selalu membuat pelaku bisnis menjadi ragu-ragu.  Wait and see, apalagi investasi-investasi besar yang membutuhkan kepastian-kepastian hukum, mereka sangat membutuhkan jaminan hukum dan pemerintah yang kuat untuk semua investasi mereka.

Jadi, tidak heran pasar modal dan rupiah melemah karena manuver-manuver politik di Parlemen (Yahoo mencatat 25 Milyar Dollar hengkang karena pertunjukkan live show Parlemen RI - baca).  Berbeda dengan ketika Jokowi terpilih, eforia perubahan yang luar biasa membuat rakyat sumringah.   Keadaan memang berkabut, tapi apakah seburuk itu?

Ada 3 hal (dan banyak hal lain) yang harus membuat kita optimis dengan posisi politik Jokowi vs Parlemen sepert ini.

1.  KETERBUKAAN.  Dengan manuver di parlemen, terutama UU Pilkada tak langsung, lahirlah wikiDPR.org yaitu volunteer-volunteer yang terus ikut mengawasai jalannya Parlemen.  Orang-orang yang dulunya "tak dikenal" sekarang rakyat mulai mengenal dan menghafal wajah-wajah mereka.

Zulkifli Hasan setelah terpilih jadi ketua MPR, you tube dia dimarahi Henry Ford langsung beredar (lihat).  Setyo Novanto track recordya langung muncul di semua media.  Intinya, semua jadi terbuka.  Semakin transparan, rumusnya akan semakin sulit bermain.  Sekarang mata rakyat dan dunia melihat.  Minimal ruang untuk main mata semakin kecil.

2.  DEMARKASI. Garis pemisah antara eksekutif dan legislatif sangat jelas jadi rakyat bisa melihat mana domba mana kambing.  Tidak usah menebak lagi. Rakyat bisa menilai program-program Jokowi yang baik akan di jegal Parlemen, atau usulan DPR yang baik akan di jegal Jokowi.

Semua akan jelas.  Mana yang hitam mana yang putih.  Selama masa reformasi 10 tahun,semua adalah abu-abu. Karena itulah wajah SBY, abu-abu.  Tapi masa sekarang adalah masa pemisahan.  Sejarah yang akan mencatat, siapa yang penjahat Parlemen atau Jokowi.

3. PEMBELAJARAN. Rakyat tidak akan lupa.  Minimal kita harus terus mengingatkan lewat tulisan dan juga cerita ke anak cucu kita.  Sehingga Indonesia akan menjadi lebih baik.  Pembelajran yang terpenting adalah Parlemen merupakan hasil PILEG, sementara Jokowi adalah Hasil PILPRES.

Biarpun sama-sama pemilihan langsung, hasilnyanya beda.  Bukan lagi rahasia bahwa memilih Jokowi, belum tentu memilih PDI-P.  Pileg memilih Gerindra, Pilpres memilih Jokowi juga tidak sedikit.  Artinya apa?  Artinya pemilihaan tak langsung TIDAK MEWAKILI aspirasi rakyat sejati, dan akan mengerdilkan demokrasi.

Karena rupa-rupanya ada dua aspirasi rakyat yang berbeda dan keduanya harus di akomodir untuk memperlihatkan kedewasaan rakyat dan terbukti menjadi sistem cek dan ricek yang natural.  Bisa bayangkan kalau cuma ada Pileg yang langsung, dan Presiden di pilih parlemen.  Sudah pasti, Jokowi tidak akan pernah muncul jadi presiden terpilih.  Malapetaka demokrasi.

Sampai detik ini semua "sampah politik" masih terkotak di senayan.  Dan itu bagus, akan lebih gampang untuk membersihkan sampah di satu tempat daripada berserakan dimana-mana.  Sebuah musim yang baru sudah dimulai.  Musim untuk hidup benar bukan sekedar hidup sukses dengan segala cara. It's not about winning, it's about doing the right thing.

Suka atau tidak suka semuanya karena munculnya Jokowi, yang kemudian berefek munculnya Ahok, dan akhirnya Anies Baswedan muncul, dan kita harus optimis bahwa akan terus bermunculan orang-orang baik yang akan meneruskan misi perubahan ini.  Jangan takut, sudah terbukti, Tuhan memang sayang Indonesia.

Pendekar Solo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun