[caption caption="https://nenxanna.files.wordpress.com/2012/10/j.jpg di akses 23/9/2015"][/caption]
Namaku Mira, aku di lahirkan bukan dari keluarga kaya, yang memiliki status sosial tinggi, martabat dan jabatan melangit. Tidak! Aku hanyalah gadis yang putus sekolah, Kelas lima SD pun aku tidak pernah menjamahnya. Usiaku sekarang dua belas tahun. Hingga detik ini, aku tidak pernah merasakan kasih sayang dari ibu dan bapakku yang sesungguhnya, ibu yang melahirkanku entah membuangku, menitipkanku, atau mencampakkanku, aku tak tahu.
Aku tinggal bersama satu perempuan setengah baya, bisa di bilang janda. Dengar dari tetangga, katanya suaminya tak pernah pulang setelah pertengkaran hebat malam itu, biasa bisik-bisik tetangga katanya didapatinya sang suami selingkuh dengan perempuan muda, penjaga kafe kopi pinggir jalan. Perempuan setengah baya ini yang aku panggil mami, ia tidak tinggal sendiri. Ia tinggal bersama anak laki-laki satu-satunaya yang terlihat soleh di hadapan ibunya, namanya Raja yang lima tahun lebih tua dariku. Jadi kami tinggal bertiga dalam rumah yang terbilang cukup besar dengan dua lantai dan lima kamar tidur itu.
Ketika aku berusia tujuh tahun, aku merasa tahun itu menjadi tahun kebahagiaan dalam hidupku. Mami merayakan ulangtahunku dan menghadiahkanku sebuah sepeda roda empat. Ia juga yang mengajariku mengendarai sepeda itu. Semakin hari, aku merasakan perubahan dalam keluarga ini. Aku sudah tidak pernah merasakan kasih sayang mami lagi, mami mulai sibuk dengan bisnis barunya, hingga membuatku di keluarkan dari sekolah karena tidak membayar uang pembayaran selama tiga bulan berturut-turut. Mami yang sibuk dan mulai membuka bisnis butiknya, memutuskanku untuk tidak bersekolah lagi, mami menyuruhku menjaga butiknya yang menjual pakaian impor dari Eropa dan Asia yang cukup mahal bahkan mencapai puluhan juta rupiah.
Aku menjaga butik mahal itu di usiaku yang masih dua belas tahun, rasa deg-degan selalu muncul dalam benakku, walaupun ada satu satpam dan satu bodyguard yang menjaga di depan butik tersebut, tapi rasa itu tak pernah hilang. Yang ada dalam benakku ialah ketakutan akan tanggung jawab menjaga baju-baju mahal itu, bagaimana kalau konsumen ingin membeli ketika tidak ada mami, bagaimana jika konsumen mencoba bajunya dan didapati robek/ bolong atau rusak dan sebagainya, bagaimana cara aku mengganti pakaian tersebut apabila terjadi hal yang tidak diinginkan? Kekuatiran tersebut selalu membanyangi pikiranku.
Berjalan dua bulan, segala sesuatunya terlihat lancar. Dan mami memberiku gaji yang lumayan besar yaitu empat ratus ribu setiap bulannya. Uang segitu, rasanya cukup besar bagiku yang sama sekali belum pernah aku genggam. Aku tabung uang itu dan aku akan pergunakan uang itu untuk melanjutkan sekolahku, karena mami tidak mau lagi membiayakiku, mengingat aku hbukan anak kandungnya dan aku hanya menumpang tinggal bersamanya, aku tidak berani meminta uang kepadanya.
Mami mempercayai kunci butiknya kepadaku, rasa takut dan kuatir semakin menggebu-gebu dalam benakku. Aku merasa ini tanggung jawab yang sangat besar dan aku hampir tak sanggup menerimanya, tapi kebaikan mami sangat enggan untukku menolaknya. Aku hanya bisa bersyukur walaupun pendidikanku terputus, tapi aku bisa memperoleh pekerjaan yang sebenarnya aku tak tahu apa yang mami rencanakan hingga mempercayaiku menjaga butik mahalnya itu. Yang penting aku bisa makan dan bisa tetap tinggal.
Malam itu, Kak Raja mengajakku pergi ke pesta dansa bersama teman-temannya, Kak Raja membelikanku gaun krem mewah dan mendandaniku ke salon yang terbilang cukup mahal. Rasa tidak percaya diri muncul, karena sebelumnya aku tidak pernah dandan dengan bedak tebal menempel di wajah, bulu mata palsu yang melekat di atas bulu mata asli, ditambah rambut yang di gulung indah ke atas membentuk sekumpulan mawar dengan pernak-pernihnya layaknya Miss Indonesia. Ya, kami pergi ke pesta dansa, kak Raja memperlakukanku dengan baik, ia juga memperkenalkanku dengan teman-temannya dan menganggap aku sebagai adiknya. Aku senang dengan perlakuan Kak Raja kepadaku, ia memang kakak yang baik yang pernah aku kenal. Sempat ketika perjalanan pulang aku menanyakan siapa ibu dan bapakku sebenarnya, awalnya Kak Raja enggan menjawabnya, tetapi aku tetap memaksa ia untuk menjawabnya. Ia hanya mengatakan bahwa ibu dan bapakku seorang pemulung di darah Tugu, Jawa Barat. Ceritanya saat itu, mami membeliku dari panti asuhan di daerah Jawa Barat, si pemilik panti tidak memberikan identitas apapun kepada mami, ia hanya mengatakan demikian. Jadi Kak Raja hanya tahu sebatas itu. Seketika jantungku mulai tersentak, ternyata orangtuaku menitipkanku pada panti asuhan anak-anak di daerah Jawa barat. “Mami tidak bercerita apa nama pantinya, setauku ya itu, ka..mu a..nak.. se..o..rang pe..mulung..” Sambil tak enak hati bercerita.
Keesokan harinya…
“Kerampokan…..!!!!” teriak Bodyguard kepada mami yang pagi itu sedang ingin membuka tokonya, hendak mengambil baju untuk pernikahan temannya.
“Apaaaaaa?” sahut mami sembari turun dari mobilnya. Kesal, panik dan gugup terpampang dalam raut wajah mami, sambil teriak “Cepat telepon polisi, saya gamau tahu malingnya harus tertangkap..!!!”